Mengejar Kemandirian Industri Susu Nasional
Hampir 80 persen susu yang beredar di pasaran dalam negeri berbahan baku impor. Padahal, kebutuhan susu akan terus meningkat.
Peluang pasar susu nasional terbuka lebar seiring tumbuhnya kebutuhan masyarakat. Sayangnya, sampai saat ini kebutuhan pasar susu masih diisi oleh impor. Sejumlah persoalan masih menjadi tantangan walau blue print kemandirian susu sudah dipetakan sejak 2013.
Kebutuhan susu di Indonesia mencapai 4,4 juta ton pada 2022. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan 2021 dengan angka sekitar 4,3 juta ton berdasarkan data dari Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Tidak menutup kemungkinan tahun mendatang angka kebutuhan susu naik seiring bertambahnya penduduk, perbaikan kondisi ekonomi, dan faktor lain.
Konsumsi susu nasional per kapita 2021 menurut data Badan Pusat Statistik baru mencapai 16,27 kilogram per tahun. Jumlah konsumsi ini tergolong rendah berdasarkan standar dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). FAO memberi batas rendah untuk konsumsi susu di bawah 30 kg per kapita per tahun. Sementara batas sedang untuk konsumsi susu mencapai 31-150 kg per kapita per tahun dan di atas itu dianggap sebagai konsumsi tinggi.
Dalam rentang kategori itu, Filipina masih 23 kg per kapita per tahun, tetapi tetap lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Adapun Thailand mencapai 44 kg per kapita per tahun dan Malaysia 50 kg per kapita per tahun.
Jika masyarakat Indonesia mengonsumsi setidaknya 30 kg per kapita per tahun saja, kebutuhan susu nasional bisa melonjak menjadi lebih dari 8 juta ton per tahun. Pasar ini seharusnya menjadi pasar yang menjanjikan bagi peternak sapi perah.
Sayangnya, hingga 2022 berdasarkan data dari BPS, produksi susu segar dalam negeri (SSDN) hanya mencapai 968.980 ton atau sekitar 20 persen dari kebutuhan nasional yang mencapai 4,4 juta ton. Walau ada kenaikan per tahun, belum bisa mengejar angka kebutuhan susu segar dalam negeri. Sisanya masih dipenuhi oleh impor.
Produktivitas kecil
Minimnya produksi susu nasional dipicu dua hal, yakni sedikitnya jumlah sapi perah dan rendahnya produktivitas sapi perah itu sendiri.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mencatat, populasi nasional sapi perah 2020 berjumlah 584.582 ekor, sementara pada 2022, menurut data BPS, mencapai 592.897 ekor. Jumlah ini relatif stagnan dari tahun ke tahun.
Dari sisi produktivitas, sapi perah di Indonesia rata-rata hanya memproduksi 10-11 liter per ekor per hari. Jauh dari produksi susu sapi negara lain yang bisa mencapai 30 liter bahkan 60 liter per hari.
Sapi-sapi yang produktivitasnya kecil itu mayoritas dikelola oleh peternak kecil dengan pengelolaan sapi yang masih tradisional. Namun, sejumlah perusahaan susu nasional yang menerapkan manajemen ternak dan teknologi yang baik bisa memiliki produktivitas susu 24 liter bahkan 34 liter per hari.
Kondisi ini tergambar di Jawa Timur, provinsi yang menyumbang produksi susu berikut ternak sapi perah terbesar nasional.
Jatim, berdasarkan data BPS 2022, memiliki sapi perah sebanyak 384.315 ekor atau 40 persen dari total angka nasional. Adapun produksi susunya mencapai 558.758 ton pada 2021. Jumlah itu juga menjadi yang terbesar secara nasional.
Dari sisi produktivitas, sapi perah di Indonesia rata-rata hanya memproduksi 10-11 liter per ekor per hari. Jauh dari produksi susu sapi negara lain yang bisa mencapai 30 bahkan 60 liter per hari.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dalam sambutannya memperingati Hari Susu Nasional di peternakan PT Greenfields Indonesia, di Malang, Selasa (30/5/2023), menyatakan, dalam kondisi normal sebelum penyakit mulut dan kuku (PMK), kebutuhan susu segar harian Industri Pengolah Susu (IPS) Jawa Timur mencapai 2.000 ton, tetapi baru terpenuhi sekitar 1.400 ton dan masih defisit 600 ton.
