Kemenangan Jalan Sunyi Reforma Agraria dari Ciamis
Kolaborasi pemerintah, KPA, dan warga dalam menyelesaikan reforma agraria di Ciamis berbuah nyata. Namun, masih banyak warga yang menunggu perlakuan yang sama bisa menyejahterakan mereka.
Setelah berjuang lebih dari 20 tahun, ratusan warga Dusun Cijoho, Desa Muktisari, Kecamatan Cipaku, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, kini menggenggam sertifikat tanah yang mereka garap. Surat ini membuat mereka lebih percaya diri memanfaatkan lahannya demi masa depan lebih baik.
Ny Kanah (54), warga Cijoho, akhirnya bisa bernapas lega. Dia menggenggam erat sertifikat tanah yang diberikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto di depan rumahnya, Kamis (12/10/2023) siang. Hari itu, 405 sertifikat diberikan kepada 250 warga dalam momen Redistribusi Tanah Rakyat Desa Muktisari, Kabupaten Ciamis.
Selain untuk warga, lahan 106,53 hektar yang dibagikan ini juga dipergunakan berbagai pihak dan lembaga untuk kesejahteraan bersama. Beberapa di antaranya seperti pengembangan wisata terpadu, institut agraria, pesantren, dan area konservasi.
”Tanahnya dipakai untuk tujuan produktif, ya,” ujar Hadi berkali-kali kepada warga yang mendapat sertifikat.
Baca juga : UUPA dan Transformasi Kebijakan Pertanahan
Kanah bersyukur kini bisa memiliki tanah itu seutuhnya. Ia dapat leluasa menggarap lahan seluas 1.213 meter persegi.
Lahan itu dimanfaatkan untuk memelihara ikan. Biasanya, dalam 2-3 bulan, ia panen 50 kilogram ikan atau setara Rp 1 juta. Dulu, dia ragu menambah ikan karena takut kolamnya digusur.
”Sekarang sudah ada sertifikat jadi tidak ragu tambah ikan. Keuntungannya bisa untuk biaya sekolah anak bungsu. Dua kakaknya hanya lulusan SD dan SMP karena kekurangan biaya,” ujarnya.
Dadi Mulyadi (64), warga Cijoho lainnya, juga tengah menikmati buah perjuangannya selama 24 tahun. Kini, tanah seluas 90 bata atau setara 1.260 meter persegi menjadi miliknya. Sertifikat itu bukti kerja kerasnya memperjuangkan hak menggarap lahan selama 24 tahun terakhir.
”Seingat saya, kami berjuang sejak reformasi (1998). Teman-teman sudah banyak yang meninggal. Sekarang kami tengah merintis menanam durian,” ujarnya.
Dari kronologi Serikat Petani Pasundan (SPP), yang membantu reforma agraria di Cijoho, lahan itu diperjuangkan lebih kurang 600 penggarap. Sebelumnya, tanah dikuasai Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1905.
Kala itu, tanah ditanami serai dan kelapa. Ciamis tempo dulu dikenal sebagai penghasil kelapa utama.
Pada tahun 1941 tanah lalu ditanami karet. Setelah kemerdekaan, pengelolanya masih orang Belanda. Pemiliknya dikenal warga dengan panggilan Mr Piet.
Waktu berselang, tanah lalu diklaim PT Maloya sejak 1975. Masa berlaku hak guna usaha (HGU) hingga 31 Desember 2010. Masyarakat sempat mengajukan permohonan untuk menggarap lahan pada 1982. Namun, upaya itu ditolak.
Pengajuan itu bukan tanpa alasan. Selama dipegang PT Maloya, tanah tidak terurus dan telantar.
Usaha kedua dilakukan tahun 1999. Warga diperbolehkan menggarapnya. Namun, baru sekali penggarapan, perusahaan mengambil alih kembali lahan itu. Kali ini, warga mencoba berjuang.
Masyarakat bersama SPP memperjuangkan tanah di Mekarmukti dengan berbagai cara, mulai dari audiensi kepada pemerintah daerah hingga pusat.
Mereka bahkan ikut aksi di depan Istana Negara. Tujuannya mendesak penyelesaian konflik agraria di seluruh Indonesia dengan keberpihakan kepada rakyat.
Tanah telantar juga melanggar kewajiban pemegang HGU sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Dalam aturan ini disebutkan pemegang HGU melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, hingga kegiatan produktif sesuai keputusan pemberi haknya.
Setelah reforma agraria ini berhasil, para petani juga sejahtera. Petani kecil, petani gurem, buruh tani, bahkan nelayan-nelayan tradisional, tersenyum karena merasakan kehadiran negara
Reforma agraria
Dalam sambutannya, Hadi Tjahjanto berjanji menyelesaikan dinamika dalam Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Tujuannya agar petani kecil di sana bisa lebih sejahtera. Mereka bisa menggarap lahan tanpa dirundung kekhawatiran.
Hadi menyatakan, LPRA yang ada saat ini ditargetkan selesai tahun 2024. Landasannya, Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Sinergi dan kolaborasi diharapkan bisa menyelesaikan permasalahan karena reforma agraria langsung menyentuh masyarakat.
