Sejahtera dari Wisata hingga Siaga Bencana
Sejumlah infrastruktur di Jabar diperbaiki dalam beberapa tahun terakhir. Tidak hanya menambah fungsi bangunan lama, kehadirannya ikut menyiapkan warga setempat menghadapi perubahan.
Wajah sejumlah situ atau danau di Jawa Barat bagian selatan kini bersolek pascarevitalisasi. Situ itu tidak hanya mengundang lebih banyak wisatawan, tetapi juga untuk menghadapi bencana kemarau dan banjir di tengah perubahan iklim. Warga pun semakin menjaga situ meski dengan tantangan.
Di bawah langit biru, sejumlah warga berlari mengelilingi Situ Wangi di Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Selasa (13/6/2023) sore. Kaki mereka melangkah di atas paving block yang tersusun rapi dengan rumput hijau di kedua sisinya. Teratai merah tampak mengapung di kolam.
Di sepanjang trek joging itu berdiri sekitar 20 gazebo. Di dalam bangunan kayu itu, warga bercerita, menikmati kopi dari warung setempat, atau berbaring. Udara sejuk dari hutan di daerah dengan ketinggian sekitar 540 meter di atas permukaan laut itu turut memanjakan pengunjung.
Pengunjung dapat naik ke menara pandang bertingkat lima jika ingin melihat situ. Ada pula kafe dengan view situ yang ramai dikunjungi. Lampu taman menghiasi kala malam gelap. “Kalau hari Minggu, bisa 500 orang datang ke sini,” ujar Iyus Yusman, petugas Pintu Air Situ Wangi.
Wisatawan tidak hanya dari Ciamis, tetapi juga Tasikmalaya, hingga wilayah Jakarta. Bahkan, Iyus pernah melihat bule mampir. Usaha warga mulai bermunculan, dari warung hingga rencana homestay. Ada pula amphiteater mini untuk ruang pertunjukan hingga area foto pranikah.
Baca juga: Upaya Kreatif Buka Pintu Sejahtera di Jabar Selatan
Kondisi situ tersebut berbanding terbalik dengan beberapa tahun lalu. Dahulu, situ seluas 3 hektar itu dikenal kumuh dan hanya tempat mancing.
“Tempatnya kotor. Sebelum mancing, harus bersihin sampah. Di sini juga banyak rawa,” kata mantan kepala kampung setempat ini.
Situ itu, ujarnya, juga jadi saksi ancaman terhadap alam. “Dulu, orang nebang pohon dan bambu di bawa ke sini. Caranya, dialirin. Bahkan, comberan dari rumah warga juga ke sini. Saya sentuh dari orang ke orang supaya menjaga situ. Sekarang, sudah tidak kotor lagi,” katanya.
Tidak pernah kering
Perubahan mencolok Situ Wangi bermula 2021 setelah Gubernur Jabar Ridwan Kamil merevitalisasi situ yang dibangun tahun 1808 itu. Baginya, revitalisasi yang menelan biaya Rp 15 miliar itu menjaga fungsi situ sebagai pelestari kawasan, wisata, hingga antisipasi bencana.
Setelah revitalisasi, misalnya, pemancingan dibatasi untuk menjaga stok ikan di situ. Bulan sebelumnya, sejumlah dinas terkait menebar sekitar 40.000 bibit ikan mas, tawes, hingga nila. Selain menjaga habitatnya, upaya itu juga untuk membersihkan air dari gulma dan rumput.
“Kelebihan Situ Wangi itu airnya tidak pernah kering. Paling surut 40 sentimeter,” ujar Iyus. Situ dengan kedalaman tiga meter dan volume 114.000 meter kubik itu, lanjutnya, membantu warga yang sumurnya mengering kala kemarau. Apalagi, sungai sekitar juga kerap mengering.
Bahkan, sejumlah proyek pembangunan, beberapa pondok pesantren, hingga mobil pemadam kebakaran mengambil air di situ tersebut. Situ Wangi juga mengairi 108 hektar sawah di enam kampung yang warganya mencapai 6.000 orang. Sawah pun bisa aman dari ancaman kekeringan.
