Mantra Dukun Politik Cirebon dan Pentingnya Melek Literasi
Pemilihan kuwu di Cirebon menampilkan ritual ”ngobong menyan”, dukun politik. Modal sosial kandidat pun jadi perhatian.
Pemilihan kuwu 2023 di Cirebon, Jawa Barat, menampilkan strategi politik dengan balutan tradisi. Ritual ngobong menyan, dukun politik, dan modal sosial kandidat menjadi perhatian. Rasidin, tukang es teh, terpilih menjadi kuwu dengan kebaikan yang ia tanam selama ini. Pesannya penuh makna untuk kontestasi politik akbar 2024.
Di tengah gelap malam, sedikitnya 30 pria berpakaian serba hitam duduk berkumpul. Mereka lalu membakar kemenyan di atas mangkuk gerabah berisi arang.
Asapnya mengepul, menguarkan aroma menusuk hidung. Memejamkan mata, pria paruh baya itu komat-kamit merapal mantra. Jemari keriputnya tidak henti menggerakkan biji tasbih.
Tiada senyum, apalagi tertawa saat mantra itu dilepaskan. Mereka berusaha keras menjaga konsentrasi. Ketika api mulai mengecil, mereka dengan cepat menabur kemenyan.
Wushhhhh!!!, api kembali membara. Bau kemenyan kembali tercium.
Baca juga: Lebih Rawan dari Pemilu, Pemilihan Kepala Desa di Cirebon Dijaga 3.600 Aparat
Bukan hanya kemenyan, mereka juga membakar kain dan kapas putih di piring gerabah berisi minyak kelapa. Sesajen berupa buah, ikan, hingga daging ayam kampung ada di sana.
Selain itu, di dekat para pria sepuh itu juga sengaja dipajang kursi ”keramat” dengan segala atributnya. Konon katanya kursi milik salah satu kuwu atau kepala desa. Usia kursi disebut berusia lebih dari 100 tahun.
Ritual malam itu tidak sedang memanggil setan, apalagi pesugihan. Para lelaki tua itu sedang menggelar ritual ngobong menyan atau bakar kemenyan dalam rangka pemilihan kuwu (pilwu) di Desa Suranenggala, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, Sabtu (21/10/2023).
Tahun ini, pilwu dilakukan serentak di 100 desa di Cirebon. Prosesnya dimulai 21 Juli dengan penetapan desa yang menggelar pilwu hingga 27 Desember saat kuwu terpilih dilantik.
Total ada 334 orang yang berebut kursi kuwu. Salah satunya adalah Rasidin. Malam itu, rumah Rasidin menjadi salah satu tempat digelarnya acara ngobong menyan itu.
Tidak ada data pasti, ngobong menyan biasa dilakukan setiap pilwu digelar di Cirebon. Pelakunya disebut pengobong atau kerap disebut sebagai dukun yang beraksi untuk calon kuwu. Dukun harus memastikan api bakaran kemenyan tidak mati.
”Kalau mati, calonnya enggak menang. Makanya kami harus melek sampai penghitungan selesai besok sore. Kami berdoa supaya sesepuh dan leluhur bisa melindungi calon kuwu ini,” kata Suma (66), salah satu dukun.
Kekeringan
Leluhur yang dimaksud Suma adalah Sunan Gunung Jati dan Mbah Kuwu Cirebon yang merupakan pemimpin dan pendiri Cirebon beberapa abad silam. Sebagai jembatan harapan itu adalah bau kemenyan yang disimbolkan sebagai wangi yang menerangi.
Batang beringin yang menempel di belakang kursi ”keramat” juga meninggalkan pesan. Keberadaannya menggambarkan sifat pengayom.
Sementara pohon kelapa menunjukkan pemimpin harus bermanfaat dan batang tebu artinya pemimpin membuat nasib masyarakat terasa manis.
Menurut Suma, ritual itu juga bertujuan melindungi calon kuwu dari berbagai hal buruk. Demi itu, Suma dan dukun lainnya rela tidak tidur sehari semalam demi mendukung Rasidin yang masih kerabatnya.
”Enggak ada bayaran. Kalau saya, yang penting keluarga sukses, enggak mengecewakan,” katanya.
Saat menjadi dukun untuk Narisa, Kuwu Suranenggala Kidul terpilih dua tahun lalu, misalnya, ia juga tak memungut bayaran. Namun, dia mengakui menerima tanah yang diberikan padanya.
”Saya ditunjuk jadi aparat desa, tetapi enggak mau karena saya sudah tua. Anak muda saja. Saya akhirnya dikasih (sewa) sawah desa 2 hektar,” ujar Suma yang mengaku juga masih keluarga Narisa. Sebelumnya, ia hanya mengolah lahan sekitar 0,5 hektar.
