Maestro atau penenun yang memahami nilai-nilai atau filosofi dari kain tenun jumlahnya kian terbatas. Di Sumba, misalnya, dari 476 penenun yang terdata pada 2022, hanya ada 19 maestro.
Oleh
STEFANUS ATO
·3 menit baca
WAINGAPU, KOMPAS — Jumlah maestro atau penenun yang memahami nilai-nilai atau filosofi dari kain tenun di Indonesia kian langka. Di Sumba, Nusa Tenggara Timur, dari 476 penenun yang terdata, hanya tersisa 19 maestro. Kian berkurangnya maestro tenun tradisional dikhawatirkan mengancam pewarisan nilai-nilai budaya dan filosofi dari tenun tradisional yang hidup dan berkembang di masyarakat setempat.
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Irini Dewi Wanti mengatakan, Kemendikbudristek pada 2022 bekerja sama dengan sejumlah ahli serta desainer tenun ikat yang berbasis di daerah dan melakukan pendataan awal ekosistem tenun di lima provinsi di Indonesia. Lima provinsi itu adalah Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.
”Dari hasil pengumpulan data tenun tradisional, kami mendapatkan data bahwa di lima provinsi ini, yang paling terbanyak ada di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Yang kedua ada di Sumba,” kata Irini, Kamis (25/5/2023), di Waingapu, Sumba Timur.
Dari data di lima provinsi itu, diketahui kalau penenun terbanyak yang terdata merupakan perajin tenun ikat yang hanya sekadar memproduksi tenun sebagai produk budaya. Sementara itu, maestro yang memahami nilai-nilai atau filosofi dari kain tenun jumlahnya kian terbatas. Di Sumba, misalnya, dari 476 penenun yang terdata pada 2022, hanya ada 19 maestro.
”Tenun bukan hanya masalah produk. Tenun sebagai sebuah mahakarya, punya kearifan, punya filosofi yang begitu tinggi di masyarakat. Jadi, tujuannya bukan hanya (menghasilkan) produk sebanyak-banyaknya, tetapi tenun itu bagian dari jati diri, bagian dari kepribadian masyarakat,” kata Irini.
Upaya mewariskan nilai dan filosofi tenun demi menjaga kepribadian masyarakat dikhawatirkan terancam apabila jumlah maestro penenun terus berkurang atau bahkan punah. Langkah yang ditempuh untuk mengatasi kekurangan maestro salah satunya dilakukan Kemendikbudristek dengan menggelar pelatihan kepada para penenun muda. Dalam pelatihan itu, para maestro dapat membagikan ilmu mereka kepada generasi muda.
Ignatius Hapu Karanjawa, salah satu perajin tenun di Sumba Timur, mengatakan, maestro merupakan perajin kain tenun yang tak hanya paham tentang nilai dan filosofi dari tenun. Maestro juga memiliki rasa dan kekhasan sendiri dalam membuat kain dan motif tenun ikat.
”Sekalipun ada penenun lain yang bikin dengan motif yang sama, hasilnya pasti beda. Narasi yang diciptakan oleh maestro sangat kuat. Kain yang dibuat maestro sangat berkarakter,” katanya.
Motif terbanyak
Di Sumba, dari data yang dihimpun dari lima provinsi pada 2022, diketahui kalau kain tenun Sumba merupakan kain tenun dengan jenis motif terbanyak. Jumlah keseluruhan motif kain tenun yang masih diproduksi mencapai 85 jenis motif.
”Dari lima provinsi itu, memang motif yang paling banyak berasal dari NTT. Tenun itu jadi bagian (kebutuhan) dasar dari kehidupan masyarakat,” kata Irini lagi.
Tenun yang merupakan bagian dari kebutuhan dasar kehidupan masyarakat jadi salah satu penyebab Sumba memiliki puluhan ragam motif. Sebab, dalam setiap ritual adat, motif kain tenun yang dikenakan pun berbeda-beda.
”Di (Sumba), mereka juga ada beberapa suku. Suku yang satu dengan yang lain, punya ciri khas masing-masing. Makanya, ada banyak ragam motif di Sumba,” katanya.
Dari 85 motif kain tenun Sumba yang masih diproduksi masyarakat, ada 16 motif yang terancam punah. Motif tersebut terancam punah karena perajin kain tenun sudah tak lagi mengembangkan motif tenun tersebut.
Belasan motif kain Sumba itu terancam punah, salah satunya karena sudah tak ada perajin yang membuat motif tersebut. Motif itu tak lagi diproduksi karena sebagian motif yang pernah dibuat oleh perajin biasanya tak memiliki pola standar.
”Penenun itu adalah seorang seniman. Jadi, dia bukan memindahkan dari satu media ke media yang sedang dikerjakan. Inspirasi itu dari pikiran (imajinasi) yang dituangkan dalam sebuah karya,” katanya.
Terancam punahnya sejumlah motif kain tenun, kata Irini, diantisipasi dengan melakukan digitalisasi. Dari proses alih media atau digitalisasi itu, motif yang pernah diciptakan penenun pada masa sebelumnya bisa dipelajari generasi berikutnya.