Situ Wangi bisa dibilang ikut beradaptasi menghadapi perubahan iklim, seperti El Nino yang bisa berujung pada kekeringan. Apalagi, indikasi perubahan iklim sudah tampak dari tidak jelasnya musim kemarau dan hujan hingga sumur warga dan sungai yang mengering.
Uniknya, Situ Wangi mendapatkan pasokan air bukan dari Sungai Cipadaren, melainkan mata air setempat. Menurut Iyus, Eyang Imam Faqih dan Raden Arya Kusumadiningrat membangun situ itu pada abad ke-18 karena memahami mata air di sana harus dijaga untuk kesejahteraan warga.
Dengan situ, air hujan juga dapat tertampung sehingga tidak terbuang atau malah memicu banjir. Sejauh ini, UPTD Sungai Citanduy memasang alat pengukur curah hujan di Situ Wangi.
“Tugas saya mengecek alat itu. Datanya dikirim ke UPTD untuk persiapa pengendalian banjir,” katanya.
Tidak hanya siaga bencana, situ juga mengungkit perekonomian warga. “Dulu, sebelum revitalisasi, paling saya dapat Rp 200.000 kalau akhir pekan. Sekarang, bisa Rp 700.000 sampai Rp 1 juta. Malahan, sehabis Lebaran bisa Rp 1,5 juta” ujar Epon Mulyani (36), pedagang.
Warung kecilnya yang dulunya beralas tanah kini menjelma semen dan fasilitas internet nirkabel. Sebanyak 10 usaha mikro kecil juga menitipkan produknya, mulai dari roti, kerupuk, hingga bakso goreng. “Cuma, lampu di sini ada yang mati. Jadi, malam gelap,” kata ibu dua anak ini.
Situ Gede
Revitalisasi juga menyentuh Situ Gede di Kota Tasikmalaya. Pada tahap pertama pembangunan yang menelan biaya Rp 7 miliar, kawasan seluas 47 hektar itu kini lebih tertata. Pemprov Jabar membangun pagar di sekitar situ, saung besar untuk lesehan, hingga kios pedagang kaki lima.
“Setelah revitalisasi tahap pertama, jumlah wisatawan lebih banyak. Bisa bertambah sampai tiga kali lipat dari sebelumnya, yakni sekitar 1.000 orang pada akhir pekan,” kata Elvan Robiyana, Kepala UPTD Pengelola Sumber Daya Air Wilayah Sungai Ciwulan Cilaki.
Menurut dia, pengunjung Situ Gede berasal dari Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, hingga Jakarta dan sekitarnya. Wisatawan bisa menikmati ikan hasil situ hingga naik perahu untuk ziarah ke makam Eyang Prabudilaya di tengah Situ Gede. Klakson musik di perahu meramaikan suasana.
Menariknya, kata Elvan, warga mendukung revitalisasi situ. ”Ada 32 PKL (pedagang kaki lima) yang membongkar sendiri lapaknya. Mereka akan dipindahkan ke dapur bagian bawah saung. Tapi, teknisnya, masih dibicarakan. Intinya, pembangunan situ ini untuk masyarakat,” ujarnya.
Selain wisata, Situ Gede juga berperan dalam penyediaan air baku di Linggajaya, Kecamatan Mangkubumi, hingga mengairi 190-200 hektar sawah di sekitarnya. Meski surut saat musim kemarau, katanya, situ itu tidak pernah kering kerontang. Situ itu pun jadi tempat menjala ikan.
“Sekarang, musim susah diprediksi. Dengan situ ini, ada penampungan yang menyediakan pasokan air bagi masyarakat,” ujar Elvan. Selain musim hujan, situ juga mendapatkan air dari Sungai Cikunten. Bersih-bersih hingga pengerukan kolam rutin dilakukan untuk menjaga situ.
