Mediator Independen Diperlukan untuk Atasi Konflik Rempang
Pelibatan tim independen sangat perlu agar warga tidak dalam posisi tertekan.
BATAM, KOMPAS — Perlu melibatkan mediator independen untuk menyelesaikan konflik antara warga di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, dan pemerintah. Tanpa pelibatan tim independen, warga cenderung pada posisi yang lemah sehingga sulit menemukan kesepakatan yang adil.
Baca juga: DPR Minta Tak Terburu-buru Relokasi Warga Rempang
Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Suraya Afif, dihubungi Senin (9/10/2023), menuturkan, pelibatan tim independen sangat perlu agar warga tidak dalam posisi tertekan. Suraya menuturkan, lembaga negara, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman, atau lembaga swasta lain yang punya kapasitas, layak menjadi tim mediator.
Dalam konteks konflik Rempang, pemerintah tidak bisa melakukan penyelesaian tanpa melibatkan tim imparsial. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kepentingan atau conflict of interest sulit untuk bersikap independen. ”Karena ada buyer (pembeli) pemerintah maunya buru-buru,” kata Suraya.
Saat ini pemerintah, dalam hal ini Badan Pengusahaan Batam, terus melakukan pendekatan kepada warga agar mereka bersedia untuk direlokasi. Menurut Suraya, pola yang dilakukan oleh BP Batam tidak menyelesaikan masalah secara berkeadilan.
”Mereka (BP Batam) hanya mendatangi warga yang setuju (relokasi), padahal lebih banyak warga yang menolak,” kata Suraya.
Pola komunikasi seperti itu justru dapat memperuncing konflik karena warga yang tidak setuju relokasi akan terus berjuang mempertahankan tanah dan rumahnya.
Untuk membuat hati warga luluh dan mau direlokasi, pemerintah memberikan gula-gula sebagai ganti rugi, seperti memberikan tanah dan rumah sebagai hak milik, uang masa tunggu, dan uang sewa rumah kepada warga agar mereka bersedia pindah.
Baca juga: Memahami Kasus Pulau Rempang
Menurut Suraya, poin-poin ganti rugi itu bukan lahir dari sebuah kesepakatan dengan warga, tetapi tawaran dari pemerintah. ”Apa yang diiming-imingi oleh pemerintah, tetapi tidak terwujud, siapa yang bertanggung jawab,” kata Suraya.
Tidak mudah memindahkan seseorang dari tanah kelahirannya yang telah ditempati lebih dari satu abad. Ketika dipaksa pindah, menurut Suraya, hubungan batin dan struktur kebudayaan tercerabut. Di lokasi baru belum tentu warga akan bahagia dan psikologisnya tertekan.
Pemerintah menginginkan pengosongan lima kampung dilakukan dengan cepat agar lahan 2.300 hektar dapat digunakan untuk pembangunan pabrik Rempang Eco City. Lima kampung tua yang terdampak pembangunan tahap I adalah Pasir Merah, Belongkeng, Pasir Panjang, Sembulang Tanjung, dan Sembulang Hulu.
Namun, tidak sedikit warga yang menolak untuk direlokasi. Warga tidak ingin menyerahkan tanah yang telah digarap secara turun-temurun itu untuk kepentingan proyek Rempang Eco City.
Salah seorang warga Kampung Sembulang, Ismail (54), menuturkan, ayahnya lahir di sana. Kini, dia tinggal dan mengelola lahan warisan sang ayah. Ismail tidak memiliki sertifikat tanah, tetapi dia memiliki surat yang dikeluarkan oleh kepala desa tahun 1984. Bagi Ismail, surat tersebut adalah bukti dia memiliki hak atas tanah tersebut.
Ismail termasuk salah seorang warga Melayu di sana yang tidak bersedia direlokasi. Dia akan berjuang untuk tetap bertahan di kampung tersebut. Ismail berharap investasi tidak mengusir warga Melayu yang telah turun-temurun tinggal di sana.
Sebelumnya, Muhammad Isnur dari Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menuturkan, tindakan intimidasi terhadap penolakan relokasi warga Rempang melanggar hak asasi manusia dan peraturan internal kepolisian.
Hampir sebulan pasca-penolakan relokasi, warga Pulau Rempang diduga masih mengalami ancaman kekerasan ataupun intimidasi. ”Temuan kami, negara melalui aparat gabungan telah melakukan sejumlah tindakan yang mengarah pada ancaman kekerasan, intimidasi, dan teror psikologi yang menimbulkan ketakutan terhadap warga,” kata Isnur.
Tindakan-tindakan intimidatif itu, yaitu mulai dari pemaksaan pendaftaran relokasi, kerap lalu lalangnya aparat, sosialisasi pintu ke pintu, penggunaan kantor kecamatan sebagai posko pengamanan, adanya sejumlah posko penjagaan di Pulau Rempang, dan mobil-mobil polisi yang selalu terparkir di berbagai area kampung warga, merupakan bentuk intimidasi psikologis.
Baca juga: Sosialisasi Diintensifkan, Warga Pulau Rempang Enggan Mendaftar Relokasi
Saat ini, BP Batam menyiapkan dua tempat relokasi, yakni di Tanjung Banun, Pulau Rempang, dan Dapur 3, Pulau Galang. Menurut Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait, pembangunan hunian relokasi ditargetkan selesai pada 2024.
Selagi menunggu proses pembangunan, warga diberikan opsi untuk tinggal di rumah singgah yang disediakan BP Batam atau menerima uang sewa Rp 1,2 juta per keluarga. Selain itu, warga juga diberi uang tunggu Rp 1,2 juta per kepala. BP Batam menilai pembangunan di Pulau Rempang itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.