Tantangan Optimalkan Kekayaan Alam ”Bumi Raflesia”
Memasuki HUT ke-55, Provinsi Bengkulu menghadapi tantangan mengoptimalkan kekayaan alam. Berbagai terobosan sangat dinanti untuk melecut kesejahteraan masyarakat di ”Bumi Raflesia”.
Kekayaan alam Bengkulu terentang di kawasan hutan nan luas hingga hamparan laut nan kaya. Beragam potensi sumber daya alam dimiliki. Namun, provinsi berpenduduk 2,06 juta jiwa itu masih tersandung label sebagai daerah miskin di Sumatera.
Jumlah penduduk miskin di Bengkulu mencapai 288.460 jiwa atau 14 persen. Persentasenya menjadi terbesar kedua di Sumatera, setelah Aceh. Ini sesuai data Badan Pusat Stastistik (BPS) Bengkulu, Maret 2023.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bengkulu Kamaludin berpendapat, Bengkulu belum mengalami kemajuan signifikan selama satu dekade terakhir. Bahkan, ia menilai perekonomian Bengkulu justru tertinggal dibandingkan provinsi lain di Sumatera yang lebih muda, seperti Kepulauan Riau yang baru berusia 21 tahun dan Bangka Belitung yang berusia 23 tahun.
”Ini bisa dilihat dari pembangunan di daerah. Bangka Belitung atau Kepulauan Riau jauh lebih maju. Di sana, sudah banyak hotel berbintang. Sektor pariwisatanya juga berkembang,” kata Kamaludin, di Bengkulu, Rabu (15/11/2023).
Dari sisi APBD, pendapatan Bengkulu dinilai masih rendah sehingga anggaran untuk pembangunan daerah tidak optimal. Tahun 2023, APBD Perubahan Bengkulu tercatat Rp 2,96 triliun. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan dengan APBD Kepulauan Riau yang tercatat Rp 4,45 triliun. ABPD Provinsi Bengkulu juga setara dengan hanya satu kabupaten di Sumsel, yakni Musi Banyuasin.
Menurut Kamaludin, lambatnya pembanguan di Bengkulu tidak semata-mata terjadi karena faktor aksesibilitas yang sulit. Ia menilai penyebabnya belum ada terobosan kebijakan pemerintah daerah yang dapat menghasilkan lompatan bagi kemajuan Bengkulu. Pergerakan ekonomi di Bengkulu selama ini lebih banyak terjadi secara alami.
Provinsi Bengkulu seluas hampir 1 juta hektar. Dari luas itu, 70 persen berupa hutan, yakni hutan suaka alam, yakni 448.551, dan hutan lindung 253.178 hektar.
Selain luasnya hutan, wilayah itu juga punya potensi kelautan yang menjanjikan. Sebab, Bengkulu yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia mempunyai wilayah laut seluas 12.335 kilometer persegi dengan garis pantai sepanjang 525 kilometer.
Kawasan pesisir di Bengkulu membentang dari wilayah utara hingga selatan. Enam kabupaten dan satu kota di Bengkulu berada di pesisir. Sementara tiga kabupaten lainnya menempati pegunungan. Luasnya daratan dimanfaatkan menjadi perkebunan kelapa sawit, karet, dan kopi.
Baca juga : Tol Bengkulu-Taba Penanjung Bebaskan Bengkulu dari Isolasi Ekonomi
Pada triwulan III tahun 2023, BPS mencatat perekomian tahunan Bengkulu tumbuh 3,96 persen dengan besaran produk domestik regional bruto (PDRB) mencapai Rp 23,76 triliun. Struktur perekonomian Bengkulu didominasi lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 28,9 persen; diikuti perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 14,4 persen, serta transportasi dan pergudangan sebesar 9,06 persen.
Namun, laju pertumbuhan PDRB di tiga sektor penopang utama ekonomi Bengkulu masih tergolong kecil, hanya 2,76 persen secara tahunan. Ini lebih rendah dibandingkan beberapa sektor lain, di antaranya sektor penyediaan akomodasi yang tumbuh 10,05 persen serta sektor informasi dan komunikasi yang tumbuh 9,91 persen.
Harus ada hilirisasi produk untuk memberikan nilai tambah dan membentuk ekosistem ekonomi terpadu sehingga perekonomian di Bengkulu lebih kuat.
Menurut Kamaludin, semestinya ada rancangan besar pengembangan ekonomi Bengkulu dari sektor utamanya yang terdiferensiasi membentuk sektor baru. Hasil dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menjadi bahan baku sektor perindustrian. Selanjutnya, hasil dari sektor perindustrian menjadi barang utama sektor perdagangan. ”Harus ada hilirisasi produk untuk memberikan nilai tambah dan membentuk ekosistem ekonomi terpadu sehingga perekonomian di Bengkulu lebih kuat,” ujar Kamaludin.
