Kolaborasi Wayang Tradisi dan Wayang AI Pukau Penonton di Mataram
Pertunjukan wayang tradisi yang dikolaborasikan dengan wayang modern hingga robot dan AI bertajuk ”Pertale Gumi” (Dunia dalam Lipatan) berhasil memukau penonton di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Sebanyak 21 komunitas seni media dan pertunjukan tampil dalam Festival Komunitas Seni Media 2023: Tanah Dialektika yang berlangsung di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Berbagai pertunjukan sukses digelar serta berhasil menyita antusiasme dan memukau penonton. Termasuk pertunjukan wayang kolaborasi Sekolah Pedalangan Wayang Sasak dan WaftLab pada Selasa (5/9/2023) malam.
Pertunjukan wayang berjudul Pertale Gumi (Dunia dalam Liputan) itu berlangsung di Teater Tertutup Taman Budaya NTB, yang sekaligus menjadi lokasi Festival Komunitas Seni Media 2023. Festival tersebut berlangsung pada 2-8 September 2023.
Pertunjukan wayang yang dimulai sekitar pukul 20.00 Wita itu bercerita tentang Umar Maye, salah satu tokoh dalam wayang Sasak. Menariknya, Umar Maye tidak hanya ditampilkan dalam bentuk wayang tradisi (wayang kulit) seperti pada umumnya. Namun, Umar Maye juga ditampilkan dalam berbagai dimensi, laiknya film-film dengan latar belakang multisemesta (multiverse).
Dalam cerita tersebut, sejumlah Umar Maye bertemu dan berdebat. Baik Umar Maye dalam bentuk wayang kulit, wayang botol, maupun wayang orang. Termasuk kemunculan Umar Maye masa depan dalam bentuk animasi dan kecerdasan buatan atau AI.
Perpaduan tersebut berhasil menghadirkan pertunjukan menarik. Baik gambaran masa lalu dalam permainan dalang wayang Sasak di balik kelir, gambaran masa kini dengan wayang dan green screen, maupun wayang masa depan dalam bentuk animasi dan AI.
Ini adalah museum hibrida di mana kami mendokumentasikan secara digital benda-benda atau wayang bersejarah di rumah para dalang di Lombok.
Hal itu membuat pertunjukan yang berlangsung satu setengah jam itu tidak membosankan. Penontonbenar-benar antusias dan terpukau. Mereka dibuat tertawa, bersorak, bernyanyi, hingga bertepuk tangan.
Kerja panjang
Sutradara sekaligus penulis naskah Pertale Gumi, Fitri Rachmawati atau Fikong, mengatakan, pertunjukan mereka adalah sebuah kerja panjang dengan tim yang melibatkan 30 orang.
”Selain menulis naskah, kami juga mendiskusikan serta membuat pertunjukan bisa disukai. Kami mencoba mempertemukan wayang tradisi dengan wayang modern sehingga penonton bisa merasakan pengalaman menonton yang menyenangkan. Sehingga menonton wayang tidak lagi membosankan,” kata Fikong.
Fikong mencontohkan, dalam pertunjukan itu, tim WaftLab Surabaya, misalnya, menerjemahkan wayang dalam bentuk permainan, di mana tokoh Umar Maye ada dalam permainan itu.
Selain pendekatan baru, hal itu juga bisa menarik bagi penonton, termasuk anak-anak. Pendekatan itu kemudian menjadi jembatan yang menghubungkan penonton dengan tradisi wayang.
”Dalam pertunjukan ini, bibit gending wayang Sasak juga diaransemen oleh pemusik modern. Hasilnya adalah hal yang baru bagi banyak orang dan sangat luar biasa,” kata Fikong.
Menurut dia, pertunjukan ini seperti sebuah siaran langsung di televisi sehingga sangat rumit. Namun, ia senang karena akhirnya pertunjukan yang disaksikan ratusan penonton itu bisa berjalan lancar.
”Hampir dua jam dan tidak terasa pertunjukan sudah selesai saja. Baru kali ini menonton wayang dengan cerita yang memadukan tiga dimensi sekaligus,” kata Winda Sulastri (23), penonton asal Mataram.
Penonton lain, Sri Muliani Aulia Agustina (22), juga menyampaikan apresiasinya. ”Keren sekali. Semoga ini semakin memperkuat eksistensi wayang Sasak,” kata Agustina.
Abdul Latif Apriaman, salah satu dalang dalam pertunjukan itu, mengatakan, wayang adalah peninggalan leluhur yang bukan hanya tontonan, melainkan juga berisi tuntunan. ”Oleh karena itu, wayang harus kita jaga dan lestarikan. Tidak kita tinggalkan,” kata Latif.
Lewat pertunjukan ini, dia berharap wayang yang telah ada sejak abad ke-18 di Lombok akan tetap ada walau dengan warna yang berbeda.
Oleh karena itu, kata Latif, selain pertunjukan, mereka juga meluncurkan museum.wayangsasak.org.
”Ini adalah museum hibrida, di mana kami mendokumentasikan secara digital benda-benda atau wayang bersejarah di rumah para dalang di Lombok,” kata Latif.
Selain itu, lanjutnya, mereka juga menghimpun ilmu-ilmu tentang wayang Sasak dari berbagai sumber. Misalnya, museum Amerika yang menyimpan banyak wayang Sasak.
”Semoga menjadi bahan dari pohon ilmu pengetahuan (tentang wayang Sasak) yang bisa dikembangkan di kemudian hari,” ujarnya.