19 Masalah Picu Layanan Kesehatan dan Pendidikan di Papua Tidak Optimal
Terdapat 19 masalah yang memicu pelayanan kesehatan serta pendidikan di Papua dan Papua Barat pada tahun ini belum optimal.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Belum optimalnya layanan kesehatan dan pendidikan di Papua karena dipicu 19 masalah pada lima sektor utama. Lima sektor ini adalah sumber daya manusia dan kapasitas perencanaan, perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan pengganggaran, monitoring dan evaluasi, serta transparansi dan akuntabilitas.
Fakta ini terungkap dalam kegiatan dialog publik bertajuk ”Hasil Studi Analisis Kebutuhan Peningkatan Layanan Dasar Pendidikan dan Kesehatan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2023”. Dialog digelar di Jayapura, Papua, Rabu (26/7/2023).
Dalam pemaparan hasil studi ini turut hadir Kepala Dinas Kesehatan Papua Robby Kayame; Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan, dan Arsip Daerah Papua Christian Sohilait; dan Kepala BPJS Cabang Jayapura Deny Jeremy Eka Putra Mase. Adapun perwakilan dari tim peneliti adalah Richard Patty.
Richard memaparkan, analisis kebutuhan peningkatan layanan dasar pendidikan dan kesehatan terlaksana di empat daerah, yakni Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Kabupaten Manokwari, dan Manokwari Selatan. Studi dilaksanakan International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) dengan pendekatan riset kualitatif dari bulan Januari hingga April 2023.
Ia memaparkan, tim peneliti terdiri dari empat orang dari Universitas Cenderawasih, Universitas Papua, dan perwakilan dari Dinas Sosial Provinsi Papua. Tim peneliti menemukan 19 masalah pada lima sektor tersebut dari wawancara 79 informan.
19 masalah ini, antara lain, jumlah tenaga fungsional perencana di instansi terbatas, indikator capaian hanya fokus pada hasil, rotasi dan mutasi belum direncanakan dengan baik, unit layanan di sekolah dan puskesmas tidak memiliki tenaga perencana. Masalah lainnya adalah data tentang orang asli Papua belum terdokumentasi dengan baik serta sekolah dan puskesmas sebagai unit layanan tidak memiliki dokumen dan perencanaan.
Tim juga menemukan masalah rendahnya partisipasi warga pada lima sektor tersebut, APBD terlambat ditetapkan, dan fungsi budget oleh lembaga legislatif belum efektif. Selain itu, hasil monitoring belum jadi rujukan bagi pemda, pemberian sanksi dan penghargaan belum efektif, serta komitmen penyelenggara layanan rendah dalam transparansi dan akuntabilitas rendah.
”Pengambilan data dalam studi ini melalui dialog kelompok terarah dan wawancara mendalam yang melibatkan 79 informan dari Papua dan Papua Barat. Para informan ini mewakili kelompok pemerintah, kelompok penyedia layanan kesehatan dan pendidikan, perwakilan kelompok perempuan, kelompok disabilitas, kelompok anak muda, dan tokoh agama,” kata Richard.
Ia menuturkan, rendahnya kapasitas SDM aparatur sipil negara dan buruknya kualitas perencanaan serta penganggaran berkontribusi besar terhadap buruknya tata kelola pelayanan publik di wilayah studi. Masalah ini juga disebabkan minimnya komitmen dan niat baik dari pimpinan daerah.
”Kami memberikan sejumlah rekomendasi untuk mengatasi masalah-masalah ini. Rekomendasi itu, antara lain, adanya bimbingan teknis bagi aparatur sipil negara dan memberikan pelatihan bagi masyarakat untuk meningkatkan partisipasi mereka di lima sektor tersebut,” tutur Richard.
Mudah-mudahan pemerintah daerah dapat menindaklanjuti hasil studi ini.
Sementara itu, Robby Kayame mengapresiasi hasil studi kajian analisis kebutuhan peningkatan layanan dasar pendidikan dan kesehatan. Ia menilai hasil studi ini sebagai bahan evaluasi bagi Dinas Kesehatan Papua serta Dinas Kesehatan di delapan kabupaten dan 1 kota di wilayah Papua.
Anggota Majelis Rakyat Papua, Dorince Mehue, yang juga salah satu informan penelitian, mengatakan, hasil studi menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan otonomi khusus selama 20 tahun di Papua belum berdampak bagi layanan dasar kesehatan dan pendidikan. Padahal, pemerintah pusat telah mengucurkan anggaran hingga triliunan rupiah.
Diketahui peningkatan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua dari tahun 2002 hingga 2020 hanya 0,3, yakni dari 60,1 menjadi 60,4. Adapun dana otsus untuk Papua dan Papua Barat dari tahun 2002-2021 mencapai Rp 138,65 triliun.
”Kami mengapresiasi pemaparan data studi terkait layanan kesehatan serta pendidikan di Papua dan Papua Barat pada tahun ini. Mudah-mudahan pemerintah daerah dapat menindaklanjuti hasil studi ini,” kata Dorince.