Guru Honorer di Minahasa Cabuli 14 Siswa SD, Kekerasan Seksual Masih Langgeng
Seorang guru honorer sekolah dasar di Kabupaten Minahasa, Sulut, ditahan kepolisian karena diduga mencabuli belasan siswa.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Seorang guru honorer sekolah dasar di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, ditahan kepolisian karena diduga mencabuli belasan siswa. Ini merupakan kelanjutan dari ratusan kasus kekerasan seksual di Sulut yang telah terdata oleh pemerintah. Namun, solusi untuk menekan prevalensinya tak kunjung ditemukan.
Pria tersebut adalah Clinton Antolonga, guru berstatus tenaga harian lepas (THL) di SD Negeri Kalasey, Kecamatan Pineleng, Minahasa. Pria berusia 29 tahun itu diduga mencabuli 14 anak berusia 9-11 tahun dalam rentang September 2022 hingga Juni 2023.
”Modus yang dilakukan terduga pelaku terhadap murid-muridnya adalah mengancam tidak akan dinaikkan kelas. Ada juga korban yang dibujuk dengan sejumlah uang,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulut Komisaris Besar Iis Kristian melalui siaran pers, Senin (7/8/2023).
Pengungkapan kasus ini bermula dari viralnya foto pintu ruang kepala sekolah SDN Kalasey yang disegel pada akhir Juli 2023. Penyegelan itu dilakukan para orangtua korban yang berang akibat anaknya dicabuli oleh salah seorang guru.
Iis mengatakan, Subdirektorat 4 Remaja, Anak, dan Wanita (Subdit Renakta) Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sulut langsung mendatangi sekolah tersebut. Para korban kemudian dikumpulkan, lalu dibantu untuk membuat laporan polisi.
”Itu dilanjutkan dengan pemeriksaan di ruang pelayanan khusus Subdit Renakta,” ujar Iis. Di situ dilakukan pengambilan keterangan korban dan saksi serta pengecekan visumetrepertum (VER).
Berbekal hasil pemeriksaan tersebut, polisi akhirnya meringkus Clinton di rumahnya yang terletak di Kecamatan Pineleng, Minahasa, pada Rabu (2/8/2023) sore. Polisi menyita beberapa barang bukti, salah satunya surat keputusan (SKEP) status honorer Clinton. Pelaku kemudian digelandang ke tahanan Polda Sulut.
Iis mengatakan, Clinton diduga melanggar Pasal 82 Ayat (1) juncto Pasal 76E Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang mengatur Perlindungan Anak. ”Ancaman pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun, dengan denda paling banyak Rp 5 miliar,” tutur Iis.
Dalam penanganan kasus ini, Polda Sulut bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Sulut untuk memberikan pendampingan psikologis kepada para korban. Kepala Dinas PPPA Sulut Wanda Musu pun mengapresiasi ketanggapan kepolisian.
”Kami memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Polda Sulut yang sudah bertindak cepat melakukan penanganan kasus ini. Tentunya kami sangat mengharapkan kasus ini tidak akan berlarut-larut, dan akan memberikat ketetapan hukum yang tepat. Kami akan terus melakukan pengawalan, khususnya untuk korban dan keluarganya,” ujar Wanda.
Sebelumnya, pendampingan pemerintah telah diberikan kepada para korban sejak Clinton ditangkap. Kepala Dinas PPPA Kabupaten Minahasa Syultje Panambunan mengatakan, dinasnya telah berkoordinasi dengan pihak sekolah serta Dinas Pendidikan Minahasa. Sekelompok petugas telah dikirim menemui keluarga seiring dengan kepolisian.
Pemerintah agar menggalakkan sosialisasi tentang konsekuensi hukum dari kekerasan seksual. (Nurhasanah)
Segera setelah ditangkap, Clinton juga langsung diberhentikan dari tugasnya selaku THL di SDN Kalasey. Hal ini ditegaskan Kepala Dinas Pendidikan Minahasa Tommy Wuwungan. ”Kami pastikan sanksi tegas. Oknum tersebut langsung kami berhentikan dengan tidak hormat,” ujarnya.
Tommy mengakui, kejadian ini sangat mencoreng dunia pendidikan di Minahasa. Kegiatan belajar mengajar di SDN Kalasey bahkan terhenti akibat keresahan orangtua siswa, tetapi kini telah berlangsung kembali. ”Sempat ada protes dari orangtua, tetapi sudah dilakukan pertemuan dengan pihak sekolah, kepolisian, dan dinas pendidikan,” ujarnya.
Di rumah
Pascakehebohan di Minahasa, Polres Bitung juga menangkap seorang pria berinisial IM (21) di Kecamatan Matuari, Bitung, pada Minggu (6/8/2023). Ia diduga mencabuli adik kandungnya sendiri yang masih berusia delapan tahun. Kejahatan itu diwarnai kekerasan fisik terhadap korban yang mencoba melarikan diri saat kekerasan berlangsung.
Kedua kasus ini pun menandai langgengnya kekerasan terhadap anak di Sulut. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian PPA, sejak awal 2023 telah terdata 631 kasus kekerasan berbasis jender serta terhadap anak di Sulut dengan korban sebanyak 658 orang.
Kekerasan paling banyak terjadi di rumah dengan total 360 laporan. Adapun 48 kasus terjadi di sekolah dengan korban berjumlah 35 orang. Jenis kekerasan yang terjadi paling banyak adalah kekerasan seksual dengan jumlah 235 kasus, diikuti kekerasan fisik sebanyak 150 laporan.
Aktivis perempuan telah menyuarakan pentingnya tindakan nyata dari pemerintah untuk mencegah terjadinya lebih banyak kasus. Ruth Ketsia Wangkai dari Gerakan Perempuan Sulut, misalnya, mendesak pemerintah untuk menyelesaikan masalah pengangguran serta menggalakkan sosialisasi oleh berbagai institusi, dari pemerintah sampai lembaga agama.
Nurhasanah dari lembaga perlindungan perempuan dan anak, Swara Parangpuan, juga meminta pemerintah agar menggalakkan sosialisasi tentang konsekuensi hukum dari kekerasan seksual. Namun, kekerasan seksual masih terus terjadi. Dalam basis data Simfoni PPA, peta Sulut kini bahkan berwarna oranye, tanda bahwa kekerasan berbasis jender tergolong marak.