Iming-iming yang Terus Berkelindan di Rempang
Sampai saat ini, warga masih tak habis pikir mengapa warga yang harus digusur untuk sebuah proyek yang belum pasti? Ada apa di balik itu?
Proyek Rempang Eco City menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab dengan jelas. Di antaranya, mengapa rencana pembangunan itu memaksakan penggusuran bagi ribuan warga?
Sampai saat ini, warga masih tak habis pikir. ”Mengapa warga yang harus digusur untuk sebuah proyek yang belum pasti? Ada apa di balik itu?” ujar Marsita, warga Sembulang, Rempang, Kepulauan Riau, Minggu (8/10/2023).
Masyarakat Rempang sudah kenyang dengan janji politik dan iming-iming pembangunan. Marsita masih ingat betul Presiden Joko Widodo pernah menjanjikan sertifikat tanah di kampung-kampung tua Pulau Rempang, April 2019.
Di hadapan massa di Batam, Presiden Jokowi menanyakan bilamana warga setuju tanah di kampung tua disertifikatkan. Warga langsung bersorak gembira.
”Akan kita lakukan segera. Maksimal tiga bulan akan kita selesaikan. Yang setuju, tunjuk jari,” seru Presiden Jokowi kala itu disambut makin meriah oleh massa yang berkumpul.
Selain berjanji mengimingi legalitas kampung-kampung tua, Presiden Jokowi juga menjanjikan pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Batam dan Pulau Bintan.
”Sampai hari ini, masyarakat masih menunggu janji-janji tersebut,” lanjut Marsita. Namun, yang terjadi sekarang malah warga terancam digusur dari kampung tua.
Proyek Rempang Eco City menuntut pemindahan hunian warga. Hal itu telah menuai penolakan besar-besaran. Meski rencana penggusuran itu diikuti dengan iming-iming penggantian rumah dan tanah, masyarakat tak mudah percaya lagi.
”Betul tak cerita pemerintah tu mau bangun rumah untuk kami,” tanya Didi, warga Pasir Panjang.
Baca juga: Relokasi Saja Industrinya, Jangan Masyarakatnya
Ia mencium aroma tak sedap di balik rencana serba terburu-buru pembangunan Rempang Eco City. Apalagi, hari-hari ini kian dekat tahun politik. ”Sebentar lagi pemerintah ganti. Kebijakannya ikut ganti. Orang-orang yang sudah setuju pindah nanti gimana nasibnya kalau rumah tak jadi dibangun,” lanjutnya.
Baik Didi maupun Marsita menolak pemindahan dalam bentuk apa pun. Baik itu relokasi maupun pergeseran. ”Ini kampung kami. Tanah kelahiran dan sumber kehidupan kami. Tidak ada pindah walau sejengkal pun,” tambah Marsita.
Mengapa warga yang harus digusur untuk sebuah proyek yang belum pasti? Ada apa di balik itu?
Rencana pembangunan
Dalam catatan Kompas, iming-iming pembangunan kerap berkelindan di Pulau Rempang. Proyek Rempang Eco City bahkan sudah digaungkan sejak dua dasawarsa lalu. Nota kesepahamannya telah dilakukan PT Makmur Elok Graha dan Pemerintah Kota Batam, 2004. Namun, sejak MoU dibuat, pembangunan tak kunjung berjalan.
Kompas juga mencatat, pada 2006 pemerintah pernah merencanakan di Pulau Rempang sebuah proyek penelitian dan pengembangan bioteknologi komersial berupa kawasan Bioisland. Dalam kawasan itu akan dibangun Pusat Bioprospeksi Indonesia sebagai fasilitas untuk menunjang pengembangan bioprospeksi yang memanfaatkan kekayaan sumber daya hayati tropis. PBI bertujuan untuk mendapatkan dan menyediakan material biologi dan fasilitas pendukung untuk bioprospeksi berkelanjutan.(Kompas, 6 Januari 2006). Rencana itu pun hingga kini tak terdengar lagi.