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), lokasi yang diajukan sebagai LPRA di Indonesia mencapai 750 titik. Luasnya 1,7 juta hektar. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, Kementerian ATR/BPN bersama KPA membentuk Satuan Tugas Percepatan Redistribusi Tanah pada LPRA dan Penyelesaian Konflik Agraria.
”Setelah reforma agraria ini berhasil, para petani juga sejahtera. Petani kecil, petani gurem, buruh tani, bahkan nelayan-nelayan tradisional, tersenyum karena merasakan kehadiran negara,” ujar Hadi disambut tepuk tangan meriah warga.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menjelaskan, dari ratusan titik, 32 di antaranya masuk prioritas target penyelesaian di tahun 2024. Redistribusi tanah LPRA di Desa Muktisari menjadi momen pertama sehingga perlu dirayakan.
Selain Muktisari, LPRA di Jabar juga ditemukan di sejumlah daerah. Salah satunya di Desa Langensari, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, seluas 70 hektar dan diperjuangkan 214 keluarga petani.
Di luar Jawa, upaya penyelesaian konflik agraria ini juga dilakukan di sejumlah wilayah, seperti di Desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Bali. Lahan seluas 246 hektar itu diperjuangkan 683 keluarga petani.
Menurut Dewi, 32 lokasi prioritas ini menjadi yang termudah karena permasalahan ada di bekas lahan eks HGU yang sudah kedaluwarsa. Artinya, sudah tidak ada alas hukum bagi perusahaan untuk mengklaim. Sementara itu, tanah sudah menjadi lahan pertanian produktif garapan warga.
”Dari 750 lokasi, ada 32 titik yang diprioritaskan sebagai tahap pertama kerjanya satgas. Menurut kami, lokasi itu yang termudah. Kalau tidak selesai juga, itu keterlaluan. Artinya, ada problem mendasar negeri ini soal konflik agraria,” ujarnya.
Peran perempuan
Meskipun dinilai mudah, penyelesaian konflik agraria ini juga berkejaran dengan waktu. Dewi berujar, keterlambatan penyelesaian reforma agraria membuat konflik semakin runyam dan berlarut-larut.
Permasalahan timbul saat lahan itu berhadapan dengan berbagai proyek, mulai dari pencanangan pariwisata premium hingga proyek strategis nasional. Padahal, lahan yang ada menggerakkan perekonomian masyarakat, bahkan kehidupan mereka bergantung pada tanah tersebut.
”Indikator keberhasilan perjuangan itu bukan sertifikat. Reforma agraria yang komprehensif itu tidak hanya hak atas tanah, tetapi juga penguatan ekonomi. Penataan produksi dan pengolahan hasil, distribusi, teknologi, dan sebagainya juga menjadi penting,” ujarnya.
Reforma agraria ini, lanjut Dewi, juga fokus pada isu penguatan peran perempuan. Sebagai contoh, separuh dari penerima sertifikat dalam redistribusi tanah di Muktisari ini adalah perempuan. Semua ini dilakukan untuk menunjukkan perempuan punya hak yang setara dengan laki-laki atas pengelolaan tanah.
”Perempuan itu punya hak yang sama, dan prinsip ini yang perlu kami gerakkan. Tanah ini bukan hanya pemberian negara. Reforma agraria ini melalui perjuangan semua. Kami juga ingin publik tahu, reforma agraria ini tidak mudah, seperti jalan yang sunyi, sehingga banyak yang menyerah,” ujarnya.
Untuk rakyat
Sekretaris Jenderal SPP Agustiana juga menganggap reforma agraria bukan hal mudah. Rakyat harus berhadapan dengan pihak-pihak yang lebih berkuasa. Namun, pada prinsipnya, semua aturan pertanahan berpihak kepada rakyat yang telah menggarap lahan selama belum ada pemiliknya.
Hal tersebut, lanjut Agustiana, masih belum diterapkan sehingga berdampak pada konflik agraria. Salah satu yang ramai dibicarakan adalah kasus di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, saat proyek strategis nasional di daerah ini hendak menggusur 16 kampung tua.
Padahal, masyarakat di kampung itu telah hidup di sana secara turun-temurun. Konflik agraria ini memanas sekitar September 2023 dan pemerintah sempat merespons dengan tindakan represif kepada masyarakat yang protes.
”Semua aturan pertanahan sifatnya untuk kepentingan rakyat yang menggarap, menguasai, memiliki, dan yang bersengketa. Tidak boleh ada yang lain. Tapi, sekarang malah dibalik, seperti di Rempang. Rakyat di sana ada dan hidup, tetapi seolah dianggap tidak ada,” ujarnya.
Karena itu, keberpihakan kepada rakyat dalam konflik agraria ini menjadi penting karena berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Perjuangan sunyi reforma agraria ini akan terus berjalan hingga bumi yang terbentang memberikan kehidupan yang lebih baik.
Baca juga : Belenggu Reforma Agraria