Mencari Jalan Tengah bagi Mikro dan Ojek Daring
Para sopir mikro kesulitan bersaing dengan ojek dan taksi daring. Angkutan daring memang menjanjikan para sopirnya fleksibilitas dalam bekerja. Namun, banyak yang masih yakin bahwa mikro akan tetap bertahan.
Seandainya ada kesempatan bekerja di tempat lain, Ronny Mambo, seorang sopir mikrolet di Manado, akan dengan senang hati menyambutnya. Hanya saja, di usia yang sudah tergolong lanjut, yaitu 62 tahun, tak banyak tawaran yang datang.
Ronny pun tak punya pilihan selain melanjutkan hari-harinya di jalanan ibu kota Sulawesi Utara, melayani penumpang di trayek Pasar 45-Paal Dua sepanjang 2,2 kilometer yang menghubungkan pusat kota di Kecamatan Wenang dengan terminal Paal Dua. Rute itu ia lalui 10-11 putaran sehari.
”Untuk orang umur kayak saya, mungkin bisa jaga kebun orang. Gajinya lebih pasti. Pernah juga ada yang tawarkan bawa truk ke Gorontalo. Upahnya Rp 1,5 juta pulang-pergi, tetapi mungkin belum rezeki,” ujar Ronny, Selasa (9/5/2023) siang, sambil mengemudikan mikroletnya.
Sejak berhenti kerja sebagai sopir taksi pada 2013, ayah satu anak ini beralih ke mikro. Menurut dia, dahulu orang bisa beli mikro—nama populer mikrolet di Manado—dari menjadi sopir mikro. Harga mobil jenis Mitsubishi Colt T120 atau Suzuki Carry 1.0 keluaran 1990-an yang dijadikan mikro kisarannya Rp 30 juta-Rp 40 juta.
Namun, kini hidup terasa makin susah. Mengumpulkan uang Rp 100.000 untuk diri sendiri, di luar biaya bensin dan setoran ke juragan mikro yang totalnya mencapai Rp 220.000, sudah setengah mati rasanya.
Siang itu, misalnya, hanya ada empat penumpang yang naik mikronya dalam satu putaran trayek Pasar 45 ke Paal Dua. Ia pun hanya mengantongi Rp 24.000.
Baca juga: Tanpa Angkutan Massal Perkotaan, Kerugian Rp 100 Triliun Per Tahun
Ada beragam faktor struktural yang menjebak sopir mikro seperti diri Ronny dalam situasi itu, seperti inflasi tahunan sebesar 4,2 persen pada Januari 2023. Namun, yang paling krusial, mereka kini harus bersaing dengan ojek dan taksi daring.
”Mereka (angkutan daring), kan, enggak harus izin ke pemerintah selain bayar pajak tahunan. Kalau kami harus bayar uji kir sama uang trayek. Waktu jemput penumpang, mereka bisa langsung di depan rumah, sedangkan kami cuma bisa sampai depan lorong. Jadi memang lawan paling berat kami, ya, (angkutan) online ini,” kata Ronny.
Sementara itu, di sisi lain Pasar 45, Hasrul Nani (20) berseru-seru kepada warga yang lewat ”T’minting! T’minting!” Selama enam tahun terakhir, bahkan sebelum memiliki SIM karena masih duduk di bangku SMP, ia sudah menjadi sopir mikro di trayek Pasar 45-Tuminting.
Kini, jika boleh memilih, ia ingin menjadi pengojek daring saja. Namun, keinginan itu tak bisa terwujud karena ia tak punya sepeda motor. ”Kayaknya lebih pasti jadi ojek online, lebih bisa santai kerjanya. Saya mau, tetapi enggak enak hati kalau mesti pinjam sepeda motor sama saudara atau teman,” katanya.
Sebagai sopir mikro, Hasrul bisa membawa pulang lebih dari Rp 100.000 untuk kedua orangtua dan tiga adiknya setiap hari. Namun, karena mikro semakin sepi penumpang, ia berencana segera mencari pekerjaan lain dengan gaji yang lebih besar dan pasti.
”Sekarang masih tunggu ijazah di sekolah. Nanti kalau sudah terbit, mau cari kerja, enggak tahu apa,” katanya.
Memang tak sedikit orang yang berpikir seperti Hasrul. Buktinya, antara 2019 dan Desember 2022, jumlah mikro yang masih aktif melayani penumpang menurun.
Kepala Seksi Angkutan Dinas Perhubungan Manado Marshel Mandey mengatakan, banyak sopir yang tidak lagi bisa membiayai perawatan mikro dengan onderdil khusus mobil tua di tengah penurunan pendapatan. ”Banyak yang cuma diparkir di depan rumah sama pemiliknya. Ban kempis, bodiberkarat, kaca pecah. Istilahnya orang Manado, so taduduk (terduduk, tak berdaya),” katanya.
Fleksibilitas
Kerja santai yang dibayangkan Hasrul itu memang benar adanya. Ini dirasakan Tri Mokodompit (35) yang sudah enam tahun menjadi pengojek mitra Gojek. Dalam sehari, penghasilannya bisa mencapai Rp 200.000 dari melayani minimal 10 pesanan.
”Saya biasanya mulai kerja pukul 09.00 sampai malam. Di Gojek, tarif minimal Rp 13.500 untuk perjalanan di bawah 4 kilometer. Dari situ, buat sopir Rp 9.200, sisanya buat perusahaan. Kami enggak pusing hitung-hitung potongan lagi karena banyak yang sudah pakai GoPay,” kata Tri yang ditemui kala beristirahat di halaman sebuah toko swalayan di daerah Sario, Senin (15/5/2023).
