Indeks Gini NTT 0,34, Butuh Kerja Keras Pemerintah Daerah Atasi Ketimpangan
Tingkat kemiskinan di NTTmasih tetap tinggi, yakni nomor tiga nasional. Hampir semua sektor masih timpang. Butuh kerja keras pemerintah daerah.
KUPANG, KOMPAS — Indeks Gini Nusa Tenggara Timur saat ini mencapai 0,34. Angka ini memperlihatkan tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang sangat timpang. Untuk mengatasi hal ini, tidak cukup dengan lisan semata, tetapi yang paling dibutuhkan ialah aksi konkret pemerintah daerah setempat.
Sekretaris Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) Kosmas Lana ketika membuka forum pembangunan daerah yang diselenggarakan oleh The Smeru Intitut Researh di Kupang, Rabu (27/9/2023),antara lain, mengatakan, Indeks Gini sebagai alat ukur tingkat kesenjangan pembagian pendapatan relatif antarpenduduk suatu daerah.
”Provinsi NTT angka gini 0,34. Itu memperlihatkan bahwa indeks pendapatan antara penduduk di NTT sangat timpang,” kata Kosmas.
Indeks gini digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan suatu wilayah secara menyeluruh. Indeks gini diukur antara 0-1. Semakin mendekati nol, berarti terjadi pemerataan. Namun, semakin mendekati 1 berarti ketimpangan makin tinggi. Upaya pemerintah daerah dibutuhkan untuk menekan agar ketimpangan di NTT bisa diatasi.
”Faktor penentu indeks gini ada tiga, yakni jumlah penduduk, PDRB, dan investasi,” kata Kosmas.
Dalam diskusi bertemakan ”Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dan Ketimpangan Kemiskinan di NTT” itu, Kosmas mengatakan, kondisi kemiskinan NTT dari tahun ke tahun tetap sama, yakni berada pada peringkat tiga nasional sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS). Dengan ini, semua pihak terutama birokrasi harus memiliki daya autokritik tehadap masalah kemiskinan ini.
Ia mengibaratkan, masyarakat dan birokrat di NTT tinggal dalam sebuah rumah besar, tapi rumah itu sedang dalam posisi miring. Semua penghuni rumah tak sadar akan kondisi itu, dan menikmati hidupbiasa-biasa saja. Namun, orang dari luar melihat masalah kemiringan itu termasuk lembaga swadaya masyarakat, The Smeru Institute Research, sebagai masalah besar.
Baca juga : Triliunan Rupiah Mengalir Kemiskinan di NTT Hanya Turun Tipis
Kemiskinan itu tergambar dalam sejumlah masalah yang menimpa. Salah satunya ialah problem anak stunting atau tengkes. Angka tengkes di NTT menempati urutan pertama nasional. Namun, Pemprov NTT berkeberatan dengan kategori perhitungan atau pengukuran yang selama ini dilakukan pemerintah pusat. Pemprov NTT menggunakan metode pengukuran sendiri.
Pengukuran tengkes yang digunakan Pemprov NTT adalah menggunakan sistem pencatatan gizi berbasis masyarakat. Mereka bekerja secara kolaborasi mendatangi rumah warga di desa-desa dan kampung-kampung serta melakukan pendataan dan penanganan langsung di lapangan. NTT percaya diri dengan metode itu. Angka tengkes di NTT diklaim oleh pemprov menurun dari 22,24 persen tahun 2018 menjadi 16,2 persen atau setara 63.000 anak balita dari total 4 juta anak balita.
Sementara itu, pemerintah pusat menggunakan sistem survei status gizi Indonesia dengan berpatok pada sejumlah sampel. Hasil dari sistem ini, pemerintah pusat menempatkan NTT berada pada posisi tertinggi. ”Kami sudah bekerja dan hasilnya maksimal, tetapi mengapa datanya beda,” kata Kosmas.
Baca juga: Berjuang Mengubah Wajah NTT
Sementara angka kemiskinan regular di NTT, sesuai data 2022, mencapai 19,96 persen atau 1.131.000 jiwa dan kemiskinan ekstrem 560.000 orang. Bank Dunia mematok kemiskinan regular, yakni setiap warga dengan pendapatan 35 dollar AS per hari per kapita. Sementara kemiskinan ekstrem ialah tingkat pendapatan 1,9 dollar AS per hari per kapita.