Namun, musim tanam kali ini, kata dia, hasilnya tidak ideal. Dia hanya meraup 2,5 ton gabah kering giling per hektar atau hanya setengah dari kondisi normal.
Penyebabnya kekeringan, masalah yang sudah terjadi meski kuwu berganti berkali-kali di Suranenggala. Keampuhan ritualnya belum bisa membantu menyelamatkan panen, memudahkan pasokan air, hingga menurunkan harga pupuk dan pestisida yang melambung tinggi.
”Inginnya setiap ada kuwu baru, masalah pengairan bisa diselesaikan. Harga pupuk dan obat (pestisida) juga mahal,” ucap bapak 12 anak dan 13 cucu ini penuh harap.
Strategi politik
Prosesi membakar kemenyan ini sejatinya lebih dari sekadar pertunjukan. Praktik itu juga bukan melulu hal gaib.
Kehadirannya justru disebut sebagai strategi terencana yang ampuh menggalang perhatian massa. Saat kampanye pilwu, meski kerap disebut irasional, cara itu ampuh dan bertahan sejak lama. Saking manjurnya, keterlibatan disebut tradisi yang harus dirawat oleh pelaku dan penikmatnya.
Antropolog dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Ade Makmur Kartawinata, berpendapat, setidaknya empat tahap utama yang dianggap bisa menarik minat warga saat ngobong menyan. Hal itu adalah inisiasi, menjajaki, meningkatkan, dan menyatupadukan.
Saat inisiasi, lanjut Ade, ritual dipersiapkan sedemikian rupa. Bahan-bahan kemenyan, bara, hingga aroma yang khas dipertimbangkan matang.
”Ada ekspresi simbolik unjuk kemampuan saat dukun menjaga bara api yang disambut impresi penontonnya. Impresi itu potensial menyebar ke khalayak lebih luas,” ujarnya.
Selanjutnya masuk proses menjajaki, dukun biasanya mencoba menarik perhatian penonton dengan kemampuannya memainkan api dan menyebarkan aroma yang ada. Menurut Ade, dukun yang lihai dengan persiapan di awal akan mendapatkan keunggulan.
Masyarakat diharapkan mampu berpikir secara logis dalam menentukan pilihan dan tidak hanya mengandalkan emosi.
Penonton yang mulai larut dalam suasana menunjukkan ritual masuk ke dalam tahap meningkatkan. Panca indera mereka mulai terpengaruh. Hidung tergelitik aroma tajam. Mata sulit lepas dari kobaran. Konsentrasi penonton saat itu sudah benar-benar fokus.
Akhirnya, dalam tahap menyatupadukan, para penonton merasakan impresi dari dukun dan pemimpin yang didukung. Segala atraksi dan pesan yang dibawa akan menjadi buah bibir.
Keberadaan ritual tradisional seperti ini, lanjut Ade, akan tetap langgeng di tengah masyarakat semi-industri dan agraris. Meskipun tidak ketinggalan dari teknologi informasi, masyarakat ini tetap memegang teguh tradisi leluhur.
Bahkan, masyarakat lantas menafsirkan tradisi ini sesuai perkembangan zaman. Menurut Ade, hal ini bisa dilihat dari bagaimana masyarakat merasionalkan ritual ini dengan narasi-narasi yang ada di luar mistis dan klenik yang melingkupinya.
Akan tetapi, di mata sosiolog Unpad, Ari Ganjar Herdiansah, fenomena dukun itu menjadi secuil fakta belum idealnya akses informasi dan literasi warga saat harus menentukan pilihan politik. Akibatnya, jika tidak mengenal langsung calon yang berkontestasi, warga rentan memilih tanpa arah.
Ujungnya, di tengah keterbatasan pilihan, fenomena supranatural bisa jadi alternatif memilih. Praktik dukun, misalnya, dijadikan salah satu sandaran.
Lihat juga: Ritual Membakar Kemenyan Warnai Pemilihan Kuwu di Cirebon
Akibatnya, warga bakal menganggap dukun layaknya konsultan politik. Benar atau salah tentang calon yang maju tidak penting lagi saat dukun sudah bersabda.
”Ini bisa dijadikan pelajaran untuk menghadapi kontestasi lebih tinggi dari pilwu. Penting meningkatkan literasi politik masyarakat agar bisa dengan jernih memilih para calon. Informasi tentang mereka harus digelontorkan sebanyak-banyak agar menjadi bekal yang ideal kelak,” katanya.
Penguatan literasi
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho menyebut, lemahnya literasi fatal dalam berbagai kontestasi pemilihan politik. Masyarakat rentan mengandalkan hal emosional ketimbang mencari tahu lebih banyak tentang program para calon. Adu gagasan yang diharapkan bakal memberi solusi bagi beragam masalah berpotensi tidak efektif.
Praktik ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Septiaji menyebut, negara sebesar Amerika Serikat masih terjebak dalam hal emosional dalam berdemokrasi.
