Pameran Saja Tak Cukup Menyejahterakan Perajin Tenun di NTT
Tak kunjung terjual, ribuan kain tenun tradisional tersimpan di galeri tenun dan rumah-rumah perajin. Pemasaran hasil kerajinan tenun ikat menjadi masalah utama perajin di NTT. Pameran saja belum cukup jadi solusi.
Tumpukan kain tenun ikattersusun rapi di setiap galeri tenun ikat dan rumah-rumah perajin. Ribuan kain itu di antaranya sudah berusia belasan tahun. Meski tidak laris terjual, kegiatan menenun terus berlangsung.
Syariat Libana (57), perajin asal Desa Dulolong, Kecamatan Alor Barat Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, Minggu (25/6/2023), menghubungi Kompas dengan nada kecewa. Ia baru saja selesai mengikuti festival tenun ikat di lapangan mini Kalabahi, ibu kota kabupaten.
”Saya diminta panitia bawa 100 lembar kain, mulai dari selendang sampai kain lembaran panjang 20 meter dan lebar 1 meter. Pameran sudah selesai. Cuma laku 15 lembar, sebagian besar selendang. Awalnya, panitia menyebutkan banyak pengunjung dalam pameran itu,” kata Libana.
Ia mengaku, saat ini ada 3.000 lembar kain tersimpan di 20 lemari kaca dan sebagian dipajang di galerimiliknya di desa itu. Jarak Desa Dulolong-Kalabahi 25 kilometer menyusuri pesisir Teluk Mutiara yang indah. Sambil berkendara, penumpang dapat menyaksikan keindahan laut. Melihat lumba-lumba bermain ombak di Mulut Kumbang, antara Pulau Kepa dan Pulau Alor Besar.
Baca juga : Safrudin Tonu, Daur Ulang Ekonomi Tenun NTT
Usia kain itu ada yang sampai 17 tahun, terutama kain adat dengan nilai sampai Rp 10 juta per lembar. Harga kain yang dijual di Galeri Tenun itu memang berkisar Rp 50.000 hingga Rp 10 juta per lembar. Kain-kain tersebut hanya diminati wisatawan yang datang di rumah tenun atau saat perajin mengikut pameran. Warga lokal jarang berminat karena rata-rata ibu-ibu juga menenun di rumah masing-masing.
”Rata-rata semua kain di NTT diberi harga seperti itu. Konsumen mengeklaim, harga itu terlalu mahal. Sulit dijangkau. Ya, menenun saja butuh waktu berhari-hari. Belum termasuk modal usaha dan jasa perajin,” katanya.
Meski kain tenun jarang terjual, kegiatan menenun 75 kelompok tenun binaan Libana terus berlangsung. Mereka adalah ibu-ibu rumah tangga yang ingin membantu suami menambah penghasilan keluarga melalui usaha tenun ikat. Hasil karya mereka dibeli langsung Libana, sebagian dipajangdi Galeri Libana. Namun, lama-kelamaan Libana sendiri pun kesulitan modal usaha.
Kain hasil karya 75 kelompok perajin dengan anggota sekitar750 ibu rumah tangga itu sebagian besar menumpuk di Galeri Libana. Rata-rata sebulan hanya laku 10 lembar. Sementara produksi mencapai 200 lembar kain per bulan, bahkan sebelumnya 400 lembar. Semangat menenun terus merosot karena perajin kesulitan modal.
Baca juga : Saat Wisatawan Asing Belajar Menenun di Nagekeo, NTT
Jarang pembeli. Suasana paling sepi saat masa Covid-19. Sejak awal 2023, satu bulan rata-rata kain terjual 10 lembar. Semua itu dibeli wisatawan yang datang. Jika ada kegiatan pameran di Alor atau di luar Alor bisa laku sampai 30 lembar,” katanya.
Pemilik Rumah Tenun Ikat Ina Ndao, Kupang, Dorce Lusi Ina Ndao, mengatakan, showroom miliknya terisi sekitar 5.000 kain. Kain yang terjual tak menentu. Sebagian besar dibeli para tamu dari luar, termasuk pegawai BUMN yang berkantor di Kupang.
Ketika ada kebijakan pemprov tahun 2019 bahwa semua aparatur sipil negara (ASN) wajib mengenakan sarung tradisional ke kantor pada hari tertentu, kain tenun milik Dorce cukup laris terjual. Setiap ada kebijakan pemda mewajibkan ASN mengenakan kain tenun daerah asal masing-masing, kain di Rumah Tenun Ina Ndao cukup diminati.
