”Pesta Seni” Melepas Djoko Pekik Pergi
Para seniman Yogyakarta menggelar ”pesta seni” untuk melepas kepergian pelukis Djoko Pekik. Semangat perlawanan yang ditunjukkan Pekik selama hidupnya diharapkan bisa diwarisi seniman generasi sekarang.
”Kita berteman sudah lama/
Walau nasib kita tak sama/
Kita berteman sudah lama/
Walau jalan kita berbeda...”
Lagu berjudul ”Kita Berteman Sudah Lama” itu menggema di rumah pelukis Djoko Pekik di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (13/8/2023) siang. Di atas panggung yang ada di halaman kompleks kediaman Pekik, musisi Sri Krishna Encik menyanyikan lagu tersebut bersama sejumlah seniman.
Lagu yang diaransemen Krishna dan liriknya ditulis budayawan Sindhunata itu berkisah tentang persahabatan yang terjalin di antara para seniman Yogyakarta. Siang itu, lagu tersebut dinyanyikan untuk melepas Djoko Pekik yang meninggal pada Sabtu (12/8/2023) pagi di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Saat lagu ”Kita Berteman Sudah Lama” dinyanyikan di halaman, para anak dan cucu Djoko Pekik berkumpul di sebuah ruangan. Mereka berdiri di sekitar peti yang berisi jenazah Pekik. Diwarnai isak tangis, mereka memberi penghormatan terakhir untuk pelukis yang meninggal pada usia 86 tahun tersebut.
Tak lama kemudian, peti jenazah itu ditutup dan digotong ramai-ramai. Diiringi ratusan orang yang hadir, peti tersebut dibawa menuju ke mobil ambulans yang menunggu di jalan besar. Prosesi pengangkatan peti jenazah itu diiringi dengan gending Jawa yang dimainkan kelompok gamelan pimpinan seniman Pardiman Djoyonegoro.
Pardiman mengatakan, untuk mengiringi prosesi tersebut, kelompoknya memainkan gending ”Tlutur”. ”Gending ’Tlutur’ itu menghadirkan nuansa kesedihan, tetapi juga ada semangat. Jadi, sedih tetapi tidak berlarut,” ujar seniman yang aktif mengajarkan gamelan pada anak-anak itu.
Selain iringan gamelan, prosesi pelepasan jenazah Djoko Pekik juga diisi dengan tarian yang dibawakan oleh penari Kinanti Sekar. Perempuan pendiri Sanggar Seni Kinanti Sekar itu menjadi semacam cucuk lampah atau pembuka jalan iring-iringan peti jenazah Pekik. Di sepanjang jalan dari rumah hingga mobil ambulans, Sekar menari dengan selendang batik sambil membunyikan lonceng.
Baca juga: Konsistensi Djoko Pekik yang Melintasi Zaman
Dengan tari dan iringan gamelan itu, prosesi pelepasan jenazah Pekik pun menjelma sebagai peristiwa kesenian. Apalagi, sebelumnya juga digelar pentas musik serta kegiatan melukis on the spot di kompleks kediaman Pekik di Dusun Sembungan, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul.
Berbagai acara seni tersebut merupakan cara seniman Yogyakarta untuk melepas kepergian Pekik sebelum pelukis kelahiran 2 Januari 1937 itu dimakamkan di Makam Seniman Giri Sapto di daerah Imogiri, Bantul, pada Minggu siang. Beragam kegiatan itu pun membuat acara pelepasan jenazah Pekik menjadi semacam ”pesta seni” yang penuh warna.
Anak pertama Djoko Pekik, Gogor Bangsa, mengatakan, beragam acara itu digelar secara spontan oleh para seniman untuk melepas Pekik. ”Ini spontanitas dari para seniman. Mereka menamainya nguntapke atau melepas kepergian Pak Pekik. Jadi, mereka dengan cara sendiri berekspresi,” ujarnya.
Salah seorang teman dekat Djoko Pekik, Titi Budiono, menuturkan, Pekik sangat dekat dengan para seniman di Yogyakarta. Tak hanya dari kalangan perupa, Pekik juga menjalin relasi dekat dengan para seniman dari disiplin lain. Bahkan, pelukis kelahiran Purwodadi, Jawa Tengah, itu kerap membantu seniman-seniman di ”Kota Pelajar”.
