Menoleh ke Peneleh
Festival Peneleh dalam Java Coffee Culture kurun 7-9 Juli 2023 menjadi bagian dari program revitalisasi Peneleh sebagai kampung wisata sejarah dan budaya serta pemberdayaan UMKM untuk pariwisata Surabaya.
Teatrikal pertempuran Pertahanan Tunjungan, Pencanangan Wisata Sejarah Peneleh, dan Foto Dokumentasi Sejarah Peneleh di depan Gedung SIOLA atau Mal Pelayanan Publik, Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (9/7/2023) petang, menjadi puncak Festival Peneleh dalam Java Coffee Culture.
JCC & Festival Peneleh merupakan inisiasi Bank Indonesia Perwakilan Jawa Timur, Pemerintah Kota Surabaya, dan komunitas pelestari sejarah, yakni Begandring Soerabaia yang berbasis di Lodji Besar, Jalan Makam Peneleh. Kurun 25 Juni-6 Juli 2023 diadakan kompetisi fotografi Peneleh dalam Lensa dan Parade Mural.
Kedua kegiatan itu merupakan jalan menuju JCC & Festival Peneleh, 7-9 Juli 2023. Bersamaan dengan parade mural, ada pembangunan dermaga Kalimas, pemasangan lampu-lampu, penanda jalan, dan pengecatan jembatan untuk peluncuran Revitalisasi Peneleh sebagai Kampung Wisata Heritage (bersejarah) melalui Festival Peneleh yang bertema Indonesia Dimulai dari Sini.
Festival ditandai dengan menyingkap kelambu penanda Kampung Wisata Peneleh di depan Lodji Besar, Jalan Makam Peneleh, Jumat (7/7/2023) petang. Lodji Besar merupakan basis komunitas yang bertahun-tahun memperjuangkan revitalisasi Peneleh. Festival menjadi langkah awal pengembangan wisata Peneleh berbasis sejarah, budaya, dan usaha mikro kecil menengah (UMKM) kuliner dan cendera mata.
Baca juga : Meleburkan Festival Kopi Nusantara dan Pasar Rakyat Peneleh di Surabaya
Selepas pembukaan kelambu itu, Lurah Peneleh Skundario Kristian Indra Putra memberangkatkan lebih kurang 50 peserta Jelajah Sejarah Peneleh. Inisiator Begandring Soerabaia Kuncarsono Prasetyo menjadi salah satu pemandu jelajah ke Makam Belanda Peneleh, Masjid Jami Peneleh, Museum HOS Tjokroaminoto, Jembatan Peneleh (jembatan cinta Soekarno-Oetari), Rumah Lahir Bung Karno, Gedung Kelahiran Lambang Nahdlatul Ulama, Gedung Muhammadiyah Pertama, dan Sumur Jobong Era Majapahit. Kegiatan jelajah diulang pada keesokan hari.
Selain itu, di Jalan Makam Peneleh juga didirikan deretan stan untuk UMKM kuliner dan cendera mata sebagai pasar rakyat. Pengunjung dapat bernostalgia mencicipi kuliner khas, misalnya sate manggul atau sate kelapa, bikang dan ote-ote Peneleh, dan minuman pinilih.
Masih di jalan yang tidak lebar itu, di depan gerbang makam didirikan layar tancap dan panggung hiburan. Yang disuguhkan pada Jumat-Sabtu petang sampai malam itu ialah kroncong, tari pencak silat, patrol, dan pemutaran film Fatmawati, Koesno Jati Diri Sukarno, dan Soera Ing Baia Gemuruh Revolusi 45.
Curabhaya
Permulaan festival pada 7 Juli 2023 sekaligus menandai peringatan 665 tahun Prasasti Canggu atau Trowulan 1. Prasasti berupa lempeng tembaga ini dikeluarkan oleh Raja Majapahit Hayam Wuruk pada 7 Juli 1358. Lempeng tersimpan di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti sebagai penanda awal kemunculan nama Curabhaya sebagai naditira pradeca atau desa tepi sungai dari Bengawan Brantas.
Prasasti Canggu memuat nama-nama naditira pradeca di sepanjang Bengawan Brantas dan Bengawan Solo. Di Mojokerto, Brantas bercabang menjadi Kali Surabaya dan Kali Porong. Kali Surabaya bercabang lagi di Wonokromo menjadi Kalimas dan Kali Jagir. Di masa kuno, Kalimas diyakini disebut Curabhaya, sedangkan dalam peta masa VOC disebut Rivier van Sourabaja yang selanjutnya pada masa Hindia-Belanda menjadi Rivier van Soerabaja, lalu Soerabaia.
Menurut prasasti, Curabhaya berada di hilir atau utara kampung Gsang atau kini Pagesangan dan Bkul atau kini Bungkul. Di antara ketiga kampung itu, yang sampai saat ini terdapat temuan arkeologi masa Majapahit cuma ada di Kelurahan Peneleh tepatnya di Kampung Pandean.
