Terkait Pabrik Es, PLN Bantah Sikakap Kekurangan Daya Listrik
PLN membantah adanya kekurangan daya listrik di Sikakap, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, yang menyebabkan pabrik es balok tidak beroperasi. Walakin, jaringan listrik memang kerap terputus akibat pohon.
PADANG, KOMPAS — PLN membantah terjadi kekurangan daya listrik di Sikakap, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, yang menyebabkan pabrik es balok tidak beroperasi. Daya listrik berlebih saat beban puncak, tetapi jaringan listrik kerap terputus akibat pohon.
Manajer Komunikasi dan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan PT PLN Unit Induk Wilayah Sumbar Yenti Elfina, Kamis (27/7/2023), mengatakan, pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di Sikakap mampu menghasilkan daya 980 kVA. Adapun beban puncak di kecamatan itu baru 580 kVA.
”Jadi, saya klarifikasi, tidak ada kekurangan mesin pembangkit di sana. Cuma, di sana sering gangguan karena dalam hutan. Gangguan jaringan, kayu-kayu besar yang mengganggu jaringan,” kata Yenti.
Baca juga : Pabrik Terkendala Listrik, Nelayan di Mentawai Kesulitan Mendapatkan Es
Yenti menjelaskan, gangguan jaringan itu kadang-kadang membuat pembangkit rusak. Dampaknya, suplai listrik dari PLN terganggu selama perbaikan. Walakin, ia kembali menegaskan, kapasitas mesin pembangkit masih memadai, bahkan untuk mengoperasikan pabrik es balok milik Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar.
”Dinas perikanan kebutuhannya (untuk pabrik es) cuma 105 kVA. Jadi, untuk semua pelanggan di sana, termasuk pabrik es, daya listrik cukup. Masih ada cadangan daya sekitar 400 kVA lagi. Beban puncak hanya 580 kVA dari total daya 980 kVA. Kecuali, ada gangguan di pembangkit dan jaringan,” ujarnya.
Ia menambahkan, PLN juga tidak menambah mesin PLTD. ”Yang ada, pembangkit di Sungai Penuh (Jambi) direlokasi ke sana. Kami arahnya sekarang ke energi terbarukan. Jadi, penambahan PLTD tidak ada lagi,” katanya.
Kesulitan es
Sebelumnya, para nelayan di Pulau Pagai Selatan mengeluh kesulitan mendapatkan es untuk penyimpanan ikan. Pabrik es balok di Sikakap kerap tidak berproduksi. Padahal, keberadaan pabrik yang dikelola Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar itu sangat dibutuhkan nelayan karena bisa menghasilkan 15 ton es dalam sekali produksi.
Nelayan pun terpaksa menggunakan es bungkus dengan harga lebih mahal dan kualitas tidak sebaik es balok.
”Kalau tidak ada, es bungkus ukuran 1 kilogram (dibuat dengan kulkas) itu. Mungkin nelayan tidak bisa lagi menangkap dan menyimpan gurita. Kesulitan ini salah satu kendala nelayan,” kata Jertianus Madogaho (47), nelayan sekaligus penampung gurita di Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, ketika dijumpai pada Kamis (15/6/2023).
Jadi, penambahan PLTD tidak ada lagi.
Masalahnya, Jerti menyebut, nelayan mesti mengeluarkan biaya lebih besar jika menggunakan es bungkus. Setiap pekan, Jerti butuh 150 kg es untuk menyimpan gurita. Kebutuhan itu bisa dipenuhi dengan tiga es balok ukuran 50 kg produksi pabrik atau 150 es bungkus ukuran 1 kg.
Baca juga : Sering Padam, Warga Keluhkan Tidak Stabilnya Aliran Listrik di Sikakap
Harga es balok dari pabrik es di Sikakap Rp 25.000 per balok, sedangkan harga es bungkus Rp 1.000-Rp 2.000 per bungkus. Oleh karena itu, jika menggunakan es balok, Jerti hanya perlu mengeluarkan Rp 75.000. Jika memakai es bungkus, dia mesti membayar minimal Rp 150.000. ”Kadang-kadang kami juga beli es balok yang dibawa kapal ikan dari Padang. Harganya Rp 60.000 per balok,” ujarnya.
Muhammad Idris Maulana Salam (35), penampung gurita dan hasil perikanan lain di Desa Sinaka, mengatakan, es bungkus juga lebih cepat habis dibandingkan es balok. Akibatnya, jika es habis, ia harus segera menjual tampungannya ke Sikakap meskipun belum mencapai target. Biasanya, tampungannya dijual ke Sikakap sekali sepekan.
