Menggaungkan Produk Turunan Pala Sekaligus Menjaga Identitas Fakfak
Generasi muda di Fakfak diharapakan mulai mengembangkan produk turunan dari pala. Bukan saja untuk ekonomi semata, melainkan juga ikhtiar menjaga identitas Fakfak sebagai ”Kota Pala”.
FAKFAK, KOMPAS — Sudah sejak dulu pala menjadi komoditas dagang unggulan masyarakat Fakfak, Papua Barat. Namun, penjualan komoditas ini dianggap belum memberikan dampak kesejahteraan optimal bagi masyarakat.
Perlu ada gerakan swadaya mengajak masyarakat, khususnya generasi muda, untuk menghasilkan produk turunan pala sebagai nilai tambah. Terlebih, hal itu sekaligus sebagai ikhtiar menjaga identitas Fakfak sebagai ”Kota Pala”.
Hingga saat ini, pala Fakfak yang disebut juga sebagai ”pala negeri” atau henggi dalam bahasa lokal, yang begitu berjaya pada masa kolonial, masih tetap menjadi komoditas andalan di perkebunan rakyat milik petani lokal. Selama ini, pala lebih banyak dijual mentah dari hasil panen dua kali setahun.
Padahal, ada potensi lebih dari nilai tambah, jika melihat geliat berbagai produk turunan pala, seperti aromaterapi, kosmetik, dan makanan olahan. Namun, produk turunan tersebut justru lebih banyak dikembangkan dan dihasilkan di luar Fakfak.
Baca juga: Pala Fakfak yang Menghidupi
”Kitong di Papua ini, kadang tunggu satu orang tampil, baru yang lain mau ikut. Padahal, kita ini punya semua potensi yang dibutuhkan,” kata pegiat penggerak produk kreatif dari pala Fakfak, Mahdi Mahsyar Bauw, di Fakfak, Selasa (28/11/2023).
Mahdi merasa ada keraguan dari masyarakat, khususnya generasi muda, dalam memulai usaha komoditas yang memiliki nama latin Myristica argentea Warb tersebut. Dengan begitu, dia merasa perlu ada gerakan untuk mengajak generasi muda guna mengembangkan berbagai produk turunan pala itu.
Lewat Yayasan Saboban Onin Maju yang dirintis sejak 2018, Mahdi mulai mengembangkan sejumlah produk unggulan pala, seperti aromaterapi dan kosmetik. Dalam perjalanannya, selain pengembangan produk, yayasan tersebut juga turut mengenalkan potensi-potensi dari produk turunan pala kepada generasi muda.
Baca juga: Olahan Buah Pala dari Fakfak
”Anak muda yang punya potensi dusun (kebun) pala melimpah bisa memanfaatkan itu untuk produk turunan. Kalau ini menjadi semakin banyak dan digalakkan dengan produk yang semakin bervariasi, permintaan juga akan semakin meningkat,” ujarnya.
Dia menyebut, ekonomi Fakfak yang terus bertumbuh saat ini dengan sektor industri besar yang mulai masuk diharapkan menghasilkan efek pengganda (multiplier effect) yang mampu dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Di sisi lain, dia menyebut, untuk memacu ini, perlu ada keterlibatan pemerintah, mulai dari intervensi kemudahan produksi dan distribusi hingga regulasi yang tepat.
Jika melihat sejumlah daerah di Fakfak, kampung-kampung dengan pohon pala sangat mudah ditemui. Di Kampung Brongkendik, Fakfak Tengah, misalnya, pohon-pohon pala tumbuh rindang di pesisir dan di dataran lebih tinggi. Di kebun-kebun, generasi muda juga tampak ikut terlibat menjaga komoditas ini.
Baca juga: Menanti ”Tunas” Harapan Tumbuh dari Pupuk Fakfak
Bergantung pala
Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Fakfak Petrus Agus Triatmodjo mengungkapkan, sebagian besar masyarakat Fakfak masih menggantungkan ekonomi dari perkebunan pala.
Dia menyebut, saat ini, Dinas Perkebunan Fakfak mencatat 4.736 petani yang menggarap 18.673 hektar kebun pala. Perkebunan pala terdapat di 15 dari 17 distrik yang ada di Kabupaten Fakfak.
Saat ini, produksi pala tahunan di Kabupaten Fakfak sekitar 2.000 ton per tahun. Dengan rincian sekitar 1.600 ton biji pala dan 400 ton kulit atau bunga pala.
