Dua Tahun Macet Parah, Mobilitas di Pantura Timur Jateng Terganggu
Masyarakat dan pengguna jalan di kawasan pantura Pati dan Rembang merana karena macet yang terjadi dua tahun terakhir akibat perbaikan jalan. Solusi lain untuk mengurangi beban jalan raya mulai dipikirkan.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·5 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Selama lebih kurang dua tahun terakhir, masyarakat dan pengguna jalan di kawasan pantura timur Jawa Tengah mengeluhkan adanya perbaikan jalan yang memicu kemacetan parah di wilayah Pati dan Rembang. Kondisi itu tak hanya mengganggu mobilitas orang, tetapi juga mobilitas barang.
”Saya sebagai pengendara merasa rugi waktu. Perjalanan dari Semarang ke Rembang yang normalnya tiga jam sekarang bisa sampai lima jam atau lebih,” kata Andre (28), warga Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, saat dihubungi, Jumat (24/11/2023).
Andre yang setiap dua minggu sekali melakukan perjalanan Rembang-Semarang itu juga mengaku capek karena harus menempuh perjalanan memutar yang jaraknya lebih jauh. Biasanya, Andre memilih melintasi jalan-jalan kampung. Sayangnya, banyak pengendara yang juga mengambil keputusan sama demi menghindari kemacetan. Akibatnya, kepadatan lalu lintas justru berpindah ke jalan-jalan alternatif tersebut.
”(Selain macet), jalan-jalan alternatif juga banyak yang rusak. Sebab, kendaraan-kendaraan yang seharusnya lewat pantura jadi harus lewat jalan-jalan itu,” ucapnya.
Andre berharap perbaikan jalan yang dilakukan pemerintah bisa segera diselesaikan. Selain itu, kualitas jalan yang baru juga diharapkan Andre lebih diperhatikan. Sebab, di sejumlah titik di Kecamatan Batangan, jalan beton yang belum satu tahun rampung diperbaiki sudah kembali rusak. ”Jangan asal cepat saja, tapi perhatikan juga kualitasnya,” ujar Andre.
Selain mengganggu mobilitas orang, kemacetan di pantura Pati dan Rembang itu juga menghambat mobilitas barang. Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia Jateng-Daerah Istimewa Yogyakarta Bambang Widjanarko menyebut, pengusaha ataupun sopir truk sudah pasrah dengan kondisi yang ada.
”Ritasenya mati. Truk yang biasanya bisa empat sampai enam kali pergi-pulang dari Jakarta ke Surabaya, sekarang cuma bisa 2-3 kali pergi-pulang dalam waktu satu minggu,” ujar Bambang.
Menurut Bambang, pengusaha truk dan sopir juga mesti menanggung kerugian jika barang yang diangkutnya rusak di jalan akibat terjebak macet. Setiap satu hari terlambat, satu armada bisa kehilangan sekitar Rp 1 juta. ”Itu kalau saya punya 100 truk, yang terjebak macet 25 unit, lalu terjebak macetnya dua hari, sudah rugi Rp 50 juta saya,” katanya.
Pada masa-masa awal macet, sekitar dua tahun lalu, banyak pengusaha yang disebut Bambang merugi karena barang mereka rusak atau busuk di jalan. Kini, sebagian besar sopir dan pengusaha sudah memilih untuk melalui jalur memutar. Kendati jaraknya lebih jauh dan berpotensi memotong keuntungan, cara itu tetap dipilih.
”Prinsipnya, kami lebih baik kehilangan profit daripada harus ganti rugi barang yang rusak. Kalau misal mau memaksa lewat pantura dan barangnya rusak, kami ruginya dobel,” tutur Bambang.
Bambang berharap pemerintah segera memikirkan solusi konkret atas persoalan tersebut. Dengan begitu, masyarakat dan pengusaha tidak terus-terusan merugi.
Tujuh paket
Kepala Bidang Preservasi I Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) Iqbal Tamher mengatakan, perbaikan jalan pantura di wilayah Pati dan Rembang merupakan proyek multi-tahun yang dimulai pada 2022 dan direncanakan berakhir pada April 2024. Dalam proyek tersebut, ada tujuh paket pekerjaan yang tersebar, mulai dari wilayah pantura barat Jateng yang berbatasan dengan Jawa Barat hingga pantura timur Jateng yang berbatasan dengan Jawa Timur.
”(Perbaikan jalan) yang paling besar volumenya memang tahun ini. Apa yang kami takutkan mengenai adanya kemacetan pada tahun ini memang terbukti. Tapi, memang jalan ini harus diperbaiki, tidak ada pilihan lain,” kata Iqbal.
Iqbal mengakui, masih ada kekurangan dalam perawatan detour atau jalan pengganti yang dikhususkan untuk kendaraan berat di sekitar lokasi jalan yang sedang diperbaiki. Hal itu sempat membuat tiga kendaraan berat mengalami insiden, mulai dari patah as roda, mogok, hingga terguling. Kondisi itu pun sempat membuat kemacetan bertambah parah.
”Kami sudah melakukan evaluasi dan sekarang ini sudah berangsur lancar. Kami menargetkan, awal minggu pertama Desember, jalan-jalan itu sudah bisa dilalui secara fungsional,” ujarnya.
Menurut Iqbal, kapasitas jalan saat ini sudah tidak seimbang dengan jumlah kendaraan yang ada. Dalam kondisi normal, kepadatan lalu lintas sering kali terjadi. Kepadatan menjadi kian parah ketika ada perbaikan jalan seperti yang terjadi saat ini. Untuk itu, Iqbal mengharapkan lalu lintas logistik tidak semuanya dibebankan kepada jalan raya.
Pada Jumat siang, di Kota Semarang, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI bersama sejumlah pihak terkait menggelar rapat koordinasi untuk menangani persoalan kemacetan di wilayah pantura timur Jateng tersebut. Dalam rapat tersebut mengemuka gagasan untuk mengoptimalkan moda kereta api dan kapal laut sebagai sarana mobilitas barang.
”Kalau mau menggunakan kereta api, jalurnya sudah siap, infrastrukturnya juga sudah ada, tetapi kebijakannya belum mendukung. Ada perbedaan yang jauh sekali mengenai biaya operasional, jadi tidak bisa bersaing. Kalau pakai truk, itu bahan bakarnya disubsidi, kalau kereta api tidak,” ucap anggota DPD Jateng, Abdul Kholik.
Ke depan, Kholik bertekad bakal menyurati PT Kereta Api Indonesia agar ada alokasi subsidi untuk pengiriman barang. Sementara DPD RI Jateng juga disebut Kholik akan menyurati Kementerian Perhubungan agar bisa kembali mengaktifkan tol laut dari Lampung menuju Semarang.
”Kalau dua moda ini dioptimalkan, saya yakin beban jalan raya pantura ini bisa dikurangi. Berdasarkan data dari BBPJN, jalan-jalan yang dilewati oleh truk barang yang sarat muatan bisa merusak jalan. Padahal, dalam setahun, kerugian yang harus dialami BBPJN akibat kerusakan jalan di pantura Jateng ini lebih kurang Rp 20 triliun,” tutur Kholik.