Argoforestri Kopi, Asa Penguatan Ekonomi Sekaligus Vegetasi di Lereng Arjuno
Kota Batu bersama Perhutani berupaya mengembangkan kopi melalui kawasan perdesaan argoforestri kopi lereng Arjuno, Selain meningkatkan perekonomian warga, langkah ini juga untuk menjaga vegetasi.
Semilir angin menerpa kawasan ”Gunung Pucung” di lereng barat daya Gunung Arjuno di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, Kamis (15/6/2023) pagi. Di balik rimbun pepohonan, Rudi Prawito (47) sibuk memetik biji kopi robusta yang berwarna merah.
”Ini mau dijual. Ada tengkulak yang biasa datang ke rumah,” ujar lelaki yang bermukim di Desa Sumbergondo, Bumiaji, yang berjarak 2 kilometer dari lokasi itu.
Saat ini harga kopi memang sedang bagus. Di daerah setempat, 1 kilogram biji kopi kering laku Rp 40.000 dari sebelumnya Rp 25.000.
Rudi pun tak selalu menjual dalam kondisi kering. Jika terdesak oleh kebutuhan, menjual biji kopi basah pun terkadang dilakukan meski harganya terpaut jauh. Harga biji kopi basah cukup rendah, hanya Rp 5.000-Rp 6.000 per kg.
Rudi memanfaatkan lahan seluas 2.500 meter persegi dengan kemiringan lebih dari 45 derajat, di tepi alur sungai, untuk menanam kopi bersama tanaman lain, seperti alpukat.
Bibit robusta yang dia tanam sejak 1995 kini mencapai puncak produksi. Dalam kondisi cuaca bagus, dia bisa memanen hingga 1,5 ton per tahun.
”Semua ada 300-an pohon. Kali ini kondisi cuaca sedang bagus sehingga bunga-bunga kopi bermekaran. Tidak gugur oleh hujan,” katanya.
Rudi tidak sendirian. Ada petani lain yang menanam kopi di kawasan itu, termasuk yang memanfaatkan lahan hutan sosial milik Perhutani—di lereng sisi atas kebun kopi miliknya. Kopi itu tumbuh di sela-sela pinus dan pohon hutan lainnya.
”Itu yang menanam petani sini dengan alasan penghijauan. Ada yang sudah lama, ada yang masih baru ditanam beberapa tahun belakangan,” tutur Sunaryo (50), warga Sumbergondo yang lain, sambil menunjuk lahan Perhutani yang dimaksud.
Terkait perluasan tanaman kopi, Pemerintah Kota Batu bersama Perhutani tengah mengembangkan tanaman kopi dalam sebuah kawasan perdesaan argoforestri kopi di lereng Arjuno. Ada empat desa yang disiapkan menjadi lokasi, yakni Sumbergondo, Tulungrejo, Giripurno, dan Bulukerto, dengan total luasan 1.700 hektar.
Kepala Desa Tulungrejo Suliono mengakui, selama ini komoditas kopi di wilayahnya belum optimal. Kopi itu masih ditanam di titik-titik tertentu dan belum masif layaknya kopi di daerah lain. Bahkan, tidak jarang petani hanya menanam satu-dua pohon di pinggir kebun apel yang sudah lama bercokol.
”Tanaman kopi masih mencar-mencar (spot). Ditanam di pematang, hanya untuk senang-senang. Belum tertata dengan baik dan sekadar untuk memenuhi kebutuhan sendiri,” katanya. Dalam rangka agroforestri, Tulungrejo mendapat jatah 500 ha dari 1.200 ha hutan sosial yang diajukan.
Baca juga: Malang Titik Awal Penyebaran Kopi Robusta di Indonesia
Melalui argoforestri diharapkan produksi kopi bisa terus meningkat yang akhirnya berimbas pada kesejahteraan petani. Sementara di sisi lain, kegiatan ini juga berfungsi untuk perbaikan.
Batu yang memiliki luas 199 kilometer persegi, sejauh ini—berdasarkan data Badan Pusat Statistik—baru memiliki 112,3 ha tanaman kopi (2022). Kondisi ini jauh di bawah luas kopi di Kabupaten Malang yang pernah menjadi kabupaten induk (sebelum Batu menjadi daerah otonom pada 2001) yang mencapai 21.000 ha.
Ialah Kecamatan Bumiaji yang memiliki lahan kopi paling luas, yakni 57,75 ha, disusul Batu 47,5 ha, dan Junrejo 7,13 ha. Luas lahan kopi tahun lalu sedikit berkurang dibandingkan 2021 yang mencapai 177,46 ha, yang mana 95,17 ha ada di Bumiaji, 63,58 ha di Batu, dan sisanya 18,71 ha di Junrejo.