Jika menilik data dari Dinas Perkebunan Fakfak dalam arsip Kompas, angka tersebut menunjukkan peningkatan. Pada 2017, produksi pala mencapai 2.996 ton, lalu menurun jadi 2.301 ton pada 2018. Kemudian, berangsur-angsur merosot, 1.900 ton (2019) dan 1.696 ton (2020).
Petrus menuturkan, masyarakat belum merasakan manfaat kesejahteraan yang signifikan. Hal tersebut karena masyarakat cenderung menjual pala dalam keadaan terlampau muda sehingga kualitas turun yang membuat harga ikut merosot.
Kitong di Papua ini kadang tunggu satu orang tampil, baru yang lain mau ikut tampil. Padahal, kita ini punya semua potensi yang dibutuhkan.
Selain itu, dia mengakui, kepedulian masyarakat untuk menghasilkan produk turunan pala masih rendah. Mereka cenderung menjual dalam bentuk mentah. Namun, dia menyebut Pemerintah Kabupaten Fakfak terus coba menstimulasi agar masyarakat mulai menggalakkan produk turunan yang memiliki nilai tambah.
Saat ini telah ada pula kelompok masyarakat di Fakfak diberdayakan untuk membentuk koperasi dan badan usaha milik kampung (BUMKam) dalam menciptakan produk turunan.
”Saat ini baru satu BUMKam yang tengah dikembangkan, dengan produk turunan seperti balsem dan sabun. Saat ini, kami juga sedang lakukan untuk coba mencarikan buyer (pembeli) dan akan mengadakan pameran sehingga nanti akan tercipta juga link and match,” ucapnya.
Baca juga: Bangun Kluster Pala di Maluku
Selain itu, dia mengungkapkan, lintas perangkat daerah Kabupaten Fakfak termasuk dinas perkebunan yang tergabung dalam kelompok kerja (pokja) bidang ekonomi juga tengah menggodok sejumlah peraturan daerah untuk mengakomodasi berbagai produk yang dihasilkan. Peraturan tersebut diharapkan akan memaksimalkan penyaluran produk-produk dan semakin menambah semangat generasi muda.
”Namun, kami harapkan anak muda juga bisa semangat meningkatkan kualitas produknya sehingga nanti bisa memperluas pasar, bahkan hingga ke pasar ekspor,” katanya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fakfak Abu Talib Paupaus menganggap dunia usaha harus mulai membaca peluang dengan geliat daerah saat ini. Berbagai industri berskala besar yang mulai masuk di Fakfak serta infrastruktur baru bisa diimanfaatkan generasi muda sebagai peluang besar dalam mengembangkan dunia usaha.
Baca juga: Wapres: Pengembangan Potensi Pala Tomandin di Fakfak Berpeluang Besar
Identitas daerah
Jika merujuk catatan sejarah pada ratusan tahun lalu, pala merupakan komoditas unggulan yang menjadi perebutan orang-orang di berbagai belahan dunia. Aslinya, pala ini bukanlah berasal dari Fakfak, melainkan dari pulau-pulau kecil di tengah Laut Banda, Maluku bagian selatan.
Dalam buku Menimbang Pala: Asa di Pasar Eropa (2020), pada 1511, bangsa Portugis berlabuh di Kepulauan Banda. Kepulauan ini meliputi beberapa pulau kecil, antara lain Pulau Banda Neira, Banda Besar, Run, Ai, Nailaka, Hatta, dan Syahrir. Pulau Run saat itu menawarkan surga pala yang melimpah di mana terdapat tanaman pala di hutan yang lebat.
Masyarakat suku Mbaham Matta di Teluk Patipi, Fakfak, meyakini penyebaran pala di hutan Fakfak dibantu oleh lima burung pemakan biji pala. Kelima burung tersebut yakni wamar, tuktukmur, duktubur, wapour, dan tjerah. Dari sisa kotorannya yang bertebaran di mana-mana, muncul bibit dan pohon pala yang baru (Kompas, 25/11/2011).
Menurut Mahdi, semakin banyak generasi muda yang berkecimpung dalam bisnis produk turunan pala, produk pala ini juga akan menjaga identitas daerah sebagai ”Kota Pala”. ”Kami sekarang mengembangkan produk sebagai cendera mata. Dengan begitu ini juga menjadi indentitas kami. Menfaatkan sosial budaya yang bernilai ekonomi tinggi,” ujarnya.