Djoko Pekik, Sang Pelukis ”Berburu Celeng”, Meninggal
Pelukis senior Djoko Pekik meninggal dalam usia 86 tahun di Yogyakarta, Sabtu (12/8/2023) pagi. Dia antara lain dikenal melalui lukisan ”Berburu Celeng” yang disebut terjual dengan harga Rp 1 miliar.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pelukis senior Djoko Pekik meninggal dalam usia 86 tahun di Yogyakarta, Sabtu (12/8/2023) pagi. Selama hidupnya, Pekik dikenal sebagai pelukis yang banyak menghasilkan karya dengan tema kerakyatan. Dia antara lain dikenal melalui lukisan ”Berburu Celeng” yang disebut terjual dengan harga Rp 1 miliar.
Pekik dikabarkan meninggal pada Sabtu pukul 08.00 di Rumah Sakit Panti Rapih, Kota Yogyakarta. Putra Djoko Pekik, Nihil Pakuril, membenarkan kabar duka tersebut. ”Iya benar,” katanya saat dihubungi Kompas pada Sabtu pagi.
Djoko Pekik lahir di Purwodadi, Jawa Tengah, pada 2 Januari 1937. Dia kemudian menempuh studi seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta tahun 1957-1962. Lembaga ini merupakan cikal bakal Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Seusai peristiwa Gerakan 30 September 1965, Djoko Pekik ditangkap oleh aparat karena dianggap berhubungan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dia kemudian menjadi tahanan politik selama beberapa tahun di penjara Benteng Vredeburg, Yogyakarta.
Salah satu lukisan Pekik yang sangat dikenal adalah ”Berburu Celeng”. Lukisan itu bahkan menimbulkan kehebohan karena terjual dengan harga yang fantastis, yakni Rp 1 miliar. Lukisan tersebut pernah ditampilkan dalam pameran di Bentara Budaya Yogyakarta pada 16-17 Agustus 1998.
Pelukis Nasirun menuturkan, Djoko Pekik merupakan pelukis yang selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam karya-karyanya. Dia menyebut, bagi Djoko Pekik, karya seni yang baik harus memiliki manfaat, bukan sekadar ekspresi dari senimannya.
”Pak Pekik itu (sangat peduli) kemanusiaan karena seniman dulu itu kan sandarannya benar. Mungkin definisi seni yang baik (bagi Djoko Pekik) itu adalah yang punya kemaslahatan,” ujar Nasirun saat ditemui di RS Panti Rapih, Sabtu.
Nasirun menambahkan, dalam berbagai kesempatan, Djoko Pekik kerap berpesan kepada dirinya agar meneruskan perjuangan untuk menghasilkan karya seni yang sarat kemanusiaan. Apalagi, pada masa sekarang, nilai-nilai kemanusiaan menjadi sesuatu yang sangat mahal.
”Hari ini mungkin kemanusiaan itu menjadi barang yang sangat mahal. Itu yang almarhum selalu tekankan setiap ketemu. Beliau selalu bilang, teruskan-teruskan,” ujar Nasirun.
Dalam sejumlah kesempatan, kata Nasirun, Pekik dan beberapa seniman senior lainnya juga pernah bilang bahwa orang hanya akan dikenang jika berjuang dengan sandaran kemanusiaan. ”Ini pesan yang sangat berguna. Karena kalau hari ini kita tidak ada kemanusiaan, kita menjadi sangat eksklusif,” tuturnya.
Nasirun memaparkan, Djoko Pekik juga memiliki ruang seni di Yogyakarta yang tidak hanya digunakan untuk pameran seni rupa. Di tempat tersebut, juga kerap digelar pentas seni pertunjukan dan diskusi. Selain itu, Djoko Pekik juga menunjukkan keberpihakannya kepada kesenian tradisional.
”Pak Pekik punya kepedulian kepada kesenian-kesenian tradisi. Ini sesuatu yang luar biasa dari sosok almarhum,” ungkap Nasirun.
Dalam berbagai kesempatan, Djoko Pekik kerap berpesan agar meneruskan perjuangan untuk menghasilkan karya seni yang sarat kemanusiaan.
Kurator seni rupa Kuss Indarto mengatakan, Djoko Pekik merupakan seniman penting karena berhasil melahirkan masterpiece atau karya puncak yang fenomenal, yakni lukisan ”Berburu Celeng”. ”Tidak banyak seniman yang mampu melahirkan melahirkan karya puncak atau master piece yang fenomenal yang menohok ingatan publik,” katanya.
Menurut Kuss, lukisan ”Berburu Celeng” menjadi karya penting bukan karena lukisan tersebut berharga mahal. Dia menilai, lukisan itu merupakan karya yang monumental karena menjadi penanda penting peralihan kekuasaan dari Orde Baru ke masa Reformasi.
”Itu menjadi karya monumental karena menjadi penanda penting kondisi sosial politik yang bergeser dari pemerintah Orde Baru ke Reformasi,” ungkap Kuss.