Perhutanan Sosial di Sumsel Kekurangan Tenaga Pendamping
Percepatan perhutanan sosial di Sumatera Selatan terkendala keterbatasan tenaga pendamping dan tim pakar. Padahal, keberadaan mereka sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat di kawasan hutan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Percepatan perhutanan sosial di Sumatera Selatan terkendala keterbatasan jumlah tenaga pendamping dan tim pakar. Padahal, keberadaan mereka sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola kawasan hutan.
Hal ini mengemuka dalam Rapat Kerja Himpunan Masyarakat Perhutanan Sosial di Sumsel, Senin (19/6/2023). Hadir dalam rapat tersebut sejumlah pengelola perhutanan sosial di provinsi tersebut.
Berdasarkan peta indikatif, luasan perhutanan sosial Sumsel mencapai 413.151 hektar (ha). Dari jumlah tersebut, usulan yang sudah mendapatkan persetujuan pengelolaan hutan baru sekitar 134.213 ha yang terbagi dalam 211 izin. Pengelolaan itu melibatkan sekitar 34.000 keluarga dengan 261 kelompok usaha.
Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Panji Tjahjanto menuturkan, upaya percepatan perhutanan sosial terus dilakukan. Salah satu caranya dengan menambah jumlah tenaga pendamping. Keberadaan mereka sangat dibutuhkan, terutama dalam upaya pembentukan pelembagaan, pembuatan program kerja, dan pengembangan kapasitas petani di dalam kawasan hutan.
Namun, saat ini, Sumsel baru memiliki 55 tenaga pendamping perhutanan sosial. Padahal, seharusnya satu izin perhutanan sosial didampingi oleh satu tenaga pendamping sehingga Sumsel masih kekurangan 156 tenaga pendamping.
Dalam proses pengembangan kawasan hutan, lanjut Panji, kelompok petani juga biasanya terbentur beberapa kendala, seperti keterbatasan modal, akses pasar, dan menyatukan pemikiran dalam sebuah program. Di sinilah diperlukan sinergitas semua pemangku kepentingan.
Menurut Panji, perluasan program perhutanan sosial sangat dibutuhkan untuk menekan potensi perambahan hutan dan meredam konflik. Dari hasil pendampingan, perhutanan sosial di Sumsel terbukti bisa meredam risiko penebangan liar atau bentuk kerusakan hutan lain. ”Itu karena warga memperoleh manfaat ekonomi dari hutan yang dikelolanya,” ucapnya.
Masih rendahnya capaian perhutanan sosial di Sumsel disebabkan terbatasnya tenaga pendamping. Di sinilah perlu kolaborasi antarpihak agar perhutanan sosial di Sumsel bisa lebih luas. ”Setiap tahunnya, kami menargetkan ada tambahan 50.000 hektar izin pengelolaan perhutanan sosial,” ucapnya.
Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Catur Endah Prasetiani menuturkan, untuk mempercepat program perhutanan sosial, sejumlah strategi mulai dicanangkan. Strategi itu seperti penyelarasan program kementerian untuk peningkatan kapasitas warga yang tinggal di kawasan hutan.
Selain itu, pelibatan pemangku kepentingan, seperti lembaga swadaya masyarakat, pemerintah daerah, dan akademisi. Misalnya, ungkap Catur, Universitas Kuningan yang melakukan pendampingan kepada ibu-ibu pada salah satu kelompok masyarakat yang tergabung dalam perhutanan sosial.
Dengan cara ini, diharapkan petani setempat bisa memperoleh pendapatan lebih dari satu jenis komoditas.
Dengan cara ini, diharapkan program perhutanan sosial bisa dipercepat. ”Karena KLHK tidak bisa kerja sendiri, penyelarasan program antarpemangku kepentingan pun sangat dibutuhkan,” ujarnya.
Adapun konsep pengelolaan kawasan perhutanan yang paling mungkin dilakukan adalah agroforestri di mana warga bisa memanfaatkan beragam jenis usaha kehutanan dengan konsep kehutanan berkelanjutan. ”Dengan cara ini, diharapkan petani setempat bisa memperoleh pendapatan lebih dari satu jenis komoditas. Selain itu, tutupan hutan bisa semakin bertambah,” ujar Catur.
Gubernur Sumsel Herman Deru berharap agar warga dapat memberikan nilai tambah pada produk yang dikelolanya. Dia mencontohkan komoditas karet yang banyak dimanfaatkan di dalam kawasan hutan.
Petani di sana perlu dilatih untuk membuat produk karet dalam bentuk lateks sehingga bisa diturunkan menjadi berbagai produk seperti sarung tangan dan alat kontrasepsi. Menurut dia, dengan pemanfaatan hutan, diharapkan risiko kebakaran lahan di Sumsel dapat dikurangi karena semakin banyak warga yang memperoleh manfaat dari tegakan hutan.
Pendamping Perhutanan Sosial dari Hutan Kita Institut, Aidil Fikri, mengakui saat ini memang peran pendamping sangat dibutuhkan. Namun, karena keterbatasan sumber daya manusia, tidak semua kelompok masyarakat dapat terakomodasi. ”Selain itu, perlu sinergi dan komitmen dari pemerintah daerah untuk mempercepat program perhutanan sosial,” katanya.
Ia berpendapat, peran pemerintah paling krusial. Hanya saja, sampai saat ini pihaknya seakan bekerja sendiri dengan mengandalkan pendanaan dari pihak non-pemerintah sehingga percepatan perhutanan sosial di Sumsel ini dirasa kurang maksimal.
Koordinator Tim Pakar Pokja Percepatan Perhutanan Sosial Rabin Ibnu Zainal menuturkan, pelibatan semua pemangku kepentingan merupakan cara jitu untuk mempercepat program perhutanan sosial di Sumsel. Untuk pelibatan langsung akademisi baru, akan dicanangkan tahun ini melalui program kuliah kerja nyata dan merdeka belajar.
”Dengan pelibatan mahasiswa dalam pengembangan program perhutanan sosial, diharapkan dapat mempercepat program perhutanan sosial ini,” ucapnya.
Rabin menilai, potensi perhutanan sosial sangatlah besar. Selain meningkatkan nilai tambah komoditas yang dikelola, potensi perdagangan karbon juga sangat menguntungkan. Semakin banyak tegakan pohon, potensi penjualan karbon kian besar. Apalagi, saat ini regulasi perdagangan karbon tengah digodok dan pangsa pasar sangat tinggi, terutama pada perusahaan di Eropa dan sejumlah negara maju.