Kisah Karet dan Lada yang Masih Dilanda Nestapa
Harga karet dan lada di Kalimantan Barat masih dilanda nestapa. Komoditas rakyat itu tak kunjung merangkak naik. Beragam masalah klasik belum teratasi. Selain itu, juga terjadi stagnasi industrialisasi.
Harga karet dan lada di Kalimantan Barat masih dilanda nestapa. Harga komoditas rakyat tersebut tak kunjung merangkak naik. Penyebabnya, selain dipengaruhi pasar internasional, juga beragam permasalahan klasik belum teratasi. Selain itu, terjadi stagnasi industrialisasi.
Setidaknya sepuluh tahun terakhir, jarang sekali mendengar harga karet di tingkat petani memuaskan dalam waktu lama. Beberapa kali terdengar kabar dari petani harganya pernah menembus Rp 10.000 per kilogram selama beberapa bulan, setelah itu kembali anjlok pada kisaran Rp 5.000-Rp 6.000 per kg.
Maka ketika melihat ke pedalaman Kalimantan Barat, banyak kebun karet yang ditebangi dan diganti dengan komoditas lain. Namun, ada juga yang tetap mempertahankan kebun karet meski kerap tidak disadap karena harganya tidak membaik.
Berdasarkan data Kalbar dalam Angka Tahun 2023, luas perkebunan karet rakyat periode 2018-2022 menurun. Luas perkebunan karet rakyat pada 2018 seluas 605,1 hektar. Namun, pada tahun 2022, luasnya 586,1 hektar.
”Harga karet di daerah kami tinggal Rp 6.000 per kg. Harga seperti ini sudah berlangsung setahun, setelah tahun lalu pernah mencapai Rp 10.000 per kg. Kemudian, harga turun lagi dan belum pulih,” ujar Simu’ (43), salah satu petani karet dari Kabupaten Kapuas Hulu, Selasa (2/5/2023).
Simu’ sudah hampir setahun tidak menyadap karet. Meskipun tidak menyadap karet, kebun karet miliknya tidak ditebang karena dengan harapan sewaktu-waktu harga membaik akan disadap kembali. Namun tidak dimungkiri, banyak juga petani yang menebang kebun karetnya dan beralih ke tanaman lain.
”Maka, sekarang orang banyak beralih ke sektor lain, yakni kratom. Banyak orang yang tidak menyadap karetnya bahkan menebang pohon karet,” ujar Simu’.
Bukan hanya petani saja, penampung karet juga sudah banyak yang tidak menampung karet lagi. Jumlah karet yang bisa ditampung semakin sedikit sehingga dikhawatirkan tidak bisa menutup biaya angkut jika dijual ke Pontianak yang berjarak sekitar 600 kilometer dari Kapuas Hulu. Harga karet yang tidak kunjung membaik diduga karena permasalahan klasik yang belum teratasi. Mulai dari di tingkat hulu, misalnya, minimnya peremajaan karet memengaruhi produktivitas.
Baca juga: Membeli Beras Pun Tak Sanggup
Dalam catatan Kompas, produktivitas karet di Kalbar hanya 600-700 kg per hektar setiap tahun karena tidak diremajakan. Kalau diremajakan, bisa 1,8 ton per hektar per tahun. Jika ditunjang pemeliharaan yang benar, bisa menghasilkan 2,5 ton per hektar per tahun.
Masalah tata niaga
Belum lagi masalah tata niaganya yang panjang. Setidaknya, dari petani karet dijual ke enam penampung baru setelah itu menuju ke pabrik. Hal itu membuat petani kerap hanya mendapatkan harga yang rendah.
Direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat Swadaya dan Mandiri (Gemawan) Laili Khairnur menuturkan, lembaga yang ia pimpin pernah mendampingi petani karet di berbagai wilayah Kalbar. Gemawan pernah mempertemukan petani dengan pihak pabrik.
”Jarak pabrik jauh makanya petani kerap menjual ke pengepul. Harga di tingkat petani menjadi rendah karena ongkos angkut pengepul ke pabrik tinggi akibat jarak ke pabrik yang jauh. Maka, kami pernah memfasilitasi pertemuan antara petani dan pabrik,” tuturnya.
Selain itu, masalah kualitas karet petani juga masih perlu dibenahi. Penyuluh perlu lebih dioptimalkan agar membimbing petani dalam memproduksi karet yang berkualitas sehingga setidaknya dengan kualitas karet yang baik bisa mendongkrak harga jualnya.
”Di sisi lain, harga di pasar internasional juga berfluktuatif sehingga berdampak pada harga di tingkat petani. Kemudian, di Kalbar tidak ada pabrik yang mengolah karet menjadi produk jadi sehingga harga karet sulit naik,” ujarnya.