Rencana lainnya adalah pengembangan pariwisata khusus di Pulau Rempang. Perihal rencana itu sempat pula diketahui warga setempat pada empat atau lima tahun silam. Namun, rencana itu lagi-lagi tak jelas kelanjutannya.
Baca juga: Selesaikan Sengketa di Pulau Rempang, Pemerintah Diminta Utamakan Masyarakat
Pada pertengahan tahun ini kembali terdengar rencana pembangunan di Rempang. Kali ini, Rempang Eco City disebut-sebut kembali untuk terwujudnya kawasan industri terpadu. Di dalamnya akan dibangun dari industri silika, soda abu, kaca surya, kaca float, silikon, pemrosesan kristal, hingga sejumlah infrastruktur pendukung.
Bagi masyarakat, seluruh rencana pembangunan itu tidak ada yang menghalangi. Masyarakat bahkan mendukung asalkan tidak dilakukan dengan menggusur kehidupan penduduk setempat. Rencana pembangunan yang menggusur masyarakatnya sendiri menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada pemerintah. Apalagi tempat tinggal baru yang diiming-imingi bagi warga belum satu unit pun dibangun.
Jangan gusur
Antropolog dari Universitas Indonesia, Suraya Abdulwahab Afiff, mengingatkan pemerintah untuk membangun tanpa menggusur. Jika ingin membangun di satu daerah, harus terlebih dahulu lihat konteks lokalnya. Kalau di sana sudah ada masyarakatnya yang lebih dahulu menghuni, tidak semestinya pembangunan berjalan dengan serampangan menggusur. ”Kalau mau bangun pabrik, ya bangun aja, tapi jangan menggusur,” katanya.
Baca juga: Memahami Kasus Pulau Rempang
Ia pun memaparkan konflik yang terjadi sebagai potret keberpihakan negara lebih besar pada korporasi ketimbang rakyat. Selama ini ada kecenderungan pembangunan yang berjalan di Indonesia lebih berpihak pada kepentingan korporasi.
Tidak hanya dalam urusan pengembangan industri, pembukaan hutan pun lebih dominan untuk mengisi kepentingan korporasi. Di banyak lokasi, kebijakan yang dibuat cenderung berbuntut konflik.
Sebagaimana analisis Peluso dan Vandergeest, 2001, dalam ”Political Forest” disebutkan, lahan-lahan diklaim negara sebagai hutan. Ironisnya, penyebutan kawasan hutan terlepas dari apakah di dalamnya bervegetasi hutan atau tidak. ”Legalisasi kawasan hutan lebih sekadar untuk bisa diserahkan hak kelolanya kepada (korporasi) perkebunan. Bukan untuk kepentingan menyelamatkan hutan, melainkan bagaimana ini bisa dieksploitasi,” jelasnya.
Dengan demikian, apa yang terjadi di Rempang mewakili konflik-konflik di wilayah lain di negeri ini. Apalagi, mekanisme penyelesaian konflik baru sejak 2013 ada.
Peneliti Kebudayaan dari BRIN, Dedi Arman, menyebut pemerintah berencana memasukkan pengembangan pariwisata dalam pembangunan di Pulau Rempang. Maka, seharusnya keberadaan kampung-kampung tua di sana dipertahankan. Banyak peninggalan bersejarah yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata. Begitu pula kekayaan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Semua itu sejalan dengan status lahan di Rempang yang mayoritas merupakan taman buru alias hutan konservasi.
Di pulau itu pula ada suku asli yang disebut Orang Darat dengan populasi tak sampai 10 orang lagi. Keberadaan mereka yang tinggal segelintir jangan sampai punah. Justru keberadaan mereka bisa dilestarikan sebagai aset wisata budaya bagi Rempang.
Selayaknya pemerintah lebih bijak dalam membangun.