Jatim pun masih mengimpor bahan baku industri susu berupa skim milkpowder, whole milk powder, dan full milk powder sebanyak 342.000 ton per tahun.
Di lapangan, kepemilikan sapi per peternak di Jatim bahkan nasional rata-rata hanya 5 ekor. Adapun produktivitas susu sapi berkisar 10-12 liter per ekor per hari.
Baca juga: Tantangan Pujon Menggenjot Produksi Susu Sapi Perah
Dalam jurnal berjudul ”Profil Peternak Sapi Perah di Dataran Rendah Kabupaten Malang 2021” yang ditulis oleh peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Malang dan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya; Estri Pamungkasih dan Nanang Febrianto, diketahui bahwa rendahnya produktivitas sapi perah disebabkan oleh ketidaksesuaian iklim hingga manajemen usaha sapi perah di tingkat peternak yang masih tradisional. Pemberian pakan, misalnya, sapi tidak selalu mendapat makanan berkalori tinggi.
Temuan serupa juga didapati di Banyuwangi, Jawa Timur. Konsultan dari Asosiasi Ternak Genetika Kanada, Robert P Lang, pada 2014 pernah datang ke Banyuwangi untuk memberi penyuluhan kepada para peternak sapi perah. Lang menilai produksi susu sapi sebenarnya bisa mencapai 40 liter per hari per ekor. ”Syaratnya, pakan yang sesuai dan pemilihan genetik sapi yang tepat,” katanya saat itu.
Menurut Lang, peternak perlu menambah protein pada pakan ternak, seperti jagung dan sorgum. Selain itu, harus pilih bibit yang baik agar bisa berproduksi susu yang banyak. Sapi perah di Banyuwangi saat itu dinilai belum termasuk sapi pilihan. Fisik belum sempurna sehingga membuat sapi-sapi itu rentan penyakit dan tak produktif.
Baca juga: Nestapa Peternak Sapi Perah Terimbas PMK
Di sisi lain, peternak terhambat dengan ketersediaan dan harga pakan dan modal untuk membeli bibit sapi berkualitas. Peternak biasa memberikan pakan dengan bonggol jagung dan rumput kering karena pipilan jagung yang berkualitas mereka jual terpisah di pasaran.
Kepala Dinas peternakan Jawa Timur Indyah Aryani mengatakan, bibit berkualitas penting. Ia mengusulkan agar produsen susu mau menurunkan bibit sapi berkualitas bagi peternak binaan mereka.
Saat ini, sapi yang dimiliki peternak adalah Holstein. Produsen susu sapi Greenfields selain memiliki sapi Holstein berkualitas unggul juga mendatangkan sapi Jersey dari Australia khusus untuk dikembangkan di peternakan mereka di kaki Gunung Kawi, Kabupaten Malang.
”Ada sapi jenis Jersey bisa beradaptasi di dataran rendah dan pakannya lebih sedikit. Ini cocok untuk diternakkan oleh warga karena itu kami berharap produsen mau menurunkan beberapa ke petani kami di Jatim,” kata Indyah.
Kemitraan
Salah satu solusi agar peternak sapi perah bisa menerapkan pola ternak yang baik adalah bermitra dengan produsen susu. Peternak sapi perah di Desa Jambuwer, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, misalnya, bekerja sama dengan PT Greenfields Indonesia dalam mengelola ternak sapi perah mereka. Peternak bergabung dalam kelompok untuk kemudian mendapatkan bimbingan agar bisa menghasilkan susu dengan kualitas dan kuantitas optimal.
Heru Setyo Prabowo, Head of Dairy Farm Development & Sustainability, Government, Environment and Safety Farm Greenfields Indonesia, mengatakan, kemitraan dengan peternak lokal lewat Kemitraan Sapi Perah Greenfields (KSG) sudah terjalin selama 16 tahun. Kemitraan ini menjadi bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat.
Dari 220 mitra peternaknya, rata-rata KSG menghasilkan 15 ton susu per hari atau sejumlah Rp 108 juta per hari. Adapun produktivitas susu per ekor sapi bisa mencapai 14-16 liter per hari. ”Selain itu, kami juga membuka kesempatan kepada warga untuk menyediakan pakan bagi seluruh sapi kami. Setiap tahunnya transaksi untuk kebutuhan rumput odot (gajah) mencapai Rp 7,5 miliar, sedangkan tebon jagung mencapai lebih dari Rp 100 miliar,” katanya.
