Cirebon, ”Karpet Merah” untuk Pabrik Tekstil dan Sepatu
Cirebon timur meggeliat menjadi pusat ekonomi baru. Namun, permasalahan RTRW harus dibenahi agar peruntukannya bisa memberi hasil maksimal untuk semua kalangan.
Bagian timur Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, berganti rupa. Lahan pertanian beberapa tahun silam kini menjelma pabrik tekstil dan sepatu, minimarket, hingga perumahan. Perubahan ini membuka lapangan kerja bagi warga setempat. Namun, masih ada potensi masalah tata ruang.
Tiga Lebaran terakhir, Ryan Sulaiman (33) tidak lagi harus mudik sekali setahun dari Jakarta ke kampungnya di Desa Ciledug Kulon, Kecamatan Ciledug, Cirebon. Ia pun tak mesti naik sepeda motor sekitar lima jam, berteman panas terik dan debu jalan pantai utara.
Sejak 2019, Ryan bisa pulang setiap hari. Waktu tempuh dari rumah ke tempat kerjanya di PT Kreasi Garment Cirebon (KGC) hanya sekitar 10 menit. Kehadiran pabrik tekstil berorientasi ekspor itu membuat dirinya dan warga setempat punya pilihan untuk tidak merantau.
”Saya bisa lebih dekat dengan keluarga, enggak ngeluarin biaya kos, dan macet-macetan di Jakarta,” ujar bapak dua anak ini, Minggu (30/4/2023). Bahkan, istrinya yang juga warga setempat menjadi salah satu dari sekitar 1.500 pekerja di pabrik itu.
Sebelumnya, Ryan mengadu nasib di Ibu Kota. Tamatan sekolah menengah atas ini menjadi karyawan di pabrik pembuatan kaleng minuman kemasan selama sepuluh tahun.
Namun, ia sudah beberapa kali menerima surat peringatan (SP). Dia akhirnya mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
”(SP) Terakhir, saya enggak pakai kaus tangan. Jadi, jari saya kena ujung slit kaleng, berdarah,” ujarnya sambil menunjukkan garis bekas luka di jari manis tangan kanannya. Ia pun harus kehilangan pekerjaan dengan penghasilan maksimal Rp 10 juta per bulan.
Saat pulang ke desanya akhir 2018, sejumlah pabrik tekstil berdiri. Pemerintah desa mengabarkan lowongan kerja di pabrik itu.
Ryan pun melamar dan diterima bekerja. Namun, gajinya jauh lebih kecil dibandingkan saat di Jakarta, sekitar Rp 2 juta.
”Enggak apa-apa, daripada nganggur. Pengeluaran di sini (Cirebon) juga tidak sebesar Jakarta. Saya sudah nyaman di sini. Belum tentu juga diterima lagi (kerja) di sana,” ujarnya.
Baca juga: Kawasan Industri Dorong Investasi ke Cirebon
Di Cirebon, misalnya, ia bisa makan dengan uang Rp 5.000 sekali makan. Sementara di Jakarta, ongkos makan bisa dua kali lipat.
Ryan tidak menyangka bisa kerja di kampungnya. Belasan tahun lalu, hanya ada sawah, lahan bawang merah, dan tanah kosong di sana.
Namun, kini, pabrik tekstil dan alas kaki menjamur. Setidaknya ada enam pabrik, termasuk PT KGC, yang berada di dekat Gerbang Tol Ciledug itu.
”Bahkan, nanti ada perusahaan sepatu dari Subang (Jabar) yang pindah ke sini. Itu bisa 30.000 pekerja,” ujarnya.
Kemunculan berbagai pabrik ini turut menumbuhkan minimarket dan perumahan serta indekos di sekitarnya. Warga setempat pun membuka kios.
Tidak hanya warga di sekitar pabrik, sejumlah warga dari Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yang berbatasan dengan Cirebon, juga meraup manfaat dari industri tekstil dan turunannya. Fiki Fathullah, misalnya, setahun terakhir bekerja di PT Long Rich Indonesia (LRI), pabrik sepatu.