Baca juga: Djoko Pekik, Sang Pelukis ”Berburu Celeng”, Meninggal
Itulah kenapa, para seniman Yogyakarta langsung tergerak membuat acara kesenian untuk melepas kepergian Pekik. Apalagi, selama hidupnya, Pekik disebut tidak menyukai hal-hal sedih.
”Pak Pekik selalu suka hal-hal yang bersifat kegembiraan. Maka, walaupun sebenarnya kita sedang berduka, duka itu harus diubah menjadi sukacita,” tutur Titi.
Titi menambahkan, ada puluhan perupa yang terlibat dalam kegiatan melukis on the spot untuk melepas kepergian Pekik. Sejumlah perupa yang turut serta dalam acara itu, misalnya Nasirun, Putu Sutawijaya, Bambang Herras, dan Godod Sutejo.
Selain itu, sejumlah tokoh, seperti sastrawan Agus Noor dan Djenar Maesa Ayu serta Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Al Makin, juga ikut melukis. Menurut rencana, lukisan-lukisan yang dibuat dalam acara itu akan ditampilkan dalam pameran di Bentara Budaya Yogyakarta untuk memperingati 40 hari meninggalnya Pekik.
Pak Pekik selalu suka hal-hal yang bersifat kegembiraan. Maka, walaupun sebenarnya kita sedang berduka, duka itu harus diubah menjadi sukacita.
Ikon perlawanan
Seniman Butet Kartaredjasa mengatakan, Djoko Pekik adalah seniman yang berani hidup dalam situasi apa pun. ”Kita tahu sejarah kelam yang pernah dialami Pak Pekik dan selalu diceritakan,” tuturnya.
Sejarah kelam yang dimaksud Butet itu adalah penangkapan Pekik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 karena dianggap berhubungan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pekik kemudian mendekam di penjara di Yogyakarta selama tujuh tahun, yakni 1965-1972.
Setelah dibebaskan, seniman yang belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) pada 1957-1962 itu sempat menghadapi kesulitan ekonomi. Bahkan, waktu itu dia harus bekerja sebagai penjahit untuk menghidupi keluarganya.
Namun, nama Pekik sebagai pelukis mulai melambung setelah dia menjadi peserta pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS) pada 1990-1991. Keikutsertaan Pekik dalam pameran itu sempat diprotes oleh beberapa seniman lain karena Pekik dianggap sebagai seniman kiri. Meski begitu, Pekik akhirnya tetap mengikuti pameran itu.
Nama Pekik kian moncer setelah dia menggelar pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta pada 16-17 Agustus 1998. Pameran yang digelar dalam waktu sangat singkat itu hanya menampilkan satu lukisan, yakni ”Berburu Celeng”. Lukisan itu kemudian menimbulkan kehebohan karena terjual dengan harga yang fantastis, yakni Rp 1 miliar.
Baca juga: Djoko Pekik: Saya Terus Melukis ”Sak Kuate”!
Budayawan Sindhunata mengatakan, Pekik merupakan ikon perlawanan di kalangan seniman Yogyakarta. Apalagi, dia bergabung dengan Sanggar Bumi Tarung yang menggemakan perlawanan rakyat kecil melalui kesenian. Hingga akhir hidupnya, Pekik dinilai tetap mempertahankan semangat tersebut melalui karya-karyanya yang kerap menggambarkan rakyat kecil.
”Naluri primordial dia yang sangat mencintai rakyat dan rakyat itu baginya adalah perlawanan,” ujar Sindhunata.
Menurut Sindhunata, dalam lukisan-lukisannya, Pekik selalu menampilkan rakyat kecil secara apa adanya. Oleh karena itu, Pekik tidak pernah memoles wajah rakyat kecil agar tampil indah dalam lukisannya. ”Kekurangan dan kemiskinan rakyat itulah keprihatinan pokoknya. Dia sungguh-sungguh menggambarkan penderitaan rakyat itu sebagai perlawanan,” katanya.
Semangat perlawanan yang dimiliki Djoko Pekik itu diharapkan bisa diwarisi oleh para seniman generasi sekarang. ”Selamat jalan, Pak Pekik. Kami para seniman Yogyakarta mohon doa restu supaya tetap bisa meneruskan perjuangan Pak Pekik,” tutur Sindhunata.