Warga Flores Timur Pengidap Retardasi Mental Tewas Dianiaya Anggota Linmas
Damianus Ara (25), seorang dengan kelainan retardasi mental di Flores Timur, tewas dianiaya anggota linmas di Desa Kelukeng Nuking, Flores Timur. Penganiayaan diduga karena korban mencuri ponsel.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS — Damianus Ara (25), warga Desa Kelukeng Nuking, Kecamatan Wotan Ulumado, Kabupaten Flores Timur, tewas dianiaya anggota perlindungan masyarakat atau linmas dan aparat keamanan. Korban yang mengidap retardasi mental itu diduga mencuri ponsel pintar milik warga desa setempat.
Maksi Ara (34), anggota keluarga korban di Desa Kelukeng Nuking, 20 mil dari Larantuka, Rabu (2/8/2023), yang sedang membuat laporan di Polsek Waiwadan mengatakan, kasus penganiayaan itu sangat disayangkan. Kejadian berlangsung pada Selasa (1/8/2023) sekitar pukul 12.00 Wita.
”Berawal dari korban mendatangi seorang warga desa Kelukeng Nuking, Kopong Demon. Korban hendak menjual sebuah ponsel dengan harga Rp 100.000, tetapi Kopong meminta harga Rp 50.000. Korbanmenyetujui permintaan itu. Dengan alasan mengisi baterei ponsel tersebut, Kopong menuju bagian belakang dapur,” kata Ara.
Kopong Demon kemudian menghubungi salah satu anggota Linmas Desa Kelukeng Nuking. Ia menyampaikan bahwa korban menjual ponsel hasil curian. Pelaku sedang berada di rumahnya. Berselang lima menit kemudian, datanglah sejumlah anggota linmas di rumah Kopong Demon dengan seragam linmas.
Korban terlebih dahulu diberi makan oleh anggota linmas di rumah Kopong Demon. Saat sedang makan, korban mulai dianiaya beramai-ramai. Nasi dan kopi gelas di tangan korban berhamburan ke mana-mana. Korban ditendang dengan sepatu bot, dipukul dengan kepalan tangan (tinju), kayu pentungan, dan dilempari batu.
Tidak hanya anggota linmas. Beberapa warga sekitar pun terlibat dalam penganiayaan berat itu. Darah mengucur di seluruh tubuh korban. Melihat kondisi korban tak berdaya, anggota linmas tersebut menggotong korban ke kantor desa.
Penganiayaan itu beralasan pembinaan terhadap korban. (Maksi Ara)
Sampai di kantor desa, Kepala Desa Kelukeng Nuking, Blasius Riantoby, menghubungi babinsa di Waiwerang, sekitar 7 km arah timur Kelukeng Nuking. Dua anggota babinsa datang ke kantor desa. Kedua anggota aparat keamanan itu pun kembali menganiaya korban dengan kabel dan ikat pinggang.
Melihat korban semakin tak berdaya, anggota linmas membawa korban ke Polsek Waiwadan, sekitar 12 km arah barat Desa Kelukeng Nuking. Tiba di polsek, kondisi korban semakin memprihatinkan. Anggota polsek lalu membawa korban ke Rumah Sakit Waiwadan untuk mendapatkan perawatan. Namun, korban mengembuskan napas terakhir sekitar pukul 18.00 Wita.
Keterlibatan aparat keamanan dalam kasus penganiayaan itu disaksikan semua orang yang hadir di kantor desa itu, termasuk kepala desa sendiri. Kepala desa sebagai pemegang kuasa di desa itu pun harus bertanggung jawab atas kejadian itu.
Pada malam itu juga, anggota Polres Flores Timur datang ke tempat kejadian perkara dan menangkap empat anggota linmas setempat. Kini, keempat anggota linmas itu sedang dimintai keterangan di Larantuka, ibu kota kabupaten Flores Timur.
Penyidik Polres Flores Timur didesak agar menangkap semua pelaku pengroyokan itu, termasuk warga yang terlibat. Aparat keamanan yang datang ke kantor desa pun sebenarnya untuk menenangkan situasi, bukan melanjutkan tindakan penganiayaan sampai korban meninggal.
”Penganiayaan itu beralasan pembinaan terhadap korban. Tetapi, sesungguhnya semua warga Desa Kelukeng Nuking termasuk kepala desa dan linmas setempat paham bahwa korban memiliki kelainan, yakni retardasi mental. Apakah kalian bangga menganiaya orang seperti itu sampai meninggal?” kata Ara.
Korban seorang petani dan bersekolah hanya sampai kelas 5 sekolah dasar. Ayah korban telah meninggal. Ia tinggal bersama ibu kandungnya yang juga sakit-sakitan.
Sementara Danramil Adonara Kapten (Inf) Samiun mengatakan, tidak ada anggota koramil setempat yang terlibat dalam kasus penganiayaan itu. Saat anggota koramil tiba di Kantor Desa Kelukeng Nuking, termasuk babinsa setempat, korban sudah dianiaya masyarakat. Anggota justru melarang warga melakukan tindakan main hakim sendiri tersebut.
Direktur Lembaga Advokasi Hukum dan Perlindungan Masyarakat NTT Viktor Manbait mengatakan, siapa pun di negara ini tidak dibenarkan bertindak main hakim sendiri. Kasus penganiayaan sampai menyababkan korban meninggal adalah perbuatan melawan hukum. Para pelaku harus diproses hukum.