Epos Pemburu Andal dan Peladang Tekun dari Lamalera
Masyarakat Lamalera mempunyai tradisi barter antara pelaut dan petani. Mereka dikenal sebagai peselancar ulung, tetapi juga peladang, penenun dan pembuat miniatur kapal.
Lamalera tidak hanya menjadi rumah bagi para pemburu ikan dan mamalia besar penghuni samudra. Daerah itu menjadi harapan bagi petani yang tekun menanam di antara dominasi batuan dan karang. Lewat tradisi barter, cara hidup warga yang berbeda saling menghidupi secara harmonis.
”Igo, Bol, Beda, salan pelasar. Begem ujuk apu si. Kawa mula penolanga. Oleng upasa mamula utaja makejavaja,” kata Thomas Gokok (61), pemuka adat di Dusun Lamamanu, Desa Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Selasa (21/11/2023) malam. Ia mengucapkan beberapa mantra.
Dalam bahasa setempat, artinya kurang lebih, ”Salam kepada Igo, Bol, Beda (penunggu tempat keramat). Beri embun sedikit. Kami sebentar lagi memulai musim tanam. Kebun akan segera ditanam kacang-kacangan.”
Baca juga : Tradisi Berburu Paus, Lumba-lumba, dan Pari Manta di Lamalera
Setelah mantra diucap, Thomas dan empat lelaki Lamamanu lainnya mengambil sebilah bambu runcing lalu menancapkannya ke tanah. Di belakang mereka, tiga mama-mama menabur benih padi.
Setelah padi ditanam, mereka pun berdoa meminta agar benih yang ditanam begitu subur sehingga bisa memberi makan orang banyak. Tidak hanya untuk Lamamanu, tetapi juga seluruh Lamalera.
Ajaibnya, saat mengucap mantra, hujan gerimis benar-benar turun di Lamalera. Ternyata mantra itu merupakan rapalan doa memanggil hujan. Seperti kawan akrab, gerimis pun pergi saat Thomas mengakhiri mantra.
Begitu cuplikan lie dan tutu koda atau syair yang dilantunkan Thomas untuk menceritakan dan menunjukkan tradisi berladang orang Lamalera sejak ratusan tahun lalu. Tradisi itu ditampilkan lagi dalam festival budaya Tani Tenane, Fule Penete, 20-25 November, di pelataran Gereja Paroki Lamalera Santo Petrus dan Paulus yang didukung oleh Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek.
Kerja para pemberani
Lamalera sejak lama dikenal sebagai legenda Indonesia. Daerah itu adalah rumah bagi ratusan pemburu paus tradisional pemberani.
Akan tetapi, epos Lamalera itu hadir bukan tanpa sebab. Kontras dengan senyum ramah penduduknya, keberadaan lereng, tebing, dan jurang curam menuju Lamalera menjadi bukti kerasnya kehidupan di sana. Tinggal di atas batu dan karang, sulit bagi mereka bercocok tanam. Laut lantas jadi pilihan bertahan hidup.
Akan tetapi, sulit bukan berarti tidak mungkin. Alam masih memberikan kemurahannya. Dari empat dusun, ada satu dusun di Lamalera yang mendapat kesempatan menanam, yaitu Lamamanu.
Kini, tercatat 203 keluarga di Lamamanu. Mereka berladang di lereng-lereng gunung Ile Labalekang yang kondisi tanahnya dinilai jauh lebih subur dibanding pesisir.
Di atas tanah subur kemampuan mereka berkembang. Sebelum mengenal padi, warga hanya menanam jagung dan ubi-ubian. Baru di tahun 1980-an mereka mulai dikenalkan padi oleh pemerintah lewat revolusi hijau. Sejak saat itu mereka mengenal padi mereka dengan sebutan padi ampera, tak ada benih lokal di desa itu.
Seiring waktu, perbedaan itu tidak lantas menjauhkan hubungan antarwarga. Berladang lantas pelengkap kehidupan di laut.
Para pelaut ulung di Lamalera menukarkan hasil ikan mereka kepada warga Lamamanu yang tekun di ladang. Tradisi bertukar atau barter itu disebut penetang dan hanya dilakukan perempuan.
Lihat juga : Menyantap Balelang di Lamalera
Seperti yang dilakukan Yuliana Rata Nubaina (33), warga Lamamanu lainnya, pada Selasa siang. Dia berjalan zig-zag dari pelataran gereja Lamalera menuju rumahnya di Lamamanu.
Harus demikian, karena jalan yang ia lalui begitu menanjak, seperti jalan di tebing. Jalan zig-zag akan sedikit memudahkan apalagi ia menjinjing keranjang anyaman dari daun lontar di kepala atau sebutannya kara. Kara yang dibawa Yuliana berisi beberapa potong daging ikan pari dan ikan paus.
Di dalam kara juga masih tersisa beberapa tongkol jagung dan ubi. Untuk itu ia singgah di rumah kerabatnya dalam perjalanan pulang untuk bisa menukar semua hasil bumi yang ia miliki. Setelah semua ditukar baru ia melanjutkan perjalanan menanjak menuju rumahnya di Lamamanu.
Baca juga : Harmoni Bahari dan Gunung Desa ”Piring Matahari”
Yuliana menjelaskan, para peladang setidaknya memiliki setengah hektar tanah yang terbagi dua. Mereka berladang dengan sistem tebas-bakar. Setelah dibersihkan atau ditebas, tebasan akan dibakar. Hal itu membuat tanah jauh lebih subur.
”Kami tanam padi, jagung, dan ubi singkong. Paling banyak memang jagung karena lebih mudah tanamnya daripada padi,” kata Yuliana.
Selain berladang, warga di Lamamanu juga mengonsumsi pangan liar yang mereka dapat di lerenggunung dan di hutan terdekat. Pangan liar berupa kacang-kacangan yang mereka sebut uto keda, uto knoing dan ipa. Lalu ada ubi liar yang mereka ambil di hutan dengan sebutan hura kole, sejenis ubi jalar dengan daun yang lebih panjang dibanding ubi jalar umumnya.
Semua yang ditanam di Lamamanu bisa ditukar dengan hasil laut yang dimiliki orang pesisir. Tradisi barter itu juga sudah ratusan tahun umurnya. Orang pesisir membutuhkan hasil pertanian, orang di kaki gunung membutuhkan ikan. Lengkaplah sudah kehidupan itu.
Tenun
Tak hanya berladang dan melaut. Orang Lamalera juga menenun yang hanya dilakukan oleh perempuan. Kala lelaki ke laut menerjang ombak, para puan menunggu di rumah sambil berdoa untuk keselamatan ayah, kakak, bahkan suami mereka di laut. Penggambaran doa itu juga mereka tuangkan dalam tenun.
Seperti yang dilakukan Bernadina Imelda Bulu Tapuona (27), guru agama di SD Katolik Lamalera, yang sudah dua tahun belakangan belajar menenun. Ia mendapatkan Ilmu itu dari ibunya, yang diturunkan juga dari neneknya. Meski sudah menjadi guru, menenun mulai menjadi bagian dari hidup Bernandina. Tradisi menenun itu disebut tani tenane.
Benang yang Bernandina buat merupakan benang alami yang dipintal dari kapas selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan karena kesibukannya. Ia juga menggunakan pewarna alami, ada beberapa jenis pewarna mulai dari daun hingga akar pohon klore untