Mimpi Mahasiswa Kupang Saat Magang di Lahan Petani Sukses
Petani muda di NTT lebih pilih budidaya hortikultura dan beternak dibanding menanam padi. Kesulitan air menjadi kendala utama.
Sistem pertanian lahan kering tebas, bakar, dan tanam semakin ditinggalkan generasi muda. Mereka lebih memilih menjadi petani yangsukses di lahan kering lewat budidaya hortikultura dan beternak.
Delapan mahasiswa berseragam biru tengah sibuk meracik di teras penginapan mahasiswa Politeknik Pertanian Kupang, di Kelurahan Fatukoa Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (2/10/2023). Mahasiswa semester tujuh program studi pakan ternak itu membuat pakan ternak hasil fermentasi.
Racikannya dari batang pisang yang dicincang, lalu dicampur 5 kilogram jagung giling, 10 sendok gula pasir, dan 8 sendok mikroorganisme Em4. Seluruh bahan lalu dipadatkan dalam ember lalu ditutup rapat selama 21 hari.
Hasilnya, jadilah proses frementasi itu menghasilkan pakan ternak. Pakan alami itu bisa bertahan selama 10 tahun asalkan disimpan baik.
Resep pakan alami tersebut berfungsi sebagai vitamin utama semua jenis ternak. Penambah imun dan bobot ternak. Sangat cocok diasupkan pada ternak di tengah kekeringan ekstrem tahun ini.
Baca juga: NTT Mengirim 26.692 Ternak Sapi ke Luar Daerah
Marni Bala (22), salah satu mahasiswa itu, mengatakan, pakan fermentasi itu mereka kerjakan sendiri. Petani pendamping dan dosen pembimbing mengawasi. Jika ada kesalahan, langsung dibenarkan. Soal jenis bahan, ukuran, dan lainnya. ”Semua peserta harus bisa paham dan mengerjakan sendiri. Ini sebagai bekal pengetahuan setelah lulus,” kata Marni.
Para mahasiswa memilih lahan pertanian dan peternakan milik Daniel Aluman (45) di pinggiran Kota Kupang. Aluman merupakan petani sukses. Menyabet sejumlah penghargaan bidang pertanian dan peternakan, tingkat provinsi dan pusat.
Lahan milik Aluman seluas 10 hektar itu jadi tempat belajar. Mulai dari mahasiswa, dosen, petani, dan pelajar SMK jurusan pertanian dan peternakan. Sejumlah pejabat tingkat provinsi, kabupaten/kota, menteri, tokoh agama, dan anggota DPR dan DPRD pernah berkunjung ke lokasi ini.
Dalam lahannya, Aluman membudidayakan tanaman hortikultura dan mengembangkan peternakan dan perikanan. Ternaknya sebanyak 500 babi dan 150 sapi.
Baca juga: Ratusan Ternak Babi di NTT Mati Terpapar Demam Babi Afrika
”Saya mau belajar dari sini. Bapak Daniel hanya kelas III SD, tetapi memiliki pengetahuan luas tentang peternakan dan pertanian hortikultura. Pengamalan lapangan beliau sangat kaya,” kata Marni.
Tidak hanya belajar bertani dan beternak yang diperoleh langsung dari petani. Mereka juga mendapatkan cerita pengalaman sukses dari Daniel setiap sore atau malam hari. Sejak ia tidak punya apa-apa sampai masuk kategori petani sukses di NTT. Daniel terus memotivasi generasi muda yang datang belajar.
Marni bercerita tempat kelahirannya di Kabupaten Malaka merupakan gudang ternak dan petanian di NTT. Terutama sapi, babi, dan pertanian, di samping perkebunan pisang. Namun, belum dikembangbiakkan secara optimal. Lulusan sarjana lebih memilih bekerja di kantor pemerintah ketimbang menjadi wiraswasta. Meski mereka itu lulus sarjana pertanian atau peternakan.
