Izin Operasi Produksi Dibatalkan, Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe Didesak Dicabut
Setelah pembatalan status operasi produksi PT Tambang Mas Sangihe, Kementerian ESDM diminta mencabut kontrak karya perusahaan tersebut. Pemerintah juga didesak lebih serius menangani tambang liar di Sangihe.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Setelah pembatalan status operasi produksi PT Tambang Mas Sangihe, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral diminta mencabut kontrak karya perusahaan tersebut. Kontrak karya terkait pertambangan emas di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, itu dinilai bertentangan dengan undang-undang. Pemerintah juga didesak lebih serius menangani tambang emas ilegal di Pulau Sangihe.
Melalui siaran pers yang diterima pada Selasa (12/9/2023), Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Muhammad Jamil mengatakan, kontrak karya (KK) seharusnya tidak ada lagi di Indonesia sejak tahun 2009. Hal ini didasari ketentuan Pasal 169 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Regulasi yang telah diperbarui lagi dengan UU No 3/2020 itu mewajibkan seluruh perusahaan yang ingin melanjutkan aktivitas pertambangannya untuk mengurus perubahan KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Syarat dan tahapannya pun sangat alot, tidak bisa serta-merta.
Sebelumnya, KK di sektor mineral dan batubara (minerba) diatur dalam UU No 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. ”Rezim KK yang menempatkan martabat negara sangat rendah di hadapan swasta, yaitu menyetarakannya dengan investor, telah berakhir,” ujar Jamil.
Namun, hingga saat ini, KK PT Tambang Mas Sangihe (TMS) yang dibuat pada 1997 diklaim masih berlaku. KK itu terkait dengan kegiatan pertambangan emas di paruh selatan Pulau Sangihe dengan luas konsesi 42.000 hektar atau 57 persen luas pulau tersebut. Di sisi lain, terdapat ketidaksesuaian soal masa berlaku izin PT TMS.
Pada 2021, PT TMS mendapatkan izin operasi produksi selama 33 tahun hingga tahun 2054. Padahal, undang-undang hanya mengizinkan masa berlaku 20 tahun untuk KK yang telah diubah menjadi IUPK. Hal itu juga harus diiringi penciutan luasan konsesi menjadi maksimal 25.000 hektar. Perpanjangan masa berlaku dapat diberikan dua kali sepanjang 10 tahun.
Oleh karena itu, Jamil menilai, keberadaan KK PT TMS adalah bentuk kecacatan hukum. Dia juga menyebut, Kementerian ESDM belum maksimal dalam menjalankan Putusan Mahkamah Agung Nomor 650/K/TUN/2022 tanggal 12 Januari 2023 yang menolak kasasi mengenai pemberlakuan status operasi produksi PT TMS.
Sebelumnya, pada akhir 2022, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta telah menyatakan status operasi produksi tersebut tidak sesuai hukum. ”Maka, jelas ini (KK PT TMS) cacat yuridis dan harus dibatalkan atau berstatus batal demi hukum, alias null and void sebagaimana asas erga omnes (mengikat semua pihak yang bersengketa) dalam putusan peradilan TUN,” ungkap Jamil.
Oleh karena itu, Jamil menyatakan, PT TMS harus segera angkat kaki dari Pulau Sangihe. Apalagi, penambangan emas di pulau kecil dengan luas kurang dari 200.000 hektar tidak direkomendasikan oleh UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
”Jatam mengingatkan PT TMS untuk jangan sesekali berakrobat, apalagi menghalalkan segala cara untuk terus memaksa penambangan di Pulau Sangihe,” kata Jamil.
Namun, PT TMS menyatakan tak akan hengkang dari Pulau Sangihe karena KK milik perusahaan itu masih berlaku. Menurut Senior In-House Legal Counsel PT TMS Rico Pandeirot, KK PT TMS tak pernah dibatalkan sehingga perusahaan yang 70 persen sahamnya dimiliki perusahaan Kanada bernama Baru Gold itu berhak untuk tetap berada di Sangihe.
”Izin kami adalah KK dan KK ini tidak pernah dibatalkan. KK ini mirip IUP (izin usaha pertambangan), cuma lebih tinggi dari IUP karena ini adalah kesepakatan (antara perusahaan dan pemerintah),” ujar Rico.
Karena itu, PT TMS akan mengulang kembali proses peningkatan status ke tahap operasi produksi. Untuk sementara, Rico menyebut, perusahaannya dapat tetap berada di Sangihe dan melakukan kegiatan eksplorasi.
Pada saat yang sama, masyarakat Pulau Sangihe yang tergabung dalam kelompok Save Sangihe Island atau Selamatkan Sangihe Ikekendage (SSI) khawatir akan kerusakan alam akibat kegiatan pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang melibatkan warga setempat.
Jull Takaliuang, aktivis SSI, menyatakan, terdapat dua lokasi PETI, yaitu di Entanah Mahamu yang terletak di Kecamatan Tabukan Selatan Tengah serta Kupa, Kecamatan Manganitu Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Pencemaran air laut akibat limbah tambang yang mengandung sianida membuat masyarakat khawatir. Limbah tersebut juga diduga mengandung logam berat.
”Tingkat kejernihan air sangat buruk, sudah sulit untuk melihat ke kedalaman 1-2 meter. Di samping itu, peredaran sianida sangat masif untuk illegal mining. Ini kok bisa terjadi?” kata Jull.
Menurut Jull, kini terdapat sembilan pemodal tambang ilegal besar di Sangihe yang kemudian dijuluki ”9 Naga”. Di samping itu, ada pula CV Mahamu Hebat Sejahtera, perusahaan milik politisi lokal yang membuat perjanjian dengan PT TMS untuk menjadi operator tambang di lahan seluas 15 hektar dengan skema bagi hasil.
Venetsia Andemora, warga Kampung Bowone yang merupakan lokasi situs tambang PT TMS, mengatakan, warga sudah mengalami konflik dengan pihak perusahaan dan kepolisian sejak 2021 untuk mempertahankan Sangihe dari tambang. Konflik antarwarga pun terjadi. Ia pun berharap pemerintah lebih serius menegakkan hukum di pulau kecil yang jadi tempat tinggalnya itu.
”Kami sebagai warga Sangihe merasa sedih karena seperti tidak dianggap, seperti tidak ada harga diri. Jangan seakan-akan kami ini mau dimusnahkan. Kalau 42.000 hektar itu mau dijadikan tambang, padahal itu ruang hidup kami, kami mau ke mana?” katanya.
Jatam mengingatkan PT TMS untuk jangan sesekali berakrobat, apalagi menghalalkan segala cara untuk terus memaksa penambangan di Pulau Sangihe.
Sementara itu, Elbi Pieter, warga Kampung Bowone yang telah aktif di SSI sejak 2021, mengatakan, warga mulai mengalami penyakit berupa benjolan di leher. Menurut dia, tiga orang di desanya telah meninggal setelah mengalami gejala tersebut, diduga karena makan ikan yang terkontaminasi limbah tambang. ”Kami sudah teriak di mana-mana, tidak didengar,” ujarnya.
Sebelumnya, Kapolda Sulut Inspektur Jenderal Setyo Budiyanto menyatakan, institusinya telah menindak pelaku PETI di Sangihe pada 23 Agustus dengan menyita lima alat berat. Ia tak menyebut jumlah tersangka, tetapi hingga kini perkara itu masih berproses.