Baca juga : Nuansa Warna 730 Warsa Surabaya
Pada 2018 ditemukan sumur jobong dan fragmentasi tulang manusia. Oleh tim sejarah Universitas Airlangga dan Pemerintah Kota Surabaya diketahui bahwa bagian rangka setelah uji karbon ternyata berasal dari tahun 1430. Sumur bisa diyakini sudah ada sebelumnya yang sezaman dengan Majapahit.
Secara fisik, kampung kuno itu dibatasi sungai, yakni Kalimas (Curabhaya) dan Pegirian lalu kanal penghubung yang saat ini menjadi Jalan Jagalan. Di era Singhasari atau sebelum Majapahit, kampung itu diduga sudah berpenghuni.
Mendiang sejarawan Hindia-Belanda GH von Faber dalam Er Werd Een Stad Genboren berpendapat, Raja Singhasari Kertanegara pada 1270 mengizinkan pendirian kampung para pemberani yang telah membantu menumpas pemberontakan Kanuruhan. Kampung itu didirikan di tepi sungai dalam kawasan delta Glagah Aroem termasuk Curabhaya yang berarti keberanian menakutkan atau berani menghadapi bahaya.
Baca juga : Denyut ”Rumah Pergerakan” di Surabaya
Rumah Perjuangan
Kelurahan Peneleh terdiri atas beberapa kampung, yakni Plampitan, Peneleh, Pandean, Lawang Seketeng, Jagalan, Klimbungan, Undaan Peneleh, Polak Wonorejo, Grogol, dan Grogol Kauman. Di sinilah tempat kelahiran tokoh besar perjuangan kemerdekaan Indonesia, misalnya Koesno atau Soekarno di Pandean dan Roeslan Abdoelgani di Plampitan.
Selain itu, tempat kelahiran dan aktivitas cendekiawan Achmad Jais, RTM Soenarjo Gondokoesoemo, RM Soenjoto, R Soejono yang merupakan kerabat Dr Soetomo, salah satu pencetus Boedi Oetomo 1908.
Di Peneleh juga terdapat kediaman Tjokroaminoto yang notabene menjadi pemondokan tokoh-tokoh besar bangsa. Antara lain, Soekarno, Semaoen, Alimin, Moesso, Kartosoewirjo, dan Tan Malaka. Tjokroaminoto ialah Pemimpin Sarekat Islam 1912 dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan KH Samanhudi pada 1905 di Surakarta, Jawa Tengah.
Peneliti sejarah dan Direktur Begandring Soerabaja Nanang Purwono mengatakan, para tokoh besar bangsa itu pernah berkumpul di Peneleh dan ”digembleng” dalam jalan politik oleh Tjokroaminoto.
Soekarno merupakan Proklamator Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 bersama Mohammad Hatta. ”Rumah Tjokroaminoto adalah dapur kebangsaan. Para pemuda tokoh pergerakan adalah kompor yang memanaskan dapur yang menghasilkan hidangan kemerdekaan,” katanya.
Baca juga : Belajar Daring Tentang Hari Kemerdekaan di Museum HOS Tjokroaminoto
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, Festival Peneleh coba diinisiasi sejak 2018 bersama Begandring Soerabaia saat dirinya masih menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya di bawah kepemimpinan Tri Rismaharini (kini Menteri Sosial). ”Kawasan Peneleh menyimpan narasi dan menjadi saksi sejarah besar,” ujar Eri.
Kesadaran itulah yang mendorong kolaborasi dengan BI dan komunitas untuk melahirkan revitasi kampung sejarah. Revitalisasi juga menjadi salah satu program dalam konteks kepariwisataan di Surabaya. Kekayaan narasi dan sejarah di Peneleh dapat dioptimalkan sebagai komoditas pariwisata untuk pemberdayaan masyarakat. Selain itu, juga menjadi sumur inspirasi penelitian sejarah dan budaya yang diharapkan tak pernah kering.
Kepala Kantor BI Perwakilan Jatim Doddy Zulverdi mengatakan, JCC 2023 digabungkan dengan Festival Peneleh karena kandungan narasi yang kompleks dan komplet. JCC diadakan di Jalan Tunjungan di seberang Peneleh dan dibatasi Kalimas.
Kawasan Tunjungan secara historis merupakan bagian dari segi tiga emas ekonomi ibu kota Jatim ini dan terus hidup kenangan insiden Perobekan Bendera Belanda di Hotel Oranje (Hotel Yamato) atau kini Hotel Majapahit yang memicu Pertempuran Surabaya dan Pertahanan Tunjungan.
JCC 2023 bertema ”Diplomasi Lintas Generasi” yang menghadirkan sisi kopi sebagai minuman untuk perjuangan politik para tokoh Indonesia. Untuk itu, penggabungan JCC dan Festival Peneleh dirasa tepat dengan semangat perjuangan dan keberanian yang mewarnai perjalanan warga Surabaya. ”Jadi, bermakna besar,” kata Doddy.