“Kualitas air di sini bagus karena tidak ada cemaran industri seperti di pantura. Indikasinya, ikan-ikan di sini bagus,” katanya. Ketika musim hujan, situ yang dibangun pada 1932 itu juga bisa mencegah banjir. Berada di kawasan hijau, situ itu merupakan daerah tangkapan air.
Kami tidak hanya membangun fisik, tetapi juga sumber daya manusianya, baik kuantitas maupun kualitasnya. (Iendra Sofyan)
Gostin (60), pemilik usaha perahu, mengatakan, penghasilannya bertambah setelah Situ Gede direvitalisasi dua tahun terakhir. Sebelumnya, ia hanya mengantongi maksimal Rp 500.000 akhir pekan. Kini, ia bisa meraup hingga Rp 800.000 saat akhir pekan karena pengunjung meningkat.
Meski belum sepenuhnya sempurna, revitalisasi situ telah memberikan manfaat. Dari wisata hingga antisipasi bencana. Revitalisasi situ merupakan satu dari sekian pembangunan infrastruktur di Jabar selatan, selain pembenahan alun-alun hingga pemasangan pemecah ombak.
“Kami tidak hanya membangun fisik, tetapi juga sumber daya manusianya, baik kuantitas maupun kualitasnya,” ujar Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jabar Iendra Sofyan. Kisah warga yang menjaga kebersihan di Situ Gede dan Situ Wangi jadi buktinya.
Menurut Iendra, revitalisasi situ hingga alun-alun diharapkan meningkatkan pariwisata. Sektor ini, katanya, lebih pas di Jabar bagian selatan yang alamnya masih lestari. “Kami ingin mempertahankan daerah selatan tetap hijau. Memang ada industri, tapi kecil,” tuturnya.
Jabar selatan, katanya, tidak perlu menjadi daerah industri dengan aneka pabrik, seperti di wilayah utara. “Industri bukan lagi senjata mutakhir mengurangi pengangguran. Sekarang, sudah berubah. Ciri khas perdesaan yang hijau di Jabar selatan jadi keunggulan. Semua untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk menghadapi beragam perubahan. Butuh waktu tapi berada di jalur yang tepat,” ujarnya.
Ikut jaga
Harapan itu bisa jadi terlihat saat Ikah (49) dengan tenang menyapu daun kering di tengah keramaian Situ Gede. Uniknya, Ikah bukan petugas kebersihan kawasan.
Dia satu dari puluhan pedagang ikan bakar yang berada di sisi situ sejak 2001. Menjadi salah satu yang terlama, dia tidak segan membersihkan pelataran Situ Gede setiap hari.
"Tidak ada yang menyuruh. Saya cuma ingin ikut menjaga bangunan yang sudah dibuat pemerintah. Sayang bila bangunannya bagus tapi sampah masih berserakan," kata Ikah. Kata bangunan merujuk pada pendopo anyar yang dibuat di Situ Gede.
Bagi Ikah, pendopo itu menawarkan banyak makna sekaligus tantangan. Kata Ikah, pembangunan pendopo membuat sebagian rekannya kehilangan tempat berjualan. Akibatnya, Ikah rela berbagi tempat dengan pedagang lain agar dapur tetap mengebul.
“Karena berbagi, pengunjung yang datang berkurang. Dari 300 orang dengan 50 kilogram ikan menjadi lebih kurang 100 orang per hari dengan 30 kilogram ikan. Namun, kami sadar, pemerintah punya niat baik menata tempat ini,” katanya.
Baca juga: Tertarik Rayuan Pantai Selatan Jabar
Namun, Ikah juga tidak ingin berpangku tangan. Keterbatasan membuat daya kreatifnya muncul. Bersama beberapa pedagang, ia mulai aktif menawarkan jasa katering beragam masakan berbahan ikan. Mereka menawarkan banyak paket makanan dengan harga bervariasi memulainya dari pelanggan yang datang ke Situ Gede.
“Sejauh ini, beberapa pelanggan sudah mulai tertarik dan memesan menu catering. Mereka percaya karena nama kami sudah dikenal di Situ Gede. Semoga setelah kawasan ini semakin canti, usaha kami juga terus terpromosikan,” katanya.