Hasil nekropsi, gajah itu mati karena keracunan bahan kimia. Akan tetapi, petugas BKSDA Aceh tidak menemukan benda beracun di lokasi penemuan bangkai.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
TAKENGON, KOMPAS — Satu ekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) betina ditemukan mati di dalam area perkebunan warga di Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Dugaan awal satwa lindung itu mati karena keracunan, tetapi belum diketahui jenis racun yang dikonsumsi oleh gajah malang itu.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Gunawan Alza, Senin (12/6/2023), menuturkan, gajah itu diduga mati beberapa hari yang lalu, tetapi bangkainya baru ditemukan pada Jumat (9/6/2023). BKSDA Aceh telah menurunkan tim ke lokasi untuk melakukan nekropsi dan melakukan pencatatan lapangan.
Hasil nekropsi mengejutkan, gajah itu mati karena keracunan bahan kimia. Akan tetapi, petugas BKSDA Aceh tidak menemukan benda beracun di lokasi penemuan bangkai. Diduga gajah itu mengonsumsi racun di lokasi lain dan mati di area perkebunan warga. Jarak dari rumah warga sekitar 300 meter.
”Dugaan sementara bahwa kematian gajah liar karena keracunan,” kata Gunawan.
Bangkai gajah telah mengalami pembengkakan pada bagian perut. Lidahnya hitam memar, anus menyembul, dan mata terpejam sedikit masuk ke dalam. Sejumlah organ, seperti limpa, paru, ginjal, jantung, dan usus, diambil untuk diperiksa di laboratorium. Biasanya butuh waktu hingga dua pekan sampai hasil pemeriksaan laboratorium keluar.
Gunawan mengatakan, gajah salah satu satwa lindung yang terancam punah. Kematian satu ekor saja adalah sebuah kehilangan besar bagi dunia konservasi. ”Kami akan membuat laporan ke Polres Aceh Tengah untuk dilakukan penyelidikan atas kematian gajah tersebut,” kata Gunawan.
Dalam tatanan ekosistem, gajah adalah agen reboisasi alami. Tumbuhan dan buah-buahan yang dimakan dikeluarkan melalui feses menjadi benih tanaman. Secara alami benih itu tumbuh menjadi pohon. Tanpa campur tangan manusia, alam dapat merawat diri sendiri.
Ini bukan kasus pertama kematian gajah karena keracunan. Ada yang sengaja diracun oleh manusia dan ada juga yang keracunan karena makan pupuk kimia. Dalam beberapa kasus, pelaku perburuan sengaja meracuni setelah gajah itu mati baru diambil gadingnya.
Salah satunya pembunuhan terhadap gajah jinak Bunta di Aceh Timur pada 2017. Pelaku memberikan buah kweni yang telah dibubuhi racun kepada Bunta. Setelah mati, sepasang gading milik Bunta digondol untuk diperjualbelikan.
Sejak 2015 hingga 2021, ada 63 gajah di Aceh mati. Penyebab kematian 10 gajah karena diburu, 16 gajah karena sakit atau mati alami, dan 27 gajah karena konflik.
Adapun populasi gajah di Aceh saat ini diperkirakan 539 ekor. Dengan kematian rata-rata per tahun 10 gajah, dikhawatirkan 50 tahun lagi gajah punah. Semakin miris 85 persen populasi gajah kini berada di luar kawasan konservasi.
Barangkali upayanya belum efektif sehingga konflik masih masif.
Konflik masif
Kematian gajah di Aceh Tengah bagian dari imbas konflik perebutan ruang antara satwa lindung dan manusia. Ketol termasuk kawasan dengan intensitas konflik yang masif. Selain gajah, manusia juga ikut menjadi korban atas konflik tersebut.
Pada 4 Juli 2021, Abdurrahman, warga Desa Karang Ampar, Kabupaten Aceh Tengah, tewas akibat diamuk gajah liar.
Dia diserang gajah liar saat menghalau satwa lindung itu ketika masuk ke kawasan permukiman. Seekor gajah jantan muncul dari belakang, kemudian menabrak dan membanting korban. Setelah mengamuk, gajah itu meninggalkan korban dalam keadaan kritis. Abdurrahman meninggal dalam perawatan di rumah sakit.
Sebelumnya, Ketua Tim Pengaman Flora Fauna (TPFF) Karang Ampar-Bergang Muslim mengatakan, konflik gajah dengan manusia di sana hingga kini belum dapat ditangani. Warga nyaris putus asa karena tidak bisa bertani dengan leluasa.
”Gajah liar berkeliaran di perkebunan, bahkan sampai ke perkampungan,” kata Muslim.
”Gajah di sini susah keluar karena di habitatnya banyak illegal logging. Suara chainsaw (mesin pembelah kayu) di hutan membuat mereka terganggu,” kata Muslim.
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Teuku Reza Ferasyi mengatakan, konflik satwa lindung yang telah memakan korban jiwa harus dilihat sebagai persoalan serius.
Reza mendorong pemerintah agar mengevaluasi upaya mitigasi yang telah dilakukan. ”Barangkali upayanya belum efektif sehingga konflik masih masif,” kata Reza.
Reza juga mendorong upaya penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal di dalam kawasan hutan, seperti pembalakan dan perambahan.