Anak ketiga dari lima bersaudara ini mengatakan, memilih masuk Politeknik Pertanian karena ingin menjadi peternak sekaligus petani yang sukses. Pilihan dari kampus melakukan studi banding di lahan pertanian milik Daniel Aluman sangat tepat. Aluman hanya sampai kelas III SD, tetapi bisa meraih sejumlah penghargaan bidang pertanian dan peternakan tingkat provinsi dan nasional.
Baca juga: Menanti Sukses Binaan Laboratorium Pertanian Lahan Kering Undana Kupang
Ayah Marni Bala memiliki 5 hektar lahan pertanian di Malaka. Saat ini sudah digarap 3,5 hektar. Adapun, 1,5 hektar merupakan lahan kosong.
Malaka berada di dalam kawasan daerah aliran Sungai Benain. Wilayah itu subur. Bisa ditanami jagung dan padi dua kali setahun. Tanaman hortikultura bisa ditanami tiga kali setahun. Bawang merah pun sangat cocok dikembangkan.
”Saya ingin menjadi petani dan peternak yang sukses,” katanya.
Fransiskus Paokuma (21), mahasiswa lain, dari Desa Roho, Kecamatan Buyasuri, Kabupaten Lembata, mengatakan, saat ini sangat sulit mencari kerja, apalagi pegawai negeri. Lowonganterbatas, sedangkan pencari kerja membeludak. Banyak lulusan sarjana menunggu menjadi ASN. Itu sangat mustahil. Sebagian memilih menjadi pekerja migran di luar negeri atau di provinsi lain.
Fransiskus juga ingin belajar menjadi petani yang sukses. Bukan lagi sistem tebas, bakar, dan tanam seperti dipraktikkan dalam keluarganya selama bertahun-tahun.
Ia ingin memanfaatkan lahannya seoptimal mungkin. Di dalamnya ada tanaman hortikultura, ternak sapi, babi, ayam, sumur bor, tempat rekreasi, rumah penginapan, kolam mancing, dan sekaligus rumah tinggal.
Baca juga: Budidaya Tanaman Hortikultura, Andalan Petani Kupang
Ia bertekad mengusahakan lahan tersebut. ”Paling penting semangat juang dan bekerja serius,” kata Fransiskus optimistis.
Dosen pendamping mahasiswa praktik dari Politani Kupang, Bernadete Barek Koten (53) mengatakan, para mahasiswa itu memiliki lahan pertanian dan peternakan di Kampus Politani. Tetapi mereka ingin mendapatkan pengalaman langsung dari petani lahan kering yang sukses.
Baca juga: Daniel Aluman dan Kisah Sukses Petani Terintegrasi di Kupang
Sebagian besar lahan di NTT masuk kategori lahan kering dengan kondisi curah hujan yang sangat terbatas. Sampai tahun 1990-an, petani masih betah menanam padi gogo meski sering gagal. Tetapi setelah beras dari luar membanjiri semua pasar tradisional, kebiasaan menanam padi di lahan kering pun menurun. Apalagi curah hujan juga tidak mendukung.
Petani memilih beli beras di pasar setelah bekerja di proyek pemerintah, mengolah hasil perkebunan, atau menjadi pekerja migran di luar negeri atau antara provinsi. Beras bisa dibeli di pasar asal ada uang.
Kini, sejumlah petani berusia di bawah 50 tahun memilih terlibat budidaya hortikultura dan beternak. Juga petani milenial lebih pilih menjadi petani hortikultura sambil beternak ketimbang menanam padi. Budidaya padi terus merosot karena kekeringan dan gagal panen.
Baca juga: Kegigihan Petani di Lahan Kering NTT
Dampaknya kebutuhan beras bagi masyarakat NTT harus didatangkan dari luar. Meski harga beras mahal dan langka, tetap dibeli karena anak-anak generasi saat ini hanya bisa konsumsi beras ketimbang jenis pangan lain.