Menjaga Generasi Sumsel dari Karhutla
Karhutla menjadi momok menakutkan bagi warga Sumsel. Kebakaran 2015 dan 2019, kala asap menyeruak hingga ke pelosok daerah akibat ratusan ribu hektar lahan terbakar, menjadi pelajaran berharga untuk menghargai alam.
Pelajaran inilah yang kemudian dikemas demi memupuk kesadaran pada semua pihak agar tidak lagi membakar hutan, apalagi gambut.
Pelajaran ini penting karena bagi Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, mitigasi bencana bukan sebatas menyiapkan alat pemadam, melainkan bagaimana membangun pola pikir masyarakat untuk tidak membakar lahan. ”Kesadaran untuk tidak membakar lahan sudah harus ditanam sejak dini,” ujarnya, Senin (29/5/2023).
Langkah ini dapat dimulai dengan memperkenalkan lahan gambut kepada siswa sekolah dasar melalui kurikulum pelestarian gambut. Sejumlah pakar di bidang pendidikan dan lingkungan berkolaborasi menyusun kurikulum tersebut untuk kemudian diajarkan ke sekolah di daerah rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Hanya saja, dirinya masih melihat dahulu perkembangan pembelajaran dari dua kabupaten yang melaksanakannya, yakni Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin. ”Jika responsnya baik, tentu akan dikaji untuk diperluas,” ungkapnya. Herman berpandangan, dengan menjabarkan bahaya kebakaran lahan sejak dini diharapkan langkah pencegahan bencana asap bisa lebih komprehensif.
Baca juga: Titik Panas di Sumsel Meningkat Signifikan
Pemerintah Provinsi Sumsel telah menggandeng Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF) untuk menuntaskan pembuatan kurikulum pelestarian gambut. ”Butuh waktu sekitar satu tahun untuk menyusun kurikulum, mengkaji, serta mengajarkannya kepada tenaga pengajar dan peserta didik,” ungkap Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Sumsel Syafrul Yunardi.
Kurikulum yang disampaikan kepada siswa kelas IV sampai kelas VI sekolah dasar ini dikemas dalam dua bentuk, yakni intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Konsep intrakurikuler yakni menyisipkan materi gambut dalam mata pelajaran yang berkaitan, seperti ilmu pengetahuan alam. Adapun cara ekstrakurikuler dilakukan dengan mengajarkannya di luar jam pelajaran.
”Terkait penjadwalan dan cara penyampaian materi soal gambut diserahkan ke setiap kepala sekolah. Intinya adalah untuk menanamkan kecintaan siswa pada gambut,” ungkapnya.
Syafrul berpendapat, kebakaran lahan yang terjadi di Sumsel sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia. Banyak aktivitas warga yang memicu kebakaran, salah satunya membuka lahan dengan cara membakar. Mereka tidak mengerti bahaya yang mengintai ketika membuka lahan dengan cara tradisional itu.
Dengan menanamkan kecintaan siswa pada lahan gambut, Syafrul berharap, kala mereka dewasa tidak ada sekalipun niat untuk merusak gambut. Saat ini pun mereka diharapkan menjadi agen dalam menyampaikan pentingnya gambut kepada orang tua dan lingkungan tempat mereka berada. ”Ini adalah langkah jangka panjang dan harus dimulai dari sekarang,” ujarnya.
Bahan ajar pun tidak hanya berbentuk teori semata, tetapi ada materi praktik yang dapat diterapkan langsung oleh siswa. Ada juga buku cerita bergambar berjudul Ranti Mencari Gambut yang dibuat untuk menarik minat anak-anak mengenali gambut secara lebih dalam.
Dalam buku karya Akhmad Junaedy dan kawan-kawan itu tertuang cerita tentang sosok Ranti, siswa kelas IV SD asal Palembang, yang penasaran dengan lahan gambut. Datanglah Mang Mail yang menceritakan fungsi gambut kepada Ranti dengan mengajaknya langsung ke area gambut.
Bagi Mang Mail, lahan gambut layaknya putri tidur yang dianggap tidak bermanfaat, tetapi nyatanya menyimpan banyak kegunaan. Gambut berguna untuk menyimpan air kala hujan mengguyur dan memberikan air ketika musim kemarau.
Namun, karena ketidaktahuan masyarakat, gambut lalu dikeringkan untuk ditanami tanaman perkebunan. Akhirnya, ketika musim kemarau tiba, lahan gambut mudah terbakar karena kekeringan. Ketika sudah terbakar, api sulit dipadamkan karena lahan gambut mengandung material yang mudah terbakar.
Peneliti CIFOR-ICRAF, Feri Johana, mengatakan, tidak hanya di Sumsel, pola edukasi tentang lahan gambut kepada anak-anak ini juga diterapkan di Kalimantan Barat. Kedua provinsi ini masuk dalam jajaran enam provinsi yang paling rawan mengalami karhutla di Indonesia.
Baca juga: Cegah Karhutla, Sumsel Siapkan Kurikulum Gambut bagi Siswa Sekolah Dasar
Dalam penyampaian materi, ujar Feri, guru dituntut lebih kreatif. ”Perlu alat peraga yang sesuai agar tujuan pembelajaran bisa tercapai,” ungkap Feri. Karena itu, implementasi dari kurikulum ini akan terus dievaluasi.