Dia mencontohkan, insiden di Gedung Capitol pada 6 Januari 2021. Kala itu, massa pendukung Donald Trump mencoba merangsek masuk ke dalam gedung legislatif.
Kerusuhan ini terjadi karena massa menolak hasil pemilihan umum pada November 2020, di mana Joe Biden menjadi pemenang. Mereka ngototmengklaim ada kecurangan dalam pemilihan.
”Tragedi itu bahkan menimbulkan korban jiwa. Ini menunjukkan masyarakat di negara maju seperti Amerika Serikat juga bisa terpapar narasi-narasi yang menggerakkan emosi,” ujar Septiaji.
Ke depan, fenomena irasional dan sekadar melibatkan emosi tidak bisa dipandang sebelah mata, terutama jelang tahun politik 2024. Masyarakat diharapkan mampu berpikir secara logis dalam menentukan pilihan dan tidak hanya mengandalkan emosi semata.
“Perselisihan informasi bisa berujung provokasi jika mengandalkan emosi. Pemikiran irasional seperti ini sama saja dengan memercayai dukun tanpa mempertimbangkan kualitas para politisi,” ujarnya.
Akan tetapi, pilwu di Cirebon tidak hanya meninggalkan pekerjaan rumah bersama. Ada juga asa yang bisa menginspirasi bangsa.
Meninggalkan pelajaran
Di tengah berbagai permasalahannya, pemilihan kuwu juga meninggalkan pelajaran yang sudah ada berabad-abad silam. Menurut Zaenal Masduqi dalam bukunya, Cirebon, dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial (2011), pada masa kekuasaan Hindu, belum dikenal istilah kuwu. Kumpulan masyarakat masih di bawah Kawali Galuh.
Cirebon juga belum terlalu dikenal. Perubahan terjadi ketika Syekh Datul Kahfi menyebarkan Islam di sana sekitar abad ke-14. Cirebon menjelma salah satu pelabuhan terbesar di Jawa.
Kondisi ini tidak terlepas dari tokoh Ki Gede Alang-alang dan Ki Somadullah (Walangsungsang) yang membuka pedukuhan di Lemahwungkuk. Keduanya kemudian menjadi pemimpin atas apirasi warga. Artinya, pemimpin dipilih secara demokratis.
”Dalam Babad Negara Kretabhumi diceritakan ada seorang tokoh bernama Ki Pengalang-alang ditunjuk oleh warga Dukuh Pesambangan sebagai kuwu dan Ki Somadullah sebagai raksabumi (wakil kuwu). Tidak lama setelah itu, Dukuh Pesambangan dan Muara Jati berubah menjadi Kebon Pesisir dan kemudian berdirilah desa Cirebon di situ,” tulis Masduqi.
Pada masa Sunan Gunung Jati di abad ke-15, terdapat penataan pemerintahan, termasuk gelar jabatannya. Persekutuan masyarakat terkecil dengan maksimal 20 keluarga dipimpin oleh Ki Buyut. Beberapa unit kabuyutan dipimpin seseorang dengan gelar kuwu. Adapun pemimpin beberapa kuwu adalah Ki Gede, sedangkan sejumlah Ki Gede berada di bawah komando bupati atau adipati.
Terkait Pemilihan Kuwu ini, almarhum Nurdin M Noer, jurnalis yang juga pemerhati budaya Cirebon pernah mengatakan, pemilihan kuwu lebih riuh dan rawan dari pilpres karena sangat emosional. Warga dan calon kuwu sudah saling kenal. Itu sebabnya ketika jagoan warga tidak menang, muncul potensi ricuh.
Terlepas dari itu, katanya, pemilihan secara demokratis dengan satu orang satu suara sudah berlangsung di Cirebon sejak 1604. ”Cara ini lahir dari pemikiran masyarakat Cirebon yang lebih terbuka terhadap ide baru. Sebelumnya, penentuan kuwu berdasarkan garis keturunan,” kata Nurdin (Kompas, 7 November 2019).
Meski praktik dukun masih terjadi, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Cirebon Nanan Abdul Manan mengatakan, warga di sejumlah desa belakangan sudah berpikir lebih matang. Riuh ramai setiap pilwu digelar membuat warga kian melek cara berdemokrasi.
Tahun ini, misalnya, banyaknya petahana yang “tumbang”. Dari 55 petahana yang berkontestasi di pilwu, hanya 21 yang terpilih. Kiprah Rasidin si tukang es teh terbilang paling fenomenal.
Strategi politik Rasidin memang masih dibantu dukun. Namun, terlepas dari itu, dia sudah membuktikan uang dan keturunan tidak selamanya ampuh menarik minat pemilih. Kebaikan yang ia tanam sepertinya jauh lebih sakti ketimbang wangi kemenyan.