Warga Kecamatan Losari, Brebes, ini sebelumnya bekerja pada perusahaan otomotif di Purwakarta, Jabar, serta sebuah pabrik sepatu di Brebes. Ia memilih pindah ke PT LRI karena UMK di Cirebon Rp 2,4 juta per bulan, lebih tinggi dari Brebes dengan Rp 2 juta per bulan.
”Dengan adanya industri di Cirebon, banyak juga orang sini (Brebes) yang enggak mau merantau lagi karena dekat dengan keluarga,” ujar pria berusia sekitar 30 tahun ini. Meskipun gajinya tidak sebesar saat di Purwakarta, setidaknya ia tidak mesti mengeluarkan uang indekos dan lainnya.
Fiki bahkan kini bisa kuliah di sebuah kampus di Brebes. ”Dulu, waktu di luar daerah, capek bolak-balik kuliah. Ini sudah mau selesai (sarjana),” ujarnya tersenyum.
Tidak hanya warga Cirebon dan sekitarnya, pekerja yang terkena PHK juga jadi ”penghuni” pabrik tekstil dan alas kaki di Cirebon. Nuryayani, misalnya, pada 2018 mengalami PHK di PT Dean Shoes, pabrik sepatu di Karawang. Ia lalu pindah ke Tangerang lalu Brebes.
Upah murah
Ketika PT Long Rich berdiri di Cirebon tahun 2021, ia dipanggil atasannya. Banyak rekannya menolak karena UMK Cirebon jauh lebih rendah daripada Karawang. ”Akhirnya, saya pindah. Waktu itu, karyawannya baru 200 orang. Sekarang, sudah sampai 17.000 orang,” kata warga Bekasi ini.
Menurut dia, tempat kerja barunya lebih stabil meskipun ada isu resesi global. ”Di sini belum ada PHK. Bisa jadi karena upah di sini lebih rendah. Contohnya, di Karawang, pabrik punya 6.000 pekerja. Dengan dana yang sama, di Cirebon bisa mempekerjakan 12.000 orang,” ujarnya.
UMK yang lebih murah dua kali lipat dibandingkan Karawang, Bekasi, atau Jakarta membuat Cirebon menjadi incaran pelaku industri tekstil dan alas kaki. Apalagi, saat relokasi pabrik terjadi lima tahun terakhir ke wilayah Majalengka, Cirebon, dan sejumlah daerah di Jateng.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jabar mencatat, selama 2017 hingga pertengahan 2022, realisasi investasi industri tekstil di Cirebon mencapai Rp 394 miliar. Sebelum 2017, tidak tercatat realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) di industri itu.
Selama kurun waktu itu, tercatat 112 proyek terkait industri tekstil di Cirebon, baik yang PMDN maupun penanaman modal asing. Dari proyek itu, terdata penyerapan tenaga kerja hampir 1.000 orang.
Adapun jumlah realisasi investasi industri kulit dan alas kaki di Cirebon pada 2017-2022 mencapai Rp 275 miliar dengan serapan tenaga kerja 122 orang. Kepala DPMPTST Kabupaten Cirebon Dede Sudiono memperkirakan, kehadiran industri tekstil dan alas kaki di Cirebon menyerap ribuan hingga belasan ribu pekerja.
Menurut dia, pabrik tekstil dan alas kaki merupakan industri padat karya yang membutuhkan banyak orang. ”Kami menginginkan investasi padat karya untuk tenaga kerja. Tentu butuh investasi padat modal dan teknologi, tetapi komposisinya tidak sebanyak padat karya,” ujarnya.
Dede mengatakan, industri tersebut penting untuk menekan angka pengangguran di Cirebon. Pada 2022, tingkat pengangguran terbuka di Cirebon tercatat 8,1 persen atau sebanyak 90.118 orang dari angkatan kerja sekitar 1 juta orang. Angka tersebut menurun dibandingkan tingkat pengangguran pada 2021, yakni 10,4 persen.
Itu sebabnya, pihaknya membuka lebar pintu untuk investor di bidang tekstil dan alas kaki di Cirebon. Bahkan, pemda menyiapkan ”karpet merah” kawasan industri seluas 10.000 hektar di Cirebon bagian timur, seperti Kecamatan Ciledug, Losari, dan Pabedilan.
Ketersediaan lahan itu akan tercantum dalam peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon 2023-2043 yang saat ini masih tahap revisi. Selain lahan, aksesibilitas lima pintu tol di Cirebon juga menjadi daya tarik bagi investor.
”Kenapa (Cirebon) bagian timur? Ini untuk pemerataan. Selama ini, industri banyak di bagian barat. Sekarang, kita dorong ke timur,” ujarnya.
Saat ini, terdapat lima pintu tol di Cirebon. Dua di antaranya berada di timur, yakni Gerbang Tol Kanci dan GT Ciledug.
Kabupaten Cirebon juga masuk dalam kawasan Rebana yang tengah dikembangkan pemerintah pusat. Rebana meliputi tujuh daerah di pesisir utara Jabar yang terdiri dari Kabupaten Subang, Indramayu, Majalengka, Sumedang, Cirebon, Kuningan, dan Kota Cirebon.
Sekretaris Daerah Kabupaten Cirebon Hilmy Rivai memastikan lahan 10.000 hektar di wilayah timur dapat dimanfaatkan investor. Pihaknya sedang mengkaji revisi RTRW itu dengan Pemerintah Provinsi Jabar. Regulasi itu juga akan dibahas dengan Kementerian Pertanian serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Hilmy mengeklaim, kawasan industri tidak mengganggu lahan pertanian. Sebab, pemkab akan menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). ”Walaupun lahan pertaniannya (LP2B) nanti sekitar 40.000 hektar dari total 53.000 hektar, itu lahan produktif. Kalau tidak produktif, untuk industri,” ujarnya.
Meski demikian, potret tergerusnya lahan pertanian sudah tampak. Pada 2021, misalnya, Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon mencatat, luas panen bawang merah di Ciledug, salah satu kawasan di Cirebon timur, hanya 18 hektar. Padahal, pada 2016, lahan bawang yang panen mencapai 245 hektar.
Ketua DPRD Kabupaten Cirebon Mohamad Luthfi mengatakan, pembangunan kawasan industri di bagian timur Cirebon harus lebih tertata dan teratur. Penataan itu antara lain adanya akses tol hingga zonasi antara hunian atau permukiman dengan kawasan pabrik.
”Tata ruang ini jadi pilot dari semua sektor pembangunan. Perencanaan tata ruang kan 20 tahun ke depan. RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) hanya lima tahun,” ujarnya. Itu sebabnya, perumusan RTRW harus mempertimbangkan berbagai aspek.
Menurut dia, pembangunan kawasan industri tanpa penataan yang jelas dapat menimbulkan masalah, seperti kemacetan hingga banjir. Luthfi pun mewanti-wanti agar pemda patuh pada aturan RTRW kelak agar tidak ada tumpang tindih antara hunian dan pabrik.
Kekhawatiran itu mulai tampak. Setiap hari kerja pada pagi dan sore di Jalan Ciledug-Pabedilan, misalnya, terjadi kemacetan. Saat itu, buruh pabrik datang dan pulang dari bekerja. Terlebih lagi, jalan di depan PT KGC belum sepenuhnya mulus.
”Jalan depan pabrik itu baru juga diperbaiki seminggu sudah bolong-bolong lagi,” ujar Ryan. Padahal, jalan itu akses utama warga menuju Brebes dan Jalan Tol Kanci-Pejagan. Ia berharap, infrastruktur, seperti jalan, untuk kawasan industri tetap memadai.
Ryan juga menyoroti kepastian warga bekerja di pabrik. ”Setelah ada Undang-Undang Cipta Kerja (No 6/2023), tidak jelas kapan kami diangkat jadi karyawan tetap. Saya sudah lima tahun jadi pekerja PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu),” ungkapnya.
Padahal, selain kepastian, status karyawan tetap bisa meningkatkan kesejahteraan buruh pabrik, seperti Ryan. Jangan sampai, kawasan industri yang menjadi ”karpet merah” untuk investor justru membuat warga setempat merana.
Baca juga: Investasi di Kabupaten Cirebon Anjlok, Tingkat Pengangguran Justru Menurun