Kematian satwa lindung di Aceh dominan ulah manusia, seperti dibunuh untuk diperdagangkan, diracun hingga terkena jerat.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sepanjang tahun 2019-2023, sebanyak 22 gajah sumatera, 11 harimau, dan satu orangutan di Provinsi Aceh mati. Tanpa perlindungan serius, satwa lindung tersebut kini semakin terancam.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Afifuddin Acal, Senin (23/10/2023), menuturkan, kehidupan satwa lindung tersebut semakin terancam. Selain karena kerusakan habitat, satwa-satwa itu juga menjadi sasaran perburuan untuk diperjualbelikan.
Gajah, harimau, orangutan, dan badak merupakan satwa kunci yang dimiliki oleh Indonesia. Hutan Aceh menjadi satu-satunya tempat di dunia di mana keempat satwa itu masih hidup bersama di satu kawasan.
Afifuddin mengatakan, kematian satwa lindung jangan dianggap sebagai hal biasa. Kematian satwa lindung dapat membuat ketidakseimbangan pada ekosistem. Satwa lindung seperti gajah dan orangutan menebar benih untuk reboisasi hutan secara alami, sedangkan harimau merupakan predator ulung yang menjaga keseimbangan populasi satwa lain.
Afifuddin mengatakan, kematian satwa lindung di Aceh dominan karena ulah manusia, seperti dibunuh untuk diperdagangkan, diracun karena dianggap hama, hingga terkena jerat pemburu babi.
Sebagai contoh pada Februari 2023, SY, seorang petani di Kabupaten Aceh Timur, membunuh satu harimau dengan cara melumuri racun pada daging kambing. Petani tersebut marah karena sebelumnya kambing miliknya mati dimangsa oleh ”Si Raja Hutan”. Aksi balas dendam justru mengantarkan dirinya ke penjara.
Namun, kata Afifuddin, ada juga pemburu yang sengaja membunuh satwa untuk diperdagangkan. Masih di Aceh Timur, pada 2021, seekor gajah dibunuh oleh pemburu. Gading gajah itu dijual kepada perajin di Jawa Barat.
”Aceh termasuk bagian dari jalur perdagangan satwa lindung internasional,” kata Afifuddin.
Sementara pada Maret 2023, satu harimau ditemukan mati dengan leher terjerat kabel baja di perkebunan warga di Kabupaten Aceh Selatan. Harimau tersebut terkena jerat yang dipasang untuk memburu babi hutan.
Afifuddin mengatakan, perlu upaya serius untuk mencegah kematian satwa lindung. Selain penegakan hukum, perlu juga memproteksi habitatnya. Salah satunya dengan memasukkan koridor satwa dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Aceh. Tanpa dimasukkan ke dalam RTRW, perlindungan habitat tidak akan maksimal.
Interaksi negatif atau konflik satwa kini banyak terjadi di luar kawasan hutan lindung dan konservasi. Hal ini terjadi karena koridor satwa tidak lagi terhubung antara satu dan yang lain. Sebagian kawasan yang sebenarnya masuk sebagai koridor satwa justru telah beralih fungsi menjadi area budidaya dan pembangunan. Menurut Afifuddin, perlu kebijakan pemerintah daerah untuk memastikan koridor tersebut dapat saling terhubung.
”Penting dalam RTRW Aceh memasukkan koridor satwa di seluruh Aceh yang terintegrasi sehingga jalur migrasi satwa tidak terputus saat ada pengalihan fungsi lahan,” kata Afifuddin.
Saat ini tiga koridor yaitu Pidie-Pidie Jaya, Bireuen-Aceh Tengah, dan Bener Meriah. telah masuk dalam RTRW Aceh. Adapun ada enam koridor lainnya belum terakomodasi dalam RTRW Aceh.
Keenam koridor tersebut yaitu Aceh Besar-Pidie, Aceh Jaya, koridor Aceh Barat-Nagan Raya, Nagan Raya-Aceh Barat Daya-Gayo Lues, Aceh Selatan-Subulussalam, dan Aceh Timur-Aceh Tamiang-Gayo Lues.
”Masalahnya interaksi negatif justru banyak terjadi di dalam enam koridor tersebut,” kata Afifuddin.
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Muhammad Daud mengatakan, 895.397 hektar lahan di Aceh disiapkan untuk dikelola sebagai sembilan koridor satwa lindung. Meski berada di luar kawasan hutan lindung, pengelolaan kawasan harus tetap mementingkan keberlangsungan kehidupan satwa lindung.
Konflik satwa masih menjadi persoalan serius di Aceh. Petani terus mengalami kerugian karena tanaman rusak diamuk gajah. Daerah konflik gajah di antaranya di Bener Meriah, Aceh Timur, Pidie, dan Aceh Jaya.
Daud mengatakan, kini warga menanti aksi nyata tim satgas untuk menekan konflik satwa. Jika tidak dapat menekan konflik, petani akan terus merugi dan keberlangsungan hidup satwa lindung akan terus terancam.
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Teuku Reza Ferasyi mengatakan, konflik satwa lindung semakin masif. Konflik membuat satwa lindung dan manusia sama-sama terancam. Selain kerugian materi, konflik telah memakan korban baik manusia maupun satwa.
Reza mendorong pemerintah agar mengevaluasi upaya mitigasi yang telah dilakukan. ”Barangkali upayanya belum efektif sehingga konflik masih masif,” kata Reza.