BPS juga melakukan perhitungan terkait pertumbuhan ekonomi NTT. Perhitungan itu meliputi juga besaran kebutuhan dan alokasi anggaran pemerintah daerah. Misalnya, dengan melihat berapa persen APBD NTT yang difokuskan untuk belanja modal dari pengeluaran yang ada. Namun, perhitungan ini belum secara detail dilakukan Pemprov NTT.
Menurut Kosmas, nilai tambahan capital baru (investasi) yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dapat dibandingkan dengan besaran tambahan capital dengan tambahan output atau Incremental Capital Output Ratio/ICOR. BPS menyebutkan ICOR NTT berada pada posisi 8-12. Ini menunjukkan NTT sangat boros dalam hal pengeluaran untuk konsumtif.
”Pengeluaran normal berada pada posisi 4,” katanya.
Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat NTT juga hanya sampai SMP atau lama duduk di bangku pendidikan hanya 7 tahun 7 bulan. Itu berarti wajib belajar sembilan tahun juga belum terpenuhi.
Baca juga: Pendidikan di NTT Jangan dikelola Sekadar Penuhi Standar Administrasi
Untuk mengatasi ini semua, instanti teknis harus menyiapkan data sektoral bidang pendidikan dan bidang lain secara baik dan benar. Kelemahan NTT juga termasuk dalam hal data. Pejabat yang bertugas dalam hal ini terkesanacuh tak acuh terhadap data. Padahal, jika data salah, semua program akan menjadi tidak tepat sasaran dan penanganan persoalan menjadi tidak tepat.
”Bagaimana SDM orang NTT menjadi cerdas kalau anak-anak pergi ke sekolah saja tidak disiapkan dengan baik. Masuk kelas tidak mandi, tidak sarapan pagi, tidak dibekali uang jajan untuk sekolah di kota, dan alat-alat sekolah yang memadai,” kata Kosmas.
Selain itu, standar pelayanan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat, serta sektor air bersih sampai hari ini masih nol persen. ”Mungkin sudah dibuat, tetapi tidak masuk dalam data elektronik sehingga tidak terbaca,” ucapnya.
Kosmas mengatakan, problem data ini timbul, antara lain, karena pejabat eselon 3 lebih suka melakukan perjalanan dinas, tetapi tidak mengontrol bawahan masing-masing. Ke depan, eselon 3 tidak boleh lagi melakukan perjalanan dinas kalau tidak mendesak. Mereka diminta fokus mengurus data di instansi masing-masing.
Baca juga: Tumpukan Masalah Sambut Pj Gubernur NTT
Kosmas mengatakan, setiap data atau angka itu ibarat roh. Data bisa berkata-kata. Tidak ada angka, pemerintah atau pengambil kebijakan tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau ada data tetapi salah, itu pun akan melahirkan masalah baru. Data yang akurat melahirkan kehidupan yang sempurna.
Direktris The Smeru Institut Research Widjajanti Isdojoso mengatakan, pembangunan infrastruktur ekonomi di NTT belum mendukung penciptaan lapangan kerja. Jika lapangan kerja tersedia, dipastikan pengangguran akan menurun atau bahkan tidak ada. Kasus perdagangan orang yang selama ini membelit NTT pun dapat diatasi dengan terbukanya lapangan kerja.
Data lain menunjukkan, kemiskinan di tingkat anak-anak (usia 0-18 tahun) di NTT jauh lebih tinggi dibanding kemiskinan pada umumnya. Tidak adanya kepemilikan akta kelahiran anak-anak dari keluarga miskin juga masih tinggi. Status gizi buruk hampir 80 persen menimpa anak-anak.
Dosen Faktultas Ekonomi dari Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, Fritz Fanggidae, mengatakan,jumlah tenaga kerja yang tidak dibayar di NTT, misalnya, saat ini ada 700.000 orang. Jika mereka dibayar sesuai upah minimum daerah saja, dalam dua tahun, jumlah warga miskin di NTT akan menurun tajam.
Baca juga: Tenaga Kerja NTT Jangan Takut Lapor bila Tak Dapat THR
Mereka yang belum dibayar itu adalah anggota keluarga yang bekerja di rumah, toko, atau pekerjaan lain. Juga pencari kerja dari desa, dari keluarga miskin, kemudian tinggal dan bekerja dengan pengusaha di Kota, dan mereka dijamin makan minum saja.
”Tantangan ke depan, bagaimana menciptakan lapangan kerja yang cocok dengan keterampilan dan kemampuan SDM yang ada di NTT. Di sisi lain, lulusan SMP jauh lebih mendominasi angkatan kerjaketimbang SMA atau sarjana,” kata Fanggidae.