”Es bungkus kadang 3-4 hari sudah cair. Jika es habis, kami mau tidak mau harus ke Sikakap meskipun tampungan masih sedikit. Biaya bensin ke Sikakap pergi-pulang Rp 1,5 juta. Itu yang membuat kami keluar biaya lebih besar,” tutur Idris yang juga menjabat Ketua Badan Permusyawaratan Desa Sinaka ini, Sabtu (17/6/2023).
Pabrik es
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Pelabuhan Perikanan Wilayah III Sumbar Yofrianto mengakui, pabrik es dengan kebutuhan listrik 120 kVA itu jarang beroperasi. Kondisi tersebut disebabkan kurangnya suplai listrik dari PLN.
”Sudah dua tahun begini. Kadang-kadang sanggup, (pabrik) dipaksakan hidup. Kadang-kadang kami berproduksi dalam sebulan hanya satu atau dua kali,” kata Yofrianto, Kamis (27/7/2023).
Kondisi pabrik yang jarang berproduksi itu membuat nelayan di sekitar Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan kesulitan mendapatkan es. Padahal, keberadaan pabrik yang dikelola Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar itu sangat dibutuhkan nelayan karena bisa menghasilkan 15 ton es dalam sekali produksi.
Yofrianto menjelaskan, kendala suplai listrik itu sudah pernah disuarakan kepada pemangku kebijakan. DKP Sumbar pernah meminta tambahan gardu dan mesin khusus untuk pabrik es itu. Gubernur Sumbar pun pernah menyurati pihak PLN 4-5 tahun lalu.
”Tibalah mesin itu dan beroperasi. Namun, mesin tambahan itu digunakan untuk menambah jaringan listrik untuk keperluan lain, bukan untuk pabrik es. Itu kendala kami. Kami sudah sampaikan ke pemerintah pusat,” katanya.
Menurut dia, tidak kontinunya suplai listrik membuat pabrik es jarang beroperasi. Ketika beroperasi pun, proses produksi tidak efisien. ”Kalau suplai listrik normal, 18-24 jam sudah selesai sekali produksi. Kalau tidak normal, bisa 38-48 jam sekali produksi,” ujarnya.
Yofrianto berharap pabrik es itu mendapat suplai listrik dari PLN secara normal. Alternatif lain, diharapkan ada bantuan pembangkit listrik tenaga surya bagi pabrik es. ”Dulu pernah diukur oleh pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tetapi belum ada realisasinya,” katanya.
Tidak stabil
Selain pabrik es, masalah suplai listrik di Sikakap juga dikeluhkan warga. Leni Marlina, warga Dusun Sikakap Timur, Desa Sikakap, Kecamatan Sikakap, Kamis (22/6/2023), mengatakan, beberapa bulan terakhir, aliran listrik di Sikakap sering padam. Dalam sepekan bisa lebih dari empat hari diwarnai pemadaman listrik.
Dalam sehari, pemadaman listrik bisa terjadi tiga kali. ”Kadang bisa empat jam lampu mati dalam sehari. Pekan ini saja yang agak bagus, baru tiga kali listrik mati,” katanya.
Lina menyebut, akibat seringnya pemadaman listrik, sejumlah alat elektronik miliknya, misalnya kulkas dan televisi, rusak. Selain itu, usaha es batu untuk pendingin ikan yang ia jalani juga terganggu. Ia mesti keluar modal lebih banyak untuk menggunakan mesin genset agar freezer bisa menyala.
”Biasanya listrik PLN bisa mati dari pukul 13.00-17.00. Kadang gantian, dari pukul 18.00-22.000. Genset harus hidup terus saat listrik mati. Satu jam genset hidup bisa habis bensin (pertalite) seliter. Kalau empat jam dikali Rp 12.000 per liter Rp 48.000,” ujarnya.
Yenti, Kamis (22/6/2023), mengatakan, sebenarnya kondisi kelistrikan di Sikakap baik-baik saja selama tidak ada kerusakan jaringan akibat tertimpa pohon. Listrik di Sikakap yang berbasis tenaga diesel beroperasi selama 24 jam, beda dengan pulau-pulau lain di Kepulauan Mentawai yang masih terbatas.
”Menurut pemantauan kami dan dari laporan yang kami terima, ketidakstabilan itu tidak ada. Juga tidak ada pemadaman bergilir karena jam operasinya 24 jam, kecuali ada kerusakan di mesin pembangkit,” katanya.
Ia menuturkan, jika warga hendak menebang pohon, mereka diharapkan melapor ke PLN lebih dulu. Hal ini dimaksudkan agar warga bisa mendapat arahan supaya tidak sampai mengganggu jaringan listrik. ”Jika ada pohon hampir mendekati aliran listrik, juga agar dilaporkan ke PLN,” ujarnya.