Sikap Gereja Dibutuhkan Menanggapi Persoalan Keadilan hingga Pelanggaran HAM
Gereja harus hadir menjadi terang dalam situasi yang mendung, berpikir bangsa ini dalam konteks kepentingan semua. Gereja perlu memberi warna dalam persoalan keadilan dan HAM.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Sikap gereja sangat dibutuhkan menanggapi persoalan keadilan, pelanggaran hak asasi manusia, hingga demokrasi. Tidak hanya di mimbar hari Minggu, tetapi juga bergerak melakukan aksi nyata.
Hal itu terungkap dalam Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) 2023 di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (9/11/2023).
Dalam salah satu diskusi panel terkait hukum, PGI menghadirkan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur dan Yunita Christin dari Bagian Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional HAM.
Ketua Steering Committee KGM PGI Albertus Patty mengungkapkan, acara ini dilaksanakan sebagai bentuk sikap gereja menanggapi persoalan bangsa. Persoalan bangsa tidak hanya yang dihadapi pemerintah, tetapi juga semua lapisan masyarakat, termasuk gereja-gereja di Indonesia.
”Gereja harus berpikir lebih besar dari kepentingan diri sendiri dan kelompok. Gereja harus berpikir bangsa ini dalam konteks kepentingan semua,” ungkap mantan Ketua PGI tersebut.
Albertus menuturkan, saat ini Indonesia, bahkan dunia, sedang tidak baik-baik saja. Indonesia menghadapi konflik dan persoalan sosial, politik, hingga ekonomi. Rencana untuk menjadi negara yang lebih baik tahun 2024 menyambut bonus demografi ada di jalan terjal.
”Dalam persoalan itu, manusia menjadi putus asa. Gereja harus hadir menjadi terang dalam situasi yang mendung itu,” katanya.
Ia menambahkan, dalam KGM, pihaknya mengambil beberapa tema, yakni geopolitik, ekologi dan perubahan iklim, hingga kepastian hukum dan HAM. ”Gereja perlu memberi warna dalam persoalan keadilan dan memberikan kontribusi positif,” katanya.
Yunita Christin mengatakan, selama ini gereja telah bergerak dan mengambil sikap dalam persoalan keadilan dan tantangan HAM di Indonesia dengan berbagai cara. Salah satunya, berkoalisi dengan lembaga-lembaga lain.
”PGI selama ini bergerak, tetapi bersama koalisi yang lain, contohnya dalam isu di Papua, lalu persoalan isu perempuan. Meski pengaduan secara individu belum, PGI bergerak bersama koalisi, ini yang penting,” ucap Yunita.
Ke depan, ia menambahkan, gereja perlu konsisten angkat bicara dalam segala persoalan HAM di Indonesia. Angkat bicara itu tidak hanya dalam hal pelaporan atau pengaduan ke Komnas HAM atau lembaga hukum, tetapi juga aksi-aksi nyata.
”Aksi nyata tidak hanya di mimbar hari Minggu, tetapi juga bergerak. Apabila menemukan kasus kriminalisasi juga perlu untuk melakukan pelaporan dan pengaduan,” katanya.
Isnur menyampaikan hal serupa. Menurut dia, gereja harus membuat prioritas dan mengedepankan persoalan hukum, HAM dan demokrasi menjadi masalah utama yang dibahas.
Bahkan, katanya, jemaat bisa diarahkan untuk terlibat dalam perubahan, seperti lewat media sosial. Mereka bahkan bisa diajak menjadi pendengung demokrasi dan persoalan kemanusiaan.
”Gereja harus sepakat kalau ini persoalan utama, karena ini sumber utama masalah kehancuran bangsa ini,” ujar Isnur.
Dalam KGM itu juga dibahas persoalan mulai dari konflik di Papua hingga konflik di Seruyan yang menewaskan salah seorang anggota masyarakat adat dari komunitas adat Bangkal. ”Selama persoalan hukum, HAM, dan demokrasi dipelihara, bangsa ini di ujung tanduk menuju kehancuran,” katanya.