Menjaga gambut dari kebakaran menjadi prioritas utama kala kemarau melanda. Kepala Tim Restorasi Gambut Daerah Dharna Dahlan mengatakan, Sumsel memiliki bentangan lahan gambut hingga 2,1 juta hektar (ha). Dari luasan tersebut, sekitar 1,2 juta ha di antaranya berada dalam fungsi lindung.
Karena itu, beragam upaya dilakukan, seperti pembasahan, penanaman kembali, dan pengembangan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar gambut. Untuk pembasahan, pihaknya membangun sejumlah infrastruktur, seperti penimbunan kanal, pembuatan sekat kanal, dan pembangunan sumur bor. Ini menjadi cara yang dianggap efektif untuk menjaga tinggi muka air di gambut tetap berada di atas 40 sentimeter.
Pemanfaatan teknologi modifikasi cuaca (TMC) berupa hujan buatan juga bisa dilakukan untuk menjaga kadar air dan mengisi embung di lahan gambut. Embung itu bisa menjadi persediaan air ketika musim kemarau tiba.
Penanaman kembali di lahan gambut yang sempat terbakar dengan komoditas tanaman yang ramah gambut juga terus dilakukan. Namun, yang terpenting adalah edukasi kepada masyarakat yang tinggal di sekitar gambut untuk turut menjaga gambut.
Caranya adalah dengan mengajak warga turut menjaga gambut, tentu dengan memberikan beragam pelatihan yang bisa meningkatkan taraf ekonomi warga yang tinggal di daerah gambut. ”Ketika warga di sana hidup sejahtera dengan mengelola gambut, maka mereka pun akan turut menjaga gambut agar tidak terbakar,” ungkapnya.
Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Ansori menuturkan, hingga kini sudah ada 12 daerah yang menetapkan status siaga darurat bencana karhutla. Ke-12 daerah itu merupakan daerah yang memiliki hamparan gambut dan jejak peristiwa karhutla.
Penetapan ini penting agar daerah tersebut segera melakukan langkah mitigasi guna mencegah kebakaran lahan di daerahnya. ”Apalagi saat ini sudah memasuki musim kemarau di mana curah hujan sudah kian berkurang,” ungkapnya.
Ansori menuturkan, jumlah titik panas pada April 2023 tercatat 200 titik. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan catatan titik panas dalam tiga bulan terakhir.
Pada Januari 2023, jumlah titik panas di Sumsel sebanyak 54 titik. Selanjutnya, pada Februari 2023, jumlah titik panas sebanyak 43 titik. Pada Maret 2023, titik panas terpantau 91 titik. ”Kenaikan titik panas pada April ini cukup signifikan,” ujar Ansori.
Dalam delapan tahun terakhir, kenaikan titik panas memang selalu terjadi mulai April dan mencapai puncaknya pada Agustus dan September. Peningkatan ini dipengaruhi oleh kondisi cuaca yang lebih kering dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. ”Karena itu, kewaspadaan harus ditingkatkan,” ujar Ansori.
Berbagai penyakit
Berkaca pada karhutla tahun 2015, sebaran titik panas mencapai 27.043 titik dengan luas lahan terbakar sekitar 750.000 ha. Berlanjut pada 2019, sebaran titik panas berjumlah 17.391 titik dengan luas lahan terbakar mencapai 329.485 ha. Kebakaran lahan itu menyebabkan berbagai kerugian. Selain mengganggu aktivitas ekonomi, karhutla juga membuat banyak warga mengalami gangguan kesehatan.
Kepala Dinas Kesehatan Sumsel Trisnawarman menyebut asap akibat karhutla dapat menyebabkan beragam penyakit, seperti gangguan pernapasan dan menjadi pemicu kian parahnya sejumlah penyakit bawaan (komorbid). ”Kurangnya oksigen dapat membuat penyakit bawaan, seperti jantung, penyakit paru-paru, kian sulit disembuhkan,” ujarnya.
Melihat kondisi ini, kelompok usia anak-anak dan lanjut usia adalah yang paling rentan menjadi korban. Berbagai persiapan sudah dilakukan, yakni menyiapkan pasokan obat-obatan, bantuan oksigen di setiap puskesmas, dan persediaan masker.
Sekarang ini izin konsesi masih saja diberikan tidak memandang lagi bagaimana kondisi lingkungan yang terjadi di kawasan tersebut.
Namun, yang terpenting adalah menjaga lingkungan dan pola hidup sehat agar ketika bencana ini terjadi, imun tubuh masih tetap terjaga. ”Namun, saya berharap ada langkah pencegahan agar tidak ada lagi karhutla,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Yuliusman beranggapan, kebakaran hutan dan lahan dapat diselesaikan jika ada kebijakan yang ketat dari pemerintah untuk tidak lagi memberikan izin hak guna usaha bagi perusahaan. ”Sekarang ini izin konsesi masih saja diberikan tidak memandang lagi bagaimana kondisi lingkungan yang terjadi di kawasan tersebut,” ujarnya. Kondisi ini bertentangan dengan komitmen pemerintah pusat untuk mulai menjalankan pembangunan berkelanjutan.
”Selama izin konsesi terus diberikan dengan turut mengorbankan lahan gambut maka karhutla di Sumsel akan sulit untuk dicegah,” ujar Yuliusman.