Lampung Revitalisasi Bahasa Daerah untuk Cegah Kepunahan
Pemerintah Provinsi Lampung melakukan upaya revitalisasi bahasa daerah agar tidak punah. Program revitalisasi ini akan menyasar generasi muda, khususnya siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Lampung melakukan upaya revitalisasi bahasa daerah agar tidak punah. Program revitalisasi ini akan menyasar generasi muda, khususnya siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, serta melibatkan pihak sekolah dan para pegiat bahasa daerah.
Program revitalisasi bahasa daerah di Lampung dimulai dengan menggelar rapat koordinasi mitra kerja revitalisasi bahasa daerah di Bandar Lampung, Kamis (11/5/2023). Acara dihadiri oleh sekitar seratus peserta dari berbagai kalangan, antara lain guru, pegiat bahasa, tokoh masyarakat, dan jajaran pemerintah daerah dari 15 kabupaten/kota. Pada acara itu berbagai pihak merumuskan strategi serta langkah konkret dalam memperkuat upaya revitalisasi bahasa daerah di Lampung.
Gubernur Lampung Arinal Djunaidi mengatakan, bahasa daerah merupakan warisan budaya yang berharga bagi masyarakat Lampung. Bukan hanya bahasa daerah, Lampung juga mempunyai aksara daerah yang hingga kini terus diupayakan kelestariannya.
”Provinsi Lampung telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 39 Tahun 2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa dan Aksara Lampung sebagai Muatan Lokal Wajib pada Jenjang Satuan Ppendidikan Dasar dan Menengah,” kata Arinal saat membuka acara rapat koordinasi.
Selain regulasi, Pemprov Lampung juga telah membentuk tim pembinaan serta pengembangan bahasa dan aksara Lampung. Penggunaan bahasa Lampung sebagai bahasa percapakan juga akan terus digiatkan dengan pelibatan ekosistem yang lebih luas, mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat.
Nantinya akan ada pelatihan untuk guru master dengan mengundang perwakilan guru SD dan SMP dari 15 kabupaten/kota. Selanjutnya, para guru ini yang akan melatih siswa di sekolahnya masing-masing ( Desi Ari Pressanti).
Kepala Kantor Bahasa Lampung Desi Ari Pressanti menuturkan, para pakar yang hadir dalam rapat akan merancang model pembelajaran bahasa daerah untuk generasi muda. Pembelajaran bahasa daerah akan dilakukan dengan metode membaca dan menulis puisi, cerpen, pidato, serta merancang stand up komedi berbahasa daerah. Cara kreatif ini diharapkan mampu menarik minat anak-anak muda untuk kembali mengunakan bahasa daerah.
”Nantinya akan ada pelatihan untuk guru master dengan mengundang perwakilan guru SD dan SMP dari 15 kabupaten/kota. Selanjutnya, para guru ini yang akan melatih siswa di sekolahnya masing-masing,” kata Desi.
Ia mengungkapkan, kondisi bahasa Lampung saat ini dalam kondisi rentan. Artinya, jumlah penutur bahasa daerah masih ada, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Penggunaan bahasa daerah juga dalam lingkup terbatas, misalnya hanya pada keluarga atau kelompok kecil di kalangan masyarakat aslinya.
Terkait kekayaan daerah ini, Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Kemendikbudristek Muh Abdul Khak menuturkan, meskipun penutur bahasa lokal masih cukup banyak, program revitalisasi harus terus dilakukan. Hal ini karena berdasarkan kajian, perkembangan bahasa daerah pada generasi berikutnya akan mengalami penurunan yang signifikan jika tak ada upaya pelestarian secara kontinu.
Kerena itulah, pemerintah pusat mendorong upaya revitalisasi bahasa daerah di seluruh provinsi di Indonesia. Program Revitalisasi Bahasa Daerah diinisiasi pada 2021 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek. Pada 2021, program tersebut baru mencakup tiga provinsi dan lima bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa, Sunda, Makassar, Toraja, dan Bugis.
Pada 2022, cakupan program bertambah menjadi 30 bahasa daerah di 13 provinsi. Beberapa bahasa daerah yang direvitalisasi kala itu meliputi bahasa Kenyah (Kalimantan Timur), Maanyan (Kalimantan Tengah), Yamdena (Maluku), Tobelo (Maluku Utara), Kamoro (Papua), Mbojo (Nusa Tenggara Barat), dan Melayu dialek Panai (Sumatera Utara).
Pada 2023, program revitalisasi dilakukan terhadap 59 bahasa daerah di 22 provinsi. Beberapa di antaranya adalah bahasa Gayo (Aceh), Bulungan (Kalimantan Utara), Bakumpai (Kalimantan Selatan), Ogan (Sumatera Selatan), Enggano (Bengkulu), Lampung (Lampung), Jawa dialek Jawa Timur (Jawa Timur), Pamona (Sulawesi Tengah), serta Moi dan Sough (Papua Barat).
Revitalisasi akan dilakukan, antara lain, dengan menyusun model pembelajaran bahasa daerah di setiap daerah. Model pembelajaran tidak bisa disamakan karena kondisi masing-masing bahasa daerah berbeda.
Guru juga akan diberi pelatihan dan kebebasan memilih bahan mengajar sesuai dengan minat siswa. Selain guru, pegiat bahasa daerah juga akan dilibatkan sebagai narasumber dalam proses belajar.
Ia menambahkan, revitalisasi bahasa daerah ini penting untuk menjaga vitalitas bahasa daerah. Pada 2021, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengkaji 24 bahasa daerah. Hasilnya, semua bahasa daerah yang dikaji mengalami kemunduran. Bahasa yang semula kondisinya aman menjadi terancam punah, sementara bahasa yang kondisinya kritis menjadi semakin kritis.
Menurut Abdul, ada beberapa faktor yang membuat bahasa daerah jarang digunakan. Pertama, faktor eksternal, seperti urbanisasi, globalisasi, perkawinan campur, dan bencana yang mengakibatkan kematian penutur bahasa daerah. Kedua, faktor internal, seperti sikap yang menganggap penggunaan bahasa daerah tidak keren.