Tidak benar jika ojek daring ’merebut’ rezeki sopir mikro karena mikro tetap punya keunggulan tersendiri.
Rinaldy Limpele (29), pengojek mitra Gojek lainnya, membenarkan. Ia bahkan bisa memilih layanan apa yang ingin ia kerjakan agar bisa menyeimbangkan kerja dan istirahat. Karena itu, di luar jam sibuk, yaitu 06.00-07.00 dan 15.00-17.00, ia hanya mengaktifkan layanan pengantaran makanan (GoFood) dan penumpang (GoRide).
”Jadi, saya setiap hari paling banyak cuma antar makanan karena memang lebih fokus di GoFood. Penumpang paling cuma satu-dua orang. Begitu enaknya di Gojek,” kata Rinaldy.
Hal senada dikatakan Andi Firki (27) yang sudah menjadi pengojek mitra Grab selama tiga tahun terakhir. Jam kerjanya dalam sehari hanya mulai pukul 08.00 atau pukul 09.00 hingga ia merasa lelah. Tidak ada target pendapatan yang harus disetorkan kepada juragan sebagaimana yang menjadi tanggung jawab sopir mikro.
Namun, selama menjadi sopir ojek online, baik Andi, Tri, maupun Rinaldy tak pernah terlibat konflik dengan para sopir mikro. Menurut Andi, tidak benar jika ojek daring ”merebut” rezeki sopir mikro karena mikro tetap punya keunggulan tersendiri.
”Kami kalah kalau cuaca buruk, misalnya hujan. Kami cuma bisa layani GrabFood aja mungkin. Selain itu, pasti ada orang-orang yang enggak bisa pakai smartphone, enggak pengin ribet pakai aplikasi sehingga lebih baik naik mikro,” katanya.
Hal ini dibenarkan Rinaldy. Menurut dia, salah satu kelompok masyarakat yang sering kali tak dapat dilayani oleh ojek dan taksi daring adalah ibu-ibu yang baru pulang belanja dari, misalnya, Pasar 45.
”Kalau bawaan banyak, mereka sudah malas ribet pesan di aplikasi, terus masih harus telepon buat baku janji jemput di titik mana. Masih harus menunggu juga. Jadi, kalau tanta-tanta pasti lebih suka naik mikro,” katanya.
Menurut data Gojek, peningkatan pesanan paling besar antara 2021 dan 2022, seiring melandainya pandemi, paling terasa di sekolah dan universitas, yaitu sebesar 125 persen. Layanan juga meningkat di titik jemput atau tujuan hub transportasi umum serta bandara, yaitu 81 persen. Adapun peningkatan layanan di daerah pasar hanya 43 persen.
Integrasi
Guntur Arbiansyah, Head of Corporate Affairs Gojek untuk wilayah Indonesia Timur, menyatakan, Gojek tak pernah ingin bersaing dengan angkutan umum khas kota tempat mereka beroperasi, layaknya mikro di Manado. Hal ini diwujudkan dalam konsep first mile last mile (FMLM).
”Layanan Gojek diposisikan sebagai moda transportasi penghubung bagi masyarakat dalam bemobilitas. Untuk memastikan komitmen itu berjalan maksimal, kami akan terus menjalin diskusi dan komunikasi dengan seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah daerah di Kota Manado,” kata Guntur melalui pernyataan tertulis.
Baca juga: Kesetiaan Pengguna Angkutan Umum
Menurut Guntur, Gojek yang secara nasional memiliki 2,7 juta mitra pengemudi selalu membuka peluang untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk para sopir mikro. ”Kami sudah membangun titik jemput di beberapa tempat untuk memudahkan masyarakat berpindah moda transportasi,” katanya.
Sementara itu, Halim Wijaya, Direktur Indonesia Timur Grab Indonesia, menyatakan, pihaknya terbuka untuk terus berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan di setiap kota. ”Kami beroperasi untuk memberikan dampak positif bagi para mitra pengemudi, merchant, dan konsumen,” ujarnya dalam pernyataan tertulis.
Soal integrasi, Pemkot Manado tak bisa menjanjikan apa pun. Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Dishub Manado Donald Wilar menilai, mikro dan ojek serta taksi daring sebagai pilihan yang setara bagi warga Manado.
”Banyak orang kantoran atau yang punya kebututuhan mendesak memilih ojek online karena bisa lebih cepat dan terhindar dari kemacetan. Soal mikro, tergantung dari para pemilik, apakah mampu bersaing dengan angkutan umum yang lain. Memang mikro masih digemari karena murah. Namun, jika tidak ditingkatkan pelayanannya, pasti kalah bersaing,” kata Donald.
Baca juga: Memopulerkan Angkutan Umum
Sementara itu, ahli transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menilai integrasi antara angkot dan ojek atau taksi daring sebagai hal yang nyaris mustahil. Apalagi, Manado merupakan kota kecil sehingga jarak tempuh masyarakat tak terlalu jauh, sebagaimana di Jakarta.
Ke depan, kata Djoko, mikro hanya bisa bertahan jika difungsikan sebagai angkutan pengumpan (feeder) bagi angkutan umum yang lebih besar, yaitu bus. Masyarakat akan menggunakannya dari wilayah permukiman untuk menuju trayek bus.
”Ini harus dipikirkan dalam bingkai Manado Raya. Jarak tempuh trayek busnya 30-35 kilometer dan menjangkau perbatasan Manado dengan daerah perbatasan di Minahasa dan Minahasa Utara,” ujar Djoko.