”Melayangan”, Selain Hobi Juga Merawat Tradisi dan Menjaga Alam
Melayangan, atau menerbangkan layangan, tidak hanya sekadar aktivitas rekreasi atau menyalurkan hobi, tetapi juga sebentuk upaya merawat tradisi dan kepedulian terhadap lingkungan.
Sekelompok pemuda dan remaja putra berlarian di area parkir Taman Werdhi Budaya Bali, Jalan Nusa Indah, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Sabtu (27/5/2023) menjelang sore. Sebagian menarik tali dan sebagian lainnya menyambut turunnya sebuah layang-layang berbentuk ikan. Sebelum layang-layang itu mendarat ke tanah, para pemuda dan remaja tersebut berhasil mengangkat layang-layang itu.
”Ada yang patah,” ujar seorang pemuda berteriak sambil mengangkat tubuh layang-layang berbentuk ikan, atau layangan bebean, tersebut. Bilah bambu yang patah berada di bagian ekor. Selain bagian ekor, terdapat bilah bambu yang terlepas pada batang utama layang-layang itu.
”Terpaksa diturunkan sebelum jatuh,” ujar I Wayan Budana (25), pemilik layang-layang bebean mengungkap alasannya menurunkan layang-layang tersebut.
Setelah layang-layang bebean itu diletakkan dengan hati-hati di halaman area parkir Taman Werdhi Budaya Bali, Budana alias Cepung bersama rekan-rekannya melepaskan tali dan membuka guangan, yakni sebentuk busur yang mengeluarkan suara mendengung, dari badan layang-layang bebean tersebut.
Baca juga: Pembuatan Layangan Tradisional Bali
Satu layang-layang itu sudah diturunkan. ”Masih ada satu lagi yang sedang diterbangkan,” kata Cepung seraya menunjuk ke arah langit di atas kompleks Taman Werdhi Budaya Bali, Sabtu (27/5/2023).
Belakangan ini langit di Bali mulai semarak dengan kehadiran beragam jenis layang-layang bermacam warna, yang meliuk-liuk bak menari di angkasa.
Musim melayangan, atau menerbangkan layang-layang, di Bali akan memuncak mulai Juli mendatang, atau memasuki sasih kasa (bulan pertama dalam perhitungan kalender Bali), sampai Agustus atau sasih karo (bulan kedua), saat angin bertiup dari timur laut. Masa itu juga menjadi penanda secara tradisi akan berakhirnya musim panen padi.
Aktivitas rutin
Tidak hanya Cepung, bermain layang-layang juga menjadi aktivitas yang rutin dijalankan Putu Ari Suardita (20), pemuda asal Desa Sading, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Ari mengaku mengisi waktu luang dengan menaikkan dan menerbangkan layang-layang dari sekitar rumahnya. ”Saya hobi melayangan,” kata Ari, Kamis (1/6/2023).
Ari mengaku menyenangi permainan layangan sejak masih kecil. Menurut dia, permainan layang-layang menjadi aktivitas, yang juga digemari di keluarganya. ”Saya mengenal layang-layang dari ayah. Sekarang ini, saya bersama adik juga bermain layang-layang. Untuk hiburan,” katanya.
Aktivitas melayangan, bagi pencinta layang-layang di Bali, terutama di Kota Denpasar dan sekitarnya, kini memberikan tantangan tersendiri. Tantangan itu di antaranya keberadaan lahan yang lapang dan terbuka di Bali, terutama di perkotaannya, semakin terbatas. Bermain layangan juga sangat dibatasi di kawasan, yang terdapat bentangan kabel listrik bertegangan tinggi, atau di sekitar bandara dan kompleks gardu induk listrik.
Kondisi itu mencuat dalam pertemuan komunitas pencinta layangan di Bali bersama Persatuan Layang-layang Indonesia (Pelangi) Bali dan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali di Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Kota Denpasar, Sabtu (2/6/2023).
Meski demikian, bagi pehobi dan pencinta layangan seperti Cepung dan Ari serta lainnya, kendala terbatasnya lahan lapang dan batasan lainnya itu tidak menyurutkan kecintaan mereka untuk tetap membuat dan menerbangkan layang-layang hingga setinggi ratusan meter ke langit.
Sekarang ini sudah ada fiber, tetapi bambu tetap bahan utama layangan. (Artika)
Kepala Bidang Tradisi dan Warisan Budaya di Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Kota Denpasar, Ida Bagus Alit Suryana (49) mengungkapkan, bermain layang-layang tidak mengenal batas usia. Ditemui di kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Kota Denpasar, Sabtu (2/6/2023), Suryana mengaku dirinya juga masih sering bermain layang-layang hingga saat ini.
”Saya sejak kecil suka bermain layangan,” kata Suryana mengingat masa kecilnya. ”Seingat saya, tahun 1981, saya sudah ikut mengangkat layangan. Saat itu saya masih di sekolah dasar,” ujar Suryana.
Baca juga: Permainan Tradisional Bukan Sekadar Main-main
Bagi sebagian masyarakat di Bali, termasuk di Kota Denpasar dan sekitarnya, bermain layang-layang, atau melayangan, tidak hanya aktivitas hiburan dan sebentuk rekreasi atau permainan tradisional, tetapi juga upaya merawat tradisi dan menjaga akar budaya serta melestarikan lingkungan. Para pencinta layang-layang itu tidak hanya bekerja sendiri-sendiri, tetapi juga bergabung dalam komunitas.
