Kualitas SDM Jabar Belum Sebanding dengan Kemajuan Infrastruktur
Rata-rata lama pendidikan warga Jabar saat ini masih di angka 8 tahun atau setara sekolah menengah pertama. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menghambat Jabar untuk meraih Indonesia Emas 2045.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Pembangunan infrastruktur hingga investasi di Jawa Barat belum sebanding dengan pengembangan kualitas sumber daya manusia atau SDM. Jika kualitas manusia Jabar tidak bisa berpacu dengan perkembangan teknologi, impian untuk menggapai Indonesia Emas di tahun 2045 akan sulit terwujud.
Guru Besar Ekonomi Pembangunan Universitas Padjadjaran Arief Anshory Yusuf, di Bandung, Jumat (28/7/2023), menyatakan, pendapatan per kapita masyarakat Jabar masih di angka 3.000 dollar AS. Jumlah ini masih di bawah pendapatan per kapita Indonesia yang lebih dari 4.000 dollar AS.
Kondisi ini, lanjut Arief, menjadi permasalahan yang harus menjadi perhatian bersama. Indonesia berpotensi masuk ke dalam jebakan pendapatan menengah (middle income trap), yakni kondisi suatu negara sulit untuk meningkatkan pendapatan saat dalam posisi pendapatan menengah.
”Khusus untuk Jabar, tantangannya lebih berat lagi karena posisi pendapatan per kapita nya di bawah nasional. Indonesia saat ini masuk ke pendapatan menengah ke atas, sedangkan Jabar masih dalam pendapatan menengah ke bawah,” ujar Arief dalam diskusi Jabar Punya Informasi di Gedung Sate, Kota Bandung.
Menurut Arief, kondisi ini tidak sebanding dengan pembangunan infrastruktur yang semakin pesat. Berbagai proyek, mulai dari kereta cepat, jalan tol, hingga bandara internasional berhasil dibangun. Namun, tidak semua masyarakat bisa menikmati kemajuan ini karena masih berkutat dengan masalah ekonomi.
Salah satu permasalahan yang perlu jadi perhatian, lanjut Arief, adalah kualitas sumber daya manusia yang bisa menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi. Di tengah era kecerdasan buatan, masyarakat Indonesia harus menjadi pengguna, bahkan menguasai teknologi tersebut.
Adaptasi dari kecerdasan buatan ini, ujar Arief, membutuhkan penguatan di sektor pendidikan. Namun, tidak semua warga Jabar mengenyam pendidikan tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar, rata-rata lama sekolah warga di provinsi ini pada tahun 2022 hanya 9,07 tahun untuk laki-laki dan 8,48 tahun untuk perempuan.
”Pendidikan 8 tahun itu masih setara SMP (sekolah menengah pertama) dan pekerjaan di tingkat pendidikan itu sudah digantikan oleh mesin serta kecerdasan buatan. Jadi, investasi yang masuk juga tidak bisa merata karena tidak semua masyarakat berpendidikan tinggi,” ujarnya.
Arief mengatakan, Indonesia akan kesulitan menggapai target Indonesia Emas 2045 jika terus terjebak dalam situasi ini. Dalam 100 tahun kemerdekaan ini, Indonesia diharapkan bisa menjadi negara maju dengan sumber daya manusia berdaya saing di kancah internasional.
Orang-orang yang pandai memanfaatkan teknologi akan lebih bagus dan produktif.
Menurut Arief, kesulitan ini bisa diantisipasi jika investasi yang masuk bisa dinikmati oleh warga Jabar secara merata. Karena itu, kualitas SDM Jabar harus menjadi perhatian dengan memperbanyak orang-orang yang bisa memanfaatkan kecerdasan buatan.
”Caranya dengan meningkatkan kualitas pendidikan warga Jabar. Orang-orang yang pandai memanfaatkan teknologi akan lebih bagus dan produktif. Bahkan, mereka bisa menjadi pengusaha dan membuka lapangan kerja hingga meningkatkan konsumsi,” paparnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jabar Iendra Sofyan juga menyebut permasalahan SDM menjadi hal yang menjadi tantangan bagi pembangunan Jabar. Rata-rata lama sekolah yang kecil menunjukkan tingkat pendidikan di Jabar masih banyak persoalan.
Tidak hanya rata-rata lama pendidikan, harapan pendidikan juga perlu menjadi perhatian. Saat ini, lanjut Iendra, rata-rata harapan lama sekolah masih 12 tahun. Artinya, banyak yang kehilangan harapan untuk melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi karena hanya bisa membayangkan pendidikan sampai tingkat SMA.
”Masih banyak pekerjaan rumah dari sisi human capital (SDM). Selain dari tingkat pendidikan, kepintaran emosional masyarakat juga menjadi pekerjaan rumah karena dampak digitalisasi,” ujarnya.