Pola kemitraan ini membuat warga tertarik bergabung menjadi peternak sapi perah. Winardi (29), misalnya, memilih menjadi peternak sapi karena pasar sudah pasti dan ia mendapatkan banyak kemudahan mulai dari pakan hingga perawatan kesehatan hewan. ”Awalnya saya ingin mencari kerja saja di kota. Namun, setelah berdiskusi dengan pakde yang peternak sapi perah, saya akhirnya bergabung menjadi peternak sapi,” kata lulusan S-2 Universitas Islam Malang jurusan peternakan ini.
Demikian pula dengan Rizqi Akbar (26) yang mulai bergabung dengan KSG Sari Makmur Abadi di Jambuwer pada 2018. Kini ia sudah memiliki 18 ekor sapi perah. Sarjana peternakan dari Universitas Muhammadiyah Malang ini bisa mengantongi untung bersih Rp 5 jutaan dari hasil ternak susu sapi per bulan. Angka itu melampaui UMR Kabupaten Malang yang berkisar Rp 3,25 juta per bulan.
Awalnya saya ingin mencari kerja saja di kota. Namun, setelah berdiskusi dengan Pakde yang peternak sapi perah, saya akhirnya bergabung menjadi peternak sapi.
Epi Taufik, Kepala Divisi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB, menilai pola kemitraan ini menjadi bagian dari strategi penting untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri karena membuat peternak bersemangat. Namun, pemerintah juga perlu membuat kebijakan yang lebih strategis agar kemandirian produksi susu bisa segera terpenuhi.
”Masa Orde Baru sebanyak 350.000 bibit sapi didatangkan ke Indonesia dan diberikan ke peternak dengan cara kredit bahkan gratis. Sebanyak 250 koperasi dibentuk dan pemerintah memberi subsidi pakan hingga Rp 500 per kilogram. Sekarang bagaimana?” kata Epi.
Presiden Soeharto, kata Epi, mengeluarkan Inpres No 2/1985 yang isinya memerintahkan gubernur, bupati, menteri pertanian, industri, dan menteri koperasi membangun persusuan. Namun, peraturan itu dicabut IMF. Sejak itu tidak ada peraturan lagi tentang persusuan.
Baca juga: Tantangan Mengamankan Konsumsi Susu untuk Investasi Masa Depan
Saat ini, Epi melihat kebijakan pemerintah lebih cenderung terkonsentrasi ke peternak sapi potong, unggas, atau ayam petelur. Anggaran pun banyak terserap di bidang itu. Padahal, persentasi impor terbesar justru di bidang persusuan yang mencapai hampir 80 persen kebutuhan nasional.
Kementerian Perekonomian sejak 2013 telah mengeluarkan Blue Print Persusuan Indonesia Tahun 2013-2025. Harapannya, pada tahun 2025, target pemenuhan kebutuhan susu nasional dari susu segar dalam negeri sebesar 60 persen.
Mengutip laman Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, blue print dibuat agar produktivitas sapi perah bisa mencapai 20 liter per hari, konsumsi susu meningkat menjadi 30 liter per kapita per tahun, dan populasi sapi perah menjadi 1,8 juta ekor.
Sejumlah kebijakan dan langkah sudah tercantum dalam blue print itu di antaranya meningkatkan populasi, serta pemberian insentif investasi berupa tax allowance, perbaikan genetik sapi, pendampingan penerapan good farming practices (GFP), perbaikan kualitas dan kuantitas pakan, hingga peningkatan pemasaran susu nasional. Namun, dua tahun menjelang 2025, angka produksi, produktivitas bahkan konsumsi susu ternyata tak jauh bergerak.
Perayaan Hari Susu Sedunia pada 1 Juni bisa menjadi momen untuk bergerak. Sudah saatnya pemerintah dan semua pihak memberi perhatian besar pada persusuan karena ini tak hanya persoalan peluang ekonomi, tetapi juga keterjaminan gizi generasi mendatang.
Baca juga: Belanja Susu Formula hingga Rp 3 Triliun