Sejarah Persaudaraan Tionghoa-Jawa Diabadikan Jadi Museum Rembang
Udaya Halim, pendiri Museum Benteng Heritage, merestorasi sebuah bangunan berusia lebih dari 200 tahun di Rembang, Jateng, dengan dana pribadinya. Restorasi itu untuk mengabadikan sejarah persaudaraan Tionghoa-Jawa.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
REMBANG, KOMPAS — Sebuah bangunan berusia lebih dari 200 tahun di Desa Sumberjo, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, direstorasi selama lima tahun terakhir dan diresmikan pada Sabtu (11/11/2023). Menurut rencana, bangunan itu akan dijadikan museum untuk mengabadikan sejarah persaudaraan masyarakat Tionghoa dan Jawa di wilayah tersebut.
Bangunan tua tersebut merupakan kepunyaan Bhante Sri Mahathera Pannavaro, kerabat pendiri Museum Benteng Heritage, Udaya Halim. Udaya mengatakan, restorasi itu dilakukan mulai tahun 2018 setelah selama ratusan tahun bangunan tersebut terabaikan.
”Restorasi dilakukan untuk mengembalikan bangunan ini ke masa-masa sewaktu masih memberikan kebanggaan bagi masyarakat setempat. Sebagai seorang pencinta kebudayaan, saya mengatakan budaya merupakan perekat bangsa yang kuat karena budaya itu seperti air dan udara, tidak ada batasnya,” kata Udaya di sela-sela acara peresmian di Rembang, Sabtu.
Peresmian hasil restorasi itu dilakukan tepat pada tanggal 11, bulan 11, pukul 11 lebih 11 menit. Waktu itu sengaja dipilih oleh Udaya karena angka-angka tersebut menjadi simbol perdamaian. Tanggal 11 bulan 11 juga merupakan waktu berakhirnya perang dunia pertama, 1918 lalu.
Pada 11 Oktober 1740, benteng Belanda yang terletak di kawasan Pecinan Tangerang dan kini terletak Museum Benteng Heritage diserang oleh masyarakat Tionghoa. Serangan itu merupakan bentuk balasan atas kekejaman Belanda yang telah membantai lebih dari 10.000 warga Tionghoa di Batavia, sehari sebelumnya.
Karena jumlah senjata dan kekuatan yang tidak berimbang, ditambah dengan adanya bantuan dari penguasa setempat saat itu yang memihak Belanda, masyarakat Tionghoa menjadi tidak berdaya. Mereka akhirnya lari menyelamatkan diri ke arah timur Pulau Jawa, yakni Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Jepara, Pati, Kudus, Rembang, dan Tuban. Di kawasan-kawasan itu, mereka mendapat dukungan penuh dari penduduk Jawa di sepanjang pantura tersebut.
”Suatu kebetulan yang luar biasa ini wajib kami abadikan dengan menjadikan bangunan ini sebagai Museum Liem Heritage. (Bangunan ini merupakan) saksi bisu sejarah persaudaraan serta perjuangan masyarakat Jawa bersama masyarakat Tionghoa melawan penjajah Belanda,” tutur Udaya.
Restorasi bangunan itu dilakukan oleh Udaya menggunakan dana pribadinya. Untuk itu, perkembangannya disesuaikan dengan kemampuan perekonomian Udaya. ”Kalau memang kondisi ekonomi saya (sedang) seret, maka ya sudah, pelan-pelan,” ucapnya.
Suatu kebetulan yang luar biasa ini wajib kami abadikan dengan menjadikan bangunan ini sebagai Museum Liem Heritage.
Apa yang dilakukan oleh Udaya diapresiasi oleh sejarawan asal Inggris, Peter Carey. Kala pertama datang, lima tahun lalu, Peter menggambarkan kondisi bangunan itu sebagai rumah kelelawar. Hal itu karena rumah tersebut gelap, pengap, dan penuh dengan kelelawar.
”Hari ini saya melihat bangunan itu seperti disihir menjadi terang, luas, dan suasananya menjadi sangat menyenangkan. Bangunan ini betul-betul bisa dipakai untuk tempat bertemu para komunitas dan bisa membangkitkan budaya. Sebab, tanpa budaya, tidak ada DNA bangsa,” ucap Peter.
Menurut Peter, budaya bukan sekadar benda mati dan puing-puing dari salah satu adegan, melainkan sesuatu yang dari hari ke hari harus dikerjakan dan betul-betul dihidupkan. ”Roh dan jiwa budaya adalah kreativitas. Dan, orang-orang Indonesia sangat kreatif serta punya kekhasan, selalu membuat sesuatu yang baru,” ujarnya.
Peter menyarankan adanya hilirisasi budaya. Salah satu contohnya adalah merayakan budaya.
Tamparan sayang
Sementara itu, Wakil Bupati Rembang Mochamad Hanies Cholil Barro juga mengapresiasi upaya Udaya dalam merestorasi bangunan itu dengan dana pribadinya. Menurut Hanies, apa yang dilakukan Udaya merupakan tamparan sayang bagi Pemerintah Kabupaten Rembang.
”Saya merasa diingatkan. Ini akan jadi motivasi bagi kami untuk turut serta melestarikan kebudayaan ke depan. Kami juga mengapresiasi rencana Pak Udaya untuk menjadikan bangunan ini sebagai Liem Heritage. Semoga ini bisa bermanfaat bagi masyarakat secara luas,” kata Hanies.
Ke depan, Hanies berkomitmen akan turut membantu dalam memublikasikan dan mempromosikan Liem Heritage kepada masyarakat. Masyarakat atau kelompok masyarakat yang ingin merestorasi bangunan cagar budaya ataupun melestarikan cagar budaya diharapkan Hanies bisa berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Rembang sehingga pihaknya bisa turut membantu.