Jejak Peradaban Jalur Rempah di Selayar
Nekara Selayar jadi ikon budaya sebagai nekara terbesar di dunia dan bagian kisah jalur rempah. Dengan beragam peninggalan arkeologinya, jalur rempah layak ditetapkan sebagai warisan budaya dunia.
Benda-benda peninggalan dan catatan sejarah menjadi bukti Selayar pernah jaya pada masa perdagangan rempah di kawasan Indonesia timur. Ingatan era kejayaan tersebut coba dibangkitkan kembali.
Sebuah gendang besar terpajang di tengah bangunan. Pada bagian tengah bidang pukulnya, terukir gambar matahari. Di sisi-sisi lingkarannya terdapat empat arca kodok. Di beberapa bagiannya ada bercak biru terang tanda gejala patinasi. Pagar besi mengelilingi gendang perunggu tersebut.
Benda tersebut adalah Nekara Selayar. Benda cagar budaya itu telah menjadi ikon budaya di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Nekara dengan tinggi 92 sentimeter (cm) dan diameter bidang pukul 126 cm diklaim sebagai salah satu nekara terbesar di dunia.
”Empat arca kodok adalah simbol air/kesuburan. Matahari simbol panas. Ketika nekara dipukul, diyakini bisa menghasilkan bunyi petir yang akan mendatangkan hujan,” kata Ermawati (48), Kepala Subbagian Tata Usaha Museum Nekara, kepada rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah 2023, Selasa (28/11/2023).
Baca juga : Laskar Rempah Telusuri Jejak Peradaban Masa Lalu
Rombongan muhibah budaya berjumlah 46 orang ini berlayar selama empat hari sejak Jumat (24/11/2023) dari Surabaya, Jawa Timur, ke Selayar dengan KRI Dewaruci untuk menapak tilas dan menelusuri jejak peradaban jalur rempah di Selayar.
Nekara Selayar berasal dari Kebudayaan Dongson dan dibuat tahun 300 sebelum Masehi. Nekara itu ditemukan petani saat pembukaan lahan perkebunan tahun 1868 di Papanlohea, 1 kilometer arah timur Kantor Bupati Selayar sekarang. Pembukaan lahan itu sesuai perintah raja terakhir Kerajaan Putabangun, Opu Sumahe Dg Mappasang.
Temuan nekara menjadikannya sebagai pusaka Kerajaan Putabangun yang kemudian berintegrasi menjadi Kerajaan Bontobangun tahun 1871. Hingga kini, koleksi unggulan Museum Nekara masih dirawat ahli waris keturunan kerajaan.
Jejak peradaban pelayaran di Selayar masih banyak lagi. Di Museum Nekara—300 meter dari lokasi Nekara Selayar—tersimpan pula beragam koleksi keramik hampir dari semua dinasti China, mulai dari abad ke-8 sampai abad ke-15. Pun ditemukan benda muatan kapal tenggelam abad ke-14 di situs Sangkulu-kulu.
”Selayar sering dikunjungi para pedagang dari luar. Banyaknya bukti arkeologis itu menunjukkan Selayar adalah salah satu bagian dari jalur rempah dunia,” ujar perempuan yang akrab disapa Emma ini.
Catatan sejarah
Di masa lampau, Pulau Selayar, pulau utama di kabupaten yang berada di selatan Pulau Sulawesi ini, memang menjadi salah satu tujuan pelayaran ataupun persinggahan pelayaran internasional.
Sejarawan Indonesianis asal Australia, Anthony Reid, dalam buku panduan perjalanan Periplus tentang Sulawesi mengatakan, Selayar memiliki peran penting dalam hubungan internasional kerajaan maritim dan dunia Barat yang memburu rempah di Kepulauan Maluku.
”Peninggalan purbakala lain, tembikar Tiongkok dan Siam dari periode Sawankhalok ditemukan di kuburan-kuburan kuno di Selayar,” tulis Anthony.
Baca juga : Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah Bertolak ke Selayar
Sementara itu, sejarawan yang mendalami bidang kemaritiman, Abdul Rahman Hamid, menyebut keberadaan Selayar sebagai jalur pelayaran penting terbukti ataupun tercatat dalam berbagai peninggalan dan sumber sejarah.
Kitab Negara Kertagama (1365), misalnya, mencatat keberadaan Selayar sebagai salah satu daerah yang disinggahi kapal dagang orang-orang Jawa. Selain itu, juga ada narasi interaksi orang Selayar dengan Indochina yang dibuktikan dengan keberadaan Nekara Selayar.
Kemudian, ada pula temuan dua jangkar besar dan tiga meriam peninggalan abad ke-17 di Kampung Padang, Kepulauan Selayar. Benda-benda tersebut merupakan sisa-sisa kapal saudagar China yang rusak saat bersandar di Kampung Padang.
Kedua jangkar dan ketiga meriam itu sekarang masih dirawat warga di Museum Jangkar Raksasa Selayar di Kampung Padang, Desa Bontosunggu, Kecamatan Bontoharu. Rabu (29/11/2023), bentuk jangkar dan meriam masih jelas meskipun permukaannya berkarat dan keropos.
Dalam narasi Melayu, kata Rahman, Selayar juga menjadi daerah tujuan ataupun persinggahan pedagang Muslim Melayu dalam perjalanan ke Maluku. Pun ada kisah menyebutkan kapal anak bangsawan Riau terdampar dan kandas di Selayar akibat salah layar.
”Itulah cikal lahirnya nama Selayar dalam narasi Melayu, dari kata ’salah layar’. Selain ada juga versi lainnya, menyebut asalnya dari ’satu layar’,” kata penulis buku Sejarah Maritim Indonesia (2013) dan Sejarah danBudaya Maritim Indonesia (2020) ini.
