PN Kediri Vonis 4 Terdakwa Kasus Obat Batuk Sirup 2 Tahun Penjara
Majelis hakim Pengadilan Negeri Kediri menjatuhkan vonis 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar terhadap empat terdakwa kasus sirop obat batuk yang berbuntut pada gagal ginjal akut.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
KEDIRI, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Negeri Kediri, Jawa Timur, Rabu (1/11/2023), menjatuhkan vonis 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan kepada empat terdakwa kasus obat batuk sirup yang berbuntut gagal ginjal akut pada anak. Vonis ini jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa 7-9 tahun penjara.
Keempat terdakwa adalah Direktur Utama PT Afi Farma Arief Prasetya Harahap, Manajer Pengawasan Mutu PT Afi Farma Nony Satya Anugrah, Manajer Quality Insurance PT Afi Farma Aynarwati Suwito, dan Manajer Produksi pada perusahaan yang sama Istikhomah.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Arief dengan penjara 9 tahun. Sementara ketiga terdakwa lainya dituntut lebih ringan, yakni 7 tahun. Keempatnya juga didenda Rp 1 miliar atau subsider 6 bulan kurungan.
Infografik Perkembangan Kasus Gagal Ginjal Akut Misterius Anak di Indonesia
Sempat molor sekitar 1,5 jam dari jadwal semula sidang, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kediri Boedi Haryantho (ketua), Agung Kusumo Nugroho dan Ira Rosalin (anggota) membacakan amar putusan secara bergantian.
Hakim menilai keempat terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja memproduksi barang farmasi tidak memenuhi standar dan faktor keamanan.
Para terdakwa terbukti melanggar Pasal 196 juncto Pasal 98 Ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Menurut hakim, hal yang memberatkan terdakwa ialah mereka tidak mendukung program pemerintah dengan sengaja memproduksi barang farmasi yang tidak memenuhi standar. Hakim juga mengabaikan semua pleidoi terdakwa.
Menanggapi putusan tersebut, keempat terdakwa menyatakan pikir-pikir. Begitu pula dengan JPU. ”Kami pikir-pikir dulu. Kemungkinan kami akan banding karena vonisnya di bawah tuntutan kami,” ujar JPU Sigit Artantodjati, usai sidang.
Mereka sebenarnya punya alat gas chromatography untuk mengetes hal itu. Namun, tidak dilakukan sebagaimana standar aturan Farmakope VI dari Kementerian Kesehatan.
Sebelumnya, kata Sigit, pihaknya menuntut para terdakwa dengan hukuman cukup lama, 7 dan 9 tahun penjara, karena efek dari kasus itu cukup besar, yakni mengakibatkan kematian pada anak.
Soal produk farmasi yang tidak sesuai standar, Sigit menyebut sesuai dari awal, di dakwaan, ada bahan baku campuran obat Propelin Glikol tercemar etilen glikol dan dietilen glikol. Sehingga, saat obat itu beredar, efeknya berujung pada gagal ginjal.
Mereka sebenarnya punya alat gas chromatography untuk mengetes hal itu, tetapi tidak dilakukan sebagaimana standar aturan Farmakope VI dari Kementerian Kesehatan. Aturan itu menyatakan bahan campuran obat harus dites dulu dengan alat tersebut. ”Namun, hal itu tidak dilakukan,” katanya.
Sementara itu, kuasa hukum Arief Prasetya Harahap, M Syamsul Hidayat, menyatakan, pihaknya menghormati keputusan majelis hakim yang memberikan putusan lebih rendah daripada tuntutan jaksa. Pihaknya masih memiliki waktu sepekan untuk menyiapkan upaya banding.
”Terdakwa sendiri masih pikir-pikir, belum bisa memastikan apakah akan banding atau tidak,” ucapnya.
Menurut Syamsul majelis hakim ternyata punya pertimbangan tersendiri yang berbeda dengan keyakinan tim penasihat hukum. Kuasa hukum masih punya keyakinan bahwa kasus ini merupakan tindak pindana korporasi lantaran dilakukan perusahaan farmasi berbentuk perseroan terbatas (PT), bukan dilakukan kliennya sendiri-sendiri.
”Kalau dibilang puas, kita tidak puas. Karena sampai saat ini kami masih berpegang teguh pada pembelaan bahwa ini kejahatan korporasi, bukan kejahatan perseorangan. Maka seharusnya klien kami bebas. Karena untuk memproduksi obat pasti melibatkan perizinan yang dilakukan oleh PT, bukan perseorangan,” katanya.