Baca juga : Kerajinan Tenun Ikat Masuk Sekolah di NTT, Bahan Baku Jadi Kendala
Jika sekolah negeri dan swasta, perguruan tinggi, dan ASN di 22 kabupaten/kota mewajibkan penggunaan sarung tenun daerah asal, semua galeri tenun ikat dan rumah-rumah tenun pasti tidak menumpuk sarung dengan percuma. Dengan begitu, pemerintahmembantu perajin. Perajin juga bakal semakin termotivasi.
”Kalau 5,3 juta penduduk NTT diwajibkan mengenakan kain tenun hasil kerajinan di daerah ini, menurut perkiraan saya sangat membantu perajin sekaligus menekan angka kemiskinan yang ada. Dengan demikian, kasus perdagangan orang ke luar negeri pun bisa diminimalkan karena sumber ekonomi ada di sekitarnya,” kata Dorce.
Sumber ekonomi terganggu
Maria Fransiska (46), perempuan Desa Kesokoja, Kecamatan Nele, Kabupaten Sikka, mengatakan, sejak menikah 26 tahun silam, ia sudah menenun di rumah. Tenunan dibawa ke rumah tenun milik Baba Ice di Maumere, sekaligus ia berbelanja kebutuhan hidup di Pasar Maumere. Beras, gula pasir, minyak tanah, dan pakaian anak.
Akan tetapi, sejak 2013, pembelian sarung tenun ikat di sejumlah rumah tenun di Maumere, termasuk rumah tenun Baba Ice, makin sepi. Turis asing dan lokal makin jarang singgah di Maumere. Semua rumah tenun sepi pengunjung. Kebanyakan turishanya sampai di Labuan Bajo. Mereka tidak lagi menyinggahi Maumere dan sekitarnya seperti sebelumnya.
Baca juga : Usaha Tenun Ikat NTT Menggeliat, Perajin Harapkan Bantuan Modal
Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) NTT membantu sejumlah perajin dengan cara membeli produk dan melibatkan mereka ikuti beberapa pameran. Tetapi, itu saja tidak cukup. Apalagi, perajin yang dilibatkan pun hanya 1-2 orang.
Kondisi makin memprihatinkan ketika Covid-19 melanda sepanjang 2020-2022. Saat pandemi itu, banyak ibu rumah tangga memilih menenun di rumah. Namun, tenunan disimpan saja di rumah. Setiap perajin rumahan menyimpan 20-100 lembar kain sarung.
Sebagian kain untuk urusan adat. Sebagian dibawa ke pasar-pasar tradisional, sesuai pelaksanaan hari pasar, tetapi tidak semua laku terjual. Jika satu atau dua lembar sarung terjual, itu sangat membantu perajin. Selain kembali modal, juga untuk belanja kebutuhan rumah tangga.
”Hasil tenun sebagian perajin langsung dikirim ke rumah tenun atau pengusaha yang menyiapkan bahan baku dan pelatihan. Kelompok ini menenun sesuai arahan atau keinginan pengusaha. Nasib mereka lebih baik dari perajin rumahan,” kata Fransiska.
Koordinator Rumah Tenun Sabu, Kelurahan Kolhua, Kota Kupang, Titus Paitodi (63) mengatakan, pemasaran menjadi masalah serius bagi perajin. Jika hasil tenun disimpan bertahun-tahun, warnanya bakal pudar dan dirusak binatang.
Baca juga : Asa Perajin Tenun NTT Diuji
Belum ada organisasi profesi yang mengoordinasi para perajin ini. Mereka tersebar di setiap desa dan kecamatan. Padahal, para perajin merasa perlu ada wadah yang menaungi mereka baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, maupun desa.
Perajin rumahan tidak pernah tahu ada kegiatan pameran atau festival tenun ikat tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Jika ada wadah yang menaungi, mereka bisa saling berbagi informasi soal tenun, termasuk ajang pameran.
”Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) NTT membantu sejumlah perajin dengan cara membeli produk dan melibatkan mereka ikuti beberapa pameran. Tetapi, itu saja tidak cukup. Apalagi, perajin yang dilibatkan pun hanya 1-2 orang,” katanya.
Ia mengusulkan agar pemprov mengeluarkan aturan yang mendukung perajin NTT, misalnya dengan mengimbau semua warga NTT mengenakan sarung tenun ikat. Aturan wajib berseragam tenun ikat itu bisa berlaku di sekolah-sekolah mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai perguruan tinggi, juga bagi kalangan ASN, pegawai BUMN/BUMD, dan semua organisasi kemasyarakatan.
Baca juga : Kisah di Balik Tenun Kampung untuk Para Pemimpin ASEAN
”Kalau bukan kita orang NTT, siapa lagi. Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi. Melestarikan budaya ini tanggung jawab semua orang, dengan cara bergotong royong dan saling membantu,” kata Titus.