Jalur rempah
Dalam jalur perdagangan rempah-rempah, Selayar punya peran penting dalam menopang Makassar sebagai pelabuhan rempah di Indonesia timur. Posisi Selayar strategis karena kapal-kapal dagang yang berlabuh di Makassar dan hendak mencari rempah ke Maluku harus melewati Selat Selayar.
Baca juga : Promosi Jalur Rempah melalui Muhibah Budaya
Rahman menyebutkan, Selat Selayar merupakan jalur teraman rute pelayaran dari barat ke timur. Perairan utara kepulauan Nusa Tenggara terlalu berisiko terhadap pelayaran, bahkan kapal bisa terbawa arus ke Australia saat cuaca buruk.
”Jika melewati Selat Selayar, saat cuaca tidak terkendali, kapal setidaknya terdampar di daratan Sulawesi atau Selayar. Itulah kenapa mereka harus lewat Selayar,” ujar dosen Sejarah Maritim UIN Raden Intan Lampung ini.
Selain atas pertimbangan strategi pelayaran, kapal dagang juga menjadikan Selayar sebagai persinggahan untuk mengambil air bersih, perbekalan, dan perbaikan kapal. Rahman menyebut, beberapa pulau di Selayar merupakan penghasil kayu kualitas bagus untuk pembuatan dan perbaikan kapal.
Selayar jadi daerah perebutan karena berada di jalur rempah.
Saat puncak perdagangan rempah abad ke-16 dan ke-17, kain tenun Selayar juga menjadi komoditas perdagangan populer di kalangan saudagar yang singgah. Kain tenun menjadi alat barter orang Selayar dan pedagang Melayu untuk membeli rempah.
Pentingnya keberadaan Selayar—dikuasai Kesultanan Makassar atau Kerajaan Gowa-Tallo tahun 1512—membuat pulau ini jadi rebutan Kesultanan Makassar dan Kesultanan Ternate. ”Selayar jadi daerah perebutan karena berada di jalur rempah,” kata Rahman.
Kemunduran
Kedatangan bangsa Belanda menjadi mula dari kemunduran perdagangan rempah di Nusantara, termasuk Indonesia timur. Jalur perdagangan rempah dimonopoli oleh VOC, kongsi dagang Belanda.
Baca juga : Napak Tilas Jalur Rempah Akan Berlayar ke Enam Titik
Pelabuhan rempah di Makassar dikuasai oleh Belanda seusai mengalahkan Makassar dalam perang perebutan jalur rempah tahun 1666-1669. Sementara itu, Selayar dikuasai oleh Ternate, sekutu Belanda dalam peristiwa yang dikenal dengan Perang Makassar.
Menurut Rahman, kemunduran jalur rempah di Selayar tak terlepas dari kemunduran yang dialami Pelabuhan Makassar. Pelabuhan bebas dan kebebasan berlayar yang sebelumnya diterapkan Makassar berakhir karena VOC memonopoli perdagangan.
”Perdagangan rempah pun menurun karena dikuasai Belanda. Selain itu, abad ke-18, rempah-rempah Maluku tidak lagi jadi komoditas primadona di pasaran dunia di Eropa,” katanya.
Emas hijau
Setelah era perdagangan rempah, Selayar kemudian hidup dari komoditas lain. Pada abad ke-18 dan ke-19, teripang menjadi komoditas unggulan di Selayar. Teripang yang menjadi bahan baku kosmetik itu dijual ke Pelabuhan Makassar untuk memenuhi permintaan saudagar China.
Memasuki abad ke-19, Selayar kembali meraih masa kejayaan dengan komoditas kopra. Pada masa itu, di wilayah Indonesia timur, mulai dari Manado, Ambon, hingga Selayar, kelapa dibudidayakan secara masif.
Tulisan Christiaan G Heersink (2009), Selayar and the Green Gold: The Development of the Coconut Trade on an Indonesian Island, menyebutkan, sekitar tahun 1880, untuk pertama kalinya kopra, sebagai bahan baku margarin dan sabun, dikirim dari Selayar ke Eropa via Makassar.
Baca juga : Jalur Rempah
Menurut Rahman, penduduk Selayar begitu menikmati kejayaan komoditas kopra hingga pertengahan abad ke-20. Begitu kayanya orang Selayar karena kopra, banyak warga yang menggunakan gigi emas.
”Ibu-ibu Selayar saat tertawa terlihat gigi emasnya. Istilah emas hijau (green gold) Selayar bermula dari cerita itu,” ujar pria asal Pulau Seram yang pernah mengajar di Universitas Hasanuddin, Makassar, ini.
Napak tilas
Terkait kunjungan rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah, Koordinator Kelompok Kerja Diplomasi Budaya Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek Yusmawati, Rabu (29/11/2023), mengatakan, napak tilas tersebut diharapkan dapat menghidupkan kembali ingatan akan kejayaan Selayar pada masa lampau.
Selain belajar dan memahami bagaimana para pelaut masa lampau berlayar ke Selayar serta menelusuri jejak peradabannya, anggota rombongan diharapkan pula bisa mengeksplorasi dan menceritakan temuan mereka kepada masyarakat dunia. Ini akan menjadi nilai tambah dalam upaya mengajukan jalur rempah sebagai warisan budaya dunia.
Di samping itu, masyarakat Selayar diharapkan bisa pula merespons dan melakukan inovasi dengan potensi mereka. Hal itu bisa dilakukan dengan memublikasikan apa yang mereka punya. Tujuan utamanya, supaya kekayaan dan potensi di pelosok bisa dikenal luas.
”Bagaimana masa kejayaan di masa lalu bisa terulang kembali dengan kondisi dan potensi yang dimiliki saat ini,” ujar Yusmawati.