Adapun produksi kopi di Batu tahun 2022 sebanyak 84,3 ton, terbanyak di Kecamatan Batu 44,2 ton, disusul Bumiaji 37,5 ton dan Junrejo 2,6 ton. Angka ini juga lebih kecil dari 2021 yang mencapai 128,4 ton, terbanyak di Bumiaji 67,8 ton disusul Batu 50,4 ton dan Junrejo 10,2 ton.
Penjabat Wali Kota Batu Aries Agung Paewai, saat peluncuran Perdesaan Argoforestri Kopi Lereng Arjuno di Wisata Oyot Coban Talun, Rabu (14/6/2023), mengatakan, dari luas wilayah yang dia pimpin, Batu memiliki 15,65 persen hutan lindung, 16,8 persen hutan produksi, dan 22,6 persen hutan konservasi.
Untuk itu, Aries menilai program seperti ini diperlukan guna mengembalikan kualitas ekologi kawasan hutan dengan tetap memerhatikan kesejahteraan masyarakat. Kawasan argoforestri akan memanfaatkan lahan di Desa Sumbergondo seluas 500 hektar, Bulukerto 300 ha, Tulungrejo 500 ha, dan Giripurno 500 ha.
”Kopi di lereng Arjuno menjadi harapan sebagai komoditas ikonik kota Batu selain apel. Dalam konsep hutan lestari, kita berharap masyarakat turut serta menjaga kelestarian kawasan hutan produktif dan ikut bertanggung jawab serta mengelolanya,” ujarnya.
Untuk pengembangan tahap pertama ini, kata Aries, memang belum besar. Sudah ada dua petani yang mengembangkan di lahan 2,5 ha. Sisanya akan dikembangkan di empat desa di tahap berikutnya dengan pertimbangan dana dan kerja sama dengan pihak lain.
”Insy Allah ini penguatan di sektor hortikultura tidak lagi di gunung. Supaya ke depan tidak ada erosi sehingga kita manfaatkan dengan kopi. Ada juga tanaman lain, seperti lada,” katanya.
Sedikit mengilas balik, soal erosi, tentu masih ingat pada banjir bandang November 2021 yang menewaskan tujuh orang di Batu. Kala itu, berdasarkan catatan Kompas, masalah lingkungan yang berubah peruntukan disebut-sebut sebagai salah satu pemicu, selain faktor hujan deras dan pembendungan alami di alur sungai yang berhulu di lereng Arjuno.
Adapun mengenai hasil panen, Aries menyebut Perhutani yang akan membeli hasil produksi petani. Menurut rencana, bantuan juga dilakukan Pemerintah Kota Batu dalam hal pemasaran. ”Ada subsidi dari kita,” ujarnya.
Kopi di lereng Arjuno menjadi harapan sebagai komoditas ikonik kota Batu selain apel.
Senada dengan Aries, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, yang hadir pada kesempatan itu, mengatakan, agar pengembangan tanaman kopi ini diniatkan bukan semata-mata hanya untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga penguatan ekologi, vegetasi lingkungan.
Untuk mendukung langkah itu, menurut Khofifah, dibutuhkan sinergitas semua pihak, termasuk pihak swasta yang nantinya bakal menampung kopi hasil panen dari petani.
Baca juga: Ikhtiar Malang Mendulang Nilai Tambah Kopi Robusta
”Tentu ada pengusaha di dalamnya karena kita butuh untuk bisa menanam di lahan tersebut. Oleh sebab itu, ini proses yang musti terintegrasi di seluruh lini. Menanam sekarang, artinya dua tahun ke depan panen, mungkin sudah bisa disiapkan pasarnya,” katanya.
Khofifah juga mengingatkan perlunya dibangun komunal branding. Hal ini penting karena untuk bisa menembus pasar ekspor perlu dukungan dari sisi kuantitas dan kontinuitas. Setelah itu, ada kualitas kontrol.
Sejauh ini sudah ada beberapa komunal branding kopi di Jawa Timur, seperti kopi Bondowoso, kopi Kare Madiun, dan kopi Wonosalam Jombang.
Ke depan, Khofifah juga mengingatkan jika Batu berpotensi memiliki Desa Devisa, sebuah program pemberdayaan untuk mengembangkan potensi komoditas ekspor guna peningkatan kesejahteraan.
”Ketika suatu desa memiliki produk asli (bukan dari desa lain), serta warga yang menginisiasi banyak dan memiliki asosiasi, maka status itu berpotensi tersematkan,” katanya.
Lewat kopi, petani diharapkan bisa berdaya.