Di sektor pariwisata, kekayaaan alam berupa pantai, ombak, gunung, hingga bunga raflesia yang menjadi ikon Bengkulu menjadi daya tarik yang dapat dijual kepada wisatawan domestik dan mancanegara. Pengembangan pariwisata itu tentu harus ditopang dengan aksesilibitas dan berbagai acara festival untuk menarik wisatawan dari luar daerah.
”Dibutuhkan jalan tol dari Bengkulu menuju Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, sehingga aksesnya menjadi lebih cepat,” katanya.
Secara faktual, perekonomian Bengkulu masih bergantung pada industri ekstraktif, terutama industri perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Hal itu berpotensi mengakibatkan deforestasi dan merusak lingkungan. Ikhtiar untuk mengejar pertumbuhan ekonomi menjadi tidak optimal karena risiko bencana juga tinggi. Industri tersebut juga tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Bengkulu.
Baca juga : Jalan Tol Mendekatkan Wisatawan dengan ”Bumi Raflesia”
M Firdaus (40), warga Kota Bengkulu, berpendapat, kondisi infrastruktur jalan di Kota Bengkulu sudah lebih baik dibandingkan 5-10 tahun lalu. Usaha mikro, kecil, dan menengah juga berkembang cukup pesat.
Kendati begitu, Firdaus merasa kemajuan di Bengkulu belum sepesat daerah lain di Sumatera. Lapangan pekerjaan di perkotaan juga masih terbatas.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bengkulu Yuliswani menuturkan, pemerintah daerah telah berupaya merancang berbagai program untuk memajukan sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan di Lampung. Di sektor pertanian, Pemerintah Provinsi Bengkulu memberikan bantuan bibit dan alat-alat pertanian untuk mendukung usaha pertanian.
Tengah dibangun pula pelabuhan perikanan nusantara di Kabupaten Seluma dengan bantuan dari pemerintah pusat. Pelabuhan tersebut ditargetkan selesai pada 2024 dan dapat mendukung usaha nelayan.
Pemerintah juga mendorong investor membangun industri pengolahan sawit dan ikan di Bengkulu. Sementara di sektor kehutanan, pemerintah mendampingi petani hutan untuk mendapatkan izin perhutanan sosial.
Yuliswani tak menampik, keterbatasan anggaran daerah menjadi hambatan dalam pembangunan di Bengkulu. Karena itulah, Pemprov meminta dukungan dari pemerintah pusat untuk pembangunan infrastruktur dan proyek strategis lainnya. Pemerintah juga berupaya menjalin komunikasi dan menarik investor.
”Kami memberikan kemudahan berinvestasi dengan membuat layanan perizinan secara online dan terpadu. Ini merupakan salah satu cara pemerintah daerah membuka diri agar ada masyarakat yang mau berinvestasi,” katanya.
Baca juga : Kota Bengkulu: Dari ”Bumi Raflesia” hingga Tempat Pengasingan Soekarno
Ia menambahkan, Pemprov berkomitmen melaksanakan pembangunan berkelanjutan sesuai arahan dari Bappenas dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebagai daerah pesisir, Bengkulu siap berkontribusi meningkatkan zona sabuk hijau lewat penanaman mangrove. Selain itu, para petani didorong untuk menggunakan pupuk organik.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu Abdullah Ibrahim Ritonga menilai, belum ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah daerah untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam di Bengkulu dilakukan secara berkelanjutan. Selama ini, aktivitas pertambangan dan industri perkebunan sawit di Bengkulu cenderung menimbulkan kerusakan lingkungan dan infrastruktur jalan di Bengkulu.
Dari hasil kajian Walhi, ada sekitar 86.000 hektar area pertambangan berbagai komoditas, seperti batubara dan emas, yang dikelola puluhan perusahaan di Bengkulu. ”Kalau kami kaji lebih dalam, pemerintah lebih banyak mengeluarkan anggaran daerah untuk infrastruktur jalan. Sementara banyak perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan royalti pada daerah dan memulihkan ekosistem,” kata Ibrahim.
Eksplorasi sumber daya alam yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan tersebut pada akhirnya memicu bencana ekologi, seperti banjir dan longsor, di Bengkulu. Pada 2019 dan 2022, sejumlah kabupaten yang menjadi sentra perkebunan sawit dan pertambangan diterjang bencana banjir hingga tanah longsor pada musim hujan.
Di kawasan pesisir, setidaknya ada 180 desa di pinggir laut yang rentan abrasi dan gelombang tinggi. Perubahan iklim secara ekstrem membuat tingkat kerawanan bencana di Bengkulu semakin tinggi.
Walhi Bengkulu juga menyayangkan upaya pemerintah daerah yang mengusulkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan seluas 122.419 hektar pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ia khawatir, perubahan fungsi kawasan hutan itu akan memicu bencana ekologi yang lebih buruk di Bengkulu.
Pada ulang tahun ke-55 ini, banyak hal yang perlu dibenahi dalam pengembangan potensi alam di Bengkulu. Semua demi satu tujuan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bengkulu.