Ketika harga karet anjlok, awalnya harapan masih ada pada komoditas lada. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, harga lada juga anjlok dan tidak kunjung pulih. Thomas (46), petani lada di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalbar, mengungkapkan, harga lada putih kini tinggal Rp 65.000 per kg. Kemudian harga lada hitam Rp 35.000 per kg.
”Waktu awal tahun, lada putih masih Rp 70.000 per kg, sedangkan lada hitam Rp 42.000 per kg,” ujar Thomas.
Harga yang anjlok membuat petani terpukul. Harga yang anjlok tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan petani untuk perawatan. Keuntungan sekarang per kg dari penjualan lada hanya sekitar Rp 30.000 per kg. Bandingkan ketika awal tahun masih bisa dapat untung Rp 40.000 per kg.
”Sementara harga pupuk mahal. Harga pupuk sekarang sekitar Rp 600.000 per karung 50 kg. Harga pupuk tersebut naik Rp 20.000 per karung 50 kg,” tuturnya.
Thomas menggantungkan hidup dari lada. Tiga anaknya yang masih sekolah ia biayai dari lada. Thomas memiliki lahan 1 hektar lada. Sekali panen, kebun ladanya menghasilkan 500-600 kg. Ia berharap harga lada bisa lebih meningkat.
Baca juga: Bukan Hanya Sawit, Harga Lada dan Karet di Kalbar Juga Turun
Kalau harga lada bisa kembali ke level minimal Rp 100.000 per kg, petani bisa lebih ”bernapas lega”. Terakhir menikmati harga lada Rp 100.000 per kg tahun 2014-2016. Bahkan, harga lada pernah sampai Rp 180.000 per kg kala itu.
”Setelah itu anjlok terus-menerus,” ungkap Thomas.
Kabupaten Sanggau, khususnya di perbatasan, merupakan salah satu penghasil lada di Kalbar. Dari data Kabupaten Sanggau dalam Angka 2023 menunjukkan, luas perkebunan lada rakyat di Kabupaten Sanggau hingga tahun 2022 seluas 2.672 hektar dengan produksi 1.967 ton.
Stagnasi industrialisasi
Terkait harga karet dan lada yang tidak kunjung meningkat, pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman, menuturkan, hal itu terjadi karena keterlambatan melakukan proses industrialisasi di dalam negeri. Hal itu terlihat setidaknya pada periode 2010-2022, kontribusi industri Kalbar terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Kalbar tidak pernah beranjak dari angka 16 persen.
”Dalam rentang waktu tersebut, berapa pun nilai PDRB Kalbar, kontribusi industri hanya 16 persen. Jadi stagnan,” ujar Eddy.
Stagnasi industrialisasi tersebut menyebabkan pasar di dalam negeri tidak menyerap produksi lada dan karet terlalu besar sehingga lada dan karet bergantung pada pasar internasional. Di Kalbar, lada umumnya dijual ke Malaysia. Itu mengacu pada harga pasar internasional.
Untuk lada, di pasar internasional kemungkinan kebutuhan input lada untuk produksi produk turunannya dalam industri internasional kemungkinan tidak meningkat. Hal itu membuat harga juga tidak meningkat.
Eddy menuturkan, yang bisa dilakukan daerah sejauh ini sudah terlihat dari rencana pembangunan jangka menengah untuk tahun-tahun ke depan. Ekonomi Kalbar setelah pandemi Covid-19 ditargetkan tumbuh 6-7 persen. Untuk mencapai itu, kuncinya juga pada industrialisasi.
”Sejauh ini saya melihat Badan Perencanaan Pembangunan Kalbar sudah melihat kuncinya ada pada industrialisasi. Namun, infrastruktur, seperti ketersediaan listrik dan kualitas sumber daya manusia, perlu terus dibenahi agar bisa melakukan industrialisasi. Stagnasi industrialisasi terjadi di provinsi lain juga,” tuturnya.
Gubernur Kalbar Sutarmidji menuturkan, pemerintah daerah terus berupaya agar komoditas karet dan lada memiliki pasar. Dinas terkait juga telah berupaya membangun kerja sama dengan pengguna, misalnya pabrik yang menggunakan lada dan karet. Namun, karena keduanya komoditas ekspor, kementerian terkait juga diharapkan bisa membuka pasar untuk komoditas-komoditas tersebut.
”Komoditas ekspor tergantung dari pasar luar negeri. Kementerian terkait harusnya lebih gencar dalam mencari pasar luar negeri,” ujarnya.
Terkait karet, Sutarmidji menuturkan, ketika harga karet turun, Malaysia, Laos, Vietnam, dan Thailand sedang mengembangkan karet unggul. Sekarang mereka sudah berproduksi.
Di dalam negeri saat harga turun, karet banyak yang ditebang. Akibatnya, di dalam negeri tidak bisa bersaing karena negara-negara tersebut sudah menguasi pasar. Kemudian kualitas karet di dalam negeri yang tidak baik, misalnya ada campuran material tertentu di dalam karet petani, turut menurunkan harga jual.