Dalam banyak kasus korupsi, terutama yang melibatkan swasta sebagai pelaksana, korupsi dilakukan bersama-sama. Ada kecenderungan persekongkolan untuk menggelapkan anggaran.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sepanjang tahun 2023, sebanyak 50 orang di Aceh ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi. Perilaku korupsi ibarat penyakit kronis dalam penyelenggaraan pemerintahan yang kian sukar disembuhkan.
Kepala Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA) Mahmuddin, Jumat (13/10/2023), di Banda Aceh, menuturkan, anggaran daerah, termasuk dana otonomi khusus, menjadi sasaran utama untuk dikorupsi. Pelaku korupsi kerap melibatkan aparatur negara dan pihak swasta.
”Dalam banyak kasus korupsi, terutama pada proyek yang melibatkan swasta sebagai pelaksana, korupsi dilakukan bersama-sama. Memang ada kesepakatan jahat untuk menggelapkan anggaran,” kata Mahmuddin.
Mahmuddin mengikuti isu antikorupsi selama satu dekade lebih. Dia banyak mengawal proses hukum kasus korupsi. Kasus korupsi di Aceh, katanya, tersebar di semua kabupaten/kota. Pelakunya mulai dari kepala daerah, pejabat eselon, hingga anggota staf. Di luar aparatur negara, kontraktor juga kerap tersandung kasus korupsi.
”Setiap tahun ada saja kasus korupsi. Saya berpikir, perilaku korupsi sudah menjadi penyakit kronis yang sangat sukar disembuhkan. Pelaku korupsi dari menteri, kepala daerah, hingga pegawai rendahan,” ujar Mahmudin.
Data yang dihimpun Kompas dari pemberitaan dan gelar perkara baik oleh kepolisian maupun kejaksaan sepanjang 2023, sebanyak 52 orang ditetapkan sebagai tersangka dari 19 kasus tindak pidana korupsi. Sebagian besar tersangka merupakan aparatur sipil negara (ASN), disusul pihak swasta dan kepala desa.
Dalam banyak kasus korupsi, terutama pada proyek yang melibatkan swasta sebagai pelaksana, korupsi dilakukan bersama-sama.
Dari 52 tersangka, terdapat dua eks kepala daerah, yakni eks Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya dan eks Bupati Aceh Tamiang Mursil. Suadi disangkakan dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan Rumah Sakit Arun. Sementara Mursil menjadi tersangka dalam kasus pengadaan tanah.
Mahmuddin menuturkan, setiap tahun negara mengalami kerugian puluhan hingga ratusan miliar karena korupsi. Seharusnya anggaran tersebut dapat menjadi modal utama membangun infrastruktur dan program peningkatan kesejahteraan warga.
Ia mengatakan, semua orang sepakat korupsi merupakan kejahatan luar biasa, tetapi upaya pencegahan masih lemah. Kasus korupsi yang jamak terjadi di antaranya laporan perjalanan fiktif, penggelembungan harga, hingga proyek fiktif.
”Lalu kita bertanya, peran lembaga internal pemerintah untuk mencegah korupsi di mana,” katanya.
Kasus terbaru, Kamis (12/10/2023), Kejaksaan Negeri Lhokseumawe menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan pajak penerangan jalan Kota Lhokseumawe 2018-2022. Semua tersangka merupakan ASN. Kerugian negara dari kasus itu Rp 3,4 miliar.
Mahmuddin menyebutkan, dalam pengelolaan anggaran daerah, celah korupsi sangat mudah didapatkan. Pengelolaan anggaran daerah dengan pendekatan besaran realisasi membuat aparatur cenderung mengejar realisasi anggaran, bukan kualitas program.
Ia menambahkan, harus ada reformasi birokrasi secara menyeluruh agar melahirkan aparatur yang berintegritas dan menutup celah korupsi. Di sisi lain, warga harus selektif memilih calon kepala daerah dan anggota legislatif agar melahirkan pemimpin yang punya integritas.
Sementara itu, hasil riset Masyarakat Transparansi Aceh (Mata) menyebutkan, pada 2021-2022 terjadi 27 kasus tindak pidana korupsi di Aceh. Dari total 81 tersangka, 36 orang atau 44,4 persen adalah ASN. Kedua terbanyak adalah pihak swasta, yakni 22 orang. Sisanya kepala desa, pengurus yayasan, dan warga.
Catatan Kompas, dari sejumlah kasus korupsi yang ditangani tahun 2019-2021, nilai kerugian negara mencapai Rp 43,489 miliar. Angka ini setara dengan 434 rumah layak huni tipe 36 untuk kaum duafa.
Padahal, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri saat berkunjung ke Aceh pada 26 Maret 2021, di hadapan para ASN dan Gubernur Aceh, telah memperingatkan agar tidak lagi melakukan korupsi. Namun, faktanya, kasus korupsi di Aceh masih tinggi.
”Dana otonomi khusus Aceh cukup besar, harus dipastikan setiap rupiah untuk pembangunan. Tidak boleh ada lagi praktik-praktik korupsi di Aceh,” kata Firli.
Ia mengatakan, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang melanggar hak asasi manusia. Dia mencontohkan, korupsi terhadap bantuan sosial telah merampas hak warga miskin. Padahal, pelaku korupsi adalah orang-orang yang kaya materi dan bergaji besar.
Sementara itu, Juru Bicara Pemprov Aceh Muhammad MTA mengatakan, pemerintah tidak bisa menjamin semua aparatur taat aturan dalam mengelola anggaran. ”Pemprov Aceh hanya bisa menyampaikan kepada semua pejabat agar bekerja sesuai aturan dan jangan korupsi,” kata Muhammad.
Ia menambahkan, kerja aparatur Pemprov Aceh diawasi oleh kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan publik. Jika ada oknum pejabat yang melakukan korupsi, konsekuensinya adalah diproses hukum.