Seperti digambarkan grup Emoni dalam lagu berjudul “Melayangan”, yang populer di Bali sekitar delapan tahun lalu, ”...ngajak timpal-timpal/sekaa demen layangan/wenten ne ngerot bantang/wenten ne negulang/wenten masih sane matimbang-timbang/sekaa di layangan/ento je tekekin/solidaritas iraga matimpal (bersama teman-teman/kelompok pencinta layangan/ada yang meraut batang/ada yang mengikat/ada juga yang menimbang/berkelompok di layangan/itu yang dikuatkan/solidaritas kita berteman)...”
Salah satu wadah bagi komunitas pencinta layang-layang di Bali adalah Pelangi Bali. Di luar itu, terdapat pula Komunitas Seni Layangan Bali.
”Komunitas layang-layang di Bali sangat banyak,” kata I Kadek Dwi Armika, Ketua III Pelangi Bali, yang juga Ketua Bidang Ekonomi Kreatif Pelangi, ketika ditemui di kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Sabtu (2/6/2023).
Wadah komunitas
Dwi mengatakan, Pelangi menjadi wadah yang memayungi komunitas layang-layang yang berada di daerah. Pelangi juga berkoordinasi dan berkomunikasi dengan asosiasi dan perkumpulan komunitas layang-layang lainnya yang bertumbuh di daerah.
”Selain membina, kami di Pelangi juga mengoordinasikan agenda kegiatan layang-layang agar berjalan baik dan tidak terjadi beberapa event layang-layang di satu tempat yang sama pada waktu yang berdekatan,” kata Dwi.
Melayangan, atau menerbangkan layang-layang, juga sebentuk tradisi masyarakat agraris di Bali, yang dikaitkan sebagai pemuliaan terhadap Dewa Siwa, satu dari tiga dewa utama dalam kepercayaan Hindu di Bali, yang dipercayai turun ke bumi sebagai rare angon, atau anak gembala. Layang-layang itu menjadi ungkapan rasa syukur dan rasa bahagia petani atas panen, yang mereka peroleh.
Menurut Dwi, layang-layang diterbangkan sebagai ucapan rasa syukur masyarakat Bali atas segala hasil panen dan harapan agar hasil panen memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Melayangan umumnya dilangsungkan di lahan persawahan setelah masa panen berakhir.
Senada Dwi, Suryana mengatakan, layang-layang juga bagian dari kelengkapan persembahan kepada Dewa Siwa, yang turut mengatur siklus kehidupan di dunia dan alam semesta. ”Rare angon sebagai perwujudan Dewa Siwa adalah sebagai pelindung dan pemberi kesejahteraan bagi seluruh makhluk,” ujar Suryana.
Meskipun belum diketahui ihwal mulanya, layang-layang awal diperkirakan dibuat dari daun gadung. Bentuk daun gadung, yang lonjong serupa telur, itu masih bertahan pada layangan pecukan dan layangan janggan, dua bentuk layangan tradisional yang sampai saat ini masih diterbangkan. Layangan janggan adalah layang-layang berekor panjang.
Bahan utama layang-layang tradisional adalah bambu. Menurut perajin layang-layang di Sempidi, Mengwi, Kabupaten Badung, I Gusti Made Artika (62), bambu merupakan komponen penting dalam pembuatan layang-layang. ”Sekarang ini sudah ada fiber, tetapi bambu tetap bahan utama layangan,” ujar Artika.
Beruntung, bambu masih mudah diperoleh di Bali. Pengurus Komunitas Seni Layangan Bali, I Komang Elen Juniadi, mengatakan, pembuatan layang-layang juga menjadi bentuk ekonomi kreatif dan memberikan nilai lebih pada bambu.
Menurut Elen, kerajinan layang-layang di Bali juga membuka lapangan kerja informal karena pembuatan layang-layang tradisional membutuhkan keahlian dan keahlian itu biasanya dimiliki beberapa orang.
”Istilahnya ada undagi (tukang) layangan, ada yang khusus membuat struktur, ada yang khusus mengerjakan kain atau hiasannya, dan ada yang membuat guangan atau pindekan (baling-baling),” kata Elen.
Dia menambahkan, di balik bertahannya pembuatan layangan tradisional, terkandung harapan dan asa akan terjaganya alam dan lingkungan Bali, termasuk lestarinya hutan bambu, yang menyediakan bahan baku layangan.
Seiring perkembangan zaman, model layang-layang juga berkembang, tetapi tidak sedikit pencinta layang-layang yang tetap mempertahankan layangan tradisional. Bahkan, beberapa jenis layang-layang tradisional Bali, misalnya, layangan pecukan dan layangan janggan, disakralkan karena proses dan tahapan pembuatannya dilaksanakan secara khusus dan diupacarai. Bahkan, ketika layangan tersebut akan diterbangkan, juga diawali dengan ritual.
Terkait hal itu, Suryana menyebutkan, komunitas pencinta layang-layang di Bali mengusulkan layangan tradisional Bali agar menjadi warisan budaya tak benda dari Bali.
Adapun Dwi mengatakan, upaya pelindungan dan pelestarian layangan tradisional Bali juga merupakan upaya menjaga dan melindungi alam dan lingkungan Bali serta rasa persaudaraan. Ayo...melayangan.