Sertifikasi tanah obyek reforma agraria di Sumsel masih lamban. Kurangnya koordinasi antarinstansi dan terbatasnya kewenangan menjadi salah satu kendala. Perlu ada sinergitas antarinstansi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sertifikasi tanah obyek reforma agraria di Sumatera Selatan dinilai belum berjalan ideal. Kurangnya koordinasi antarinstansi dan terbatasnya kewenangan menjadi sebagian kendalanya. Butuh sinergitas antarberbagai pihak agar sertifikasi itu dapat berjalan lebih baik lagi.
Hal ini mengemuka dalam rapat koordinasi Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Sumsel di Palembang, Kamis (4/5/2023). Direktur Landreform Sudaryanto mengatakan, total luas data spasial potensi tanah obyek reforma agraria (TORA) di Sumsel mencapai 199.830 hektar.
Namun, baru 24,76 persen atau 60.836 hektar yang tersertifikasi. Sebanyak 59.500 hektar untuk perkebunan, penegasan transmigrasi (1.078 hektar), dan tata batas wilayah (257,5 hektar).
Sudaryanto menuturkan, ada beragam permasalahan yang menjadi penyebab lambatnya proses sertifikasi. Dia mencontohkan, terbatasnya kewenangan dan proses pendataan yang belum optimal. Berdasarkan topologi permasalahan, biasanya sengketa lahan muncul akibat tidak jelasnya status kepemilikan lahan.
”Ada tumpang tindih status lahan yang akhirnya memicu terjadinya sengketa. Kasus yang paling sering terjadi adalah permasalahan antara perusahaan dan masyarakat,” ujarnya.
Kata Sudaryanto, misalnya, ada lahan yang masih berstatus hak guna usaha (HGU) tetapi telah dimanfaatkan masyarakat setempat. Contoh lainnya, kelompok masyarakat yang telah mendiami kawasan hutan bahkan sampai beberapa generasi tetapi harus berkonflik karena tidak memiliki izin pengelolaan lahan. Padahal, kejelasan status lahan sangat dibutuhkan agar masyarakat dapat memiliki kepastian hukum untuk mengelola lahan.
”Oleh karena itu, GTRA Sumsel harus lebih fokus memastikan pendataan, pengawasan, dan pemanfaatan lahan lebih tepat sasaran. Masyarakat pun memiliki kepastian hukum demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan,” katanya.
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumsel Kalvyn Andar Sembiring menyatakan, lambannya sertifikasi tidak lepas dari kurangnya anggaran. ”Kami hanya menjalani rapat koordinasi setahun sekali karena memang terbatas anggaran. Padahal, idealnya tiga kali setahun,” ujarnya.
Menurut dia, koordinasi antarsektor diperlukan agar proses pendataan status lahan bisa lebih cepat termasuk dalam upaya pemanfaatan lahannya. Alasannya, dalam proses reforma agraria semua pihak terlibat, mulai dari BPN, pemerintah daerah, akademisi, dan kelompok masyarakat.
Koordinasi ini sangat penting agar tim GTRA bisa memperoleh masukan untuk menentukan prioritas penyelesaian sengketa lahan. Kalvyn mencontohkan sengketa lahan yang melibatkan perusahaan dengan suku Anak Dalam di Musi Rawas, Sumsel.
Sengketa ini baru bisa diselesaikan tiga tahun. Solusi yang dikeluarkan adalah memindahkan suku Anak Dalam keluar dari kawasan konsesi perusahaan. Pihak perusahaan pun rela untuk mengganti lahan yang akan ditinggalkan.
”Ada sekitar 400 hektar lahan pengganti yang diberikan oleh perusahaan yang nantinya akan dikelola oleh suku Anak Dalam,” ujar Kalvyn.
Untuk agenda kerja GTRA Sumsel selanjutnya adalah menyelesaikan status tanah timbul seluas 1.200 hektar di dua kabupaten, Ogan Komering Ilir dan Banyuasin, agar keberadaannya tidak memicu konflik. ”Tentu lahan ini harus dikuasai negara agar pemanfaatannya tidak disalahgunakan kelompok masyarakat tertentu,” ujar Kalvyn.
Wakil Gubernur Sumsel Mawardi Yahya berharap, program reforma agraria diharapkan dapat membantu masyarakat untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak. ”Dengan memanfaatkan lahan, masyarakat dapat memperoleh manfaat ekonomi di dalamnya,” ujar Mawardi.
Skema ini juga diharapkan dapat mengurangi potensi konflik yang muncul di tengah masyarakat. Agar program ini dapat berjalan dengan baik, pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan akademisi harus diperkuat sehingga tidak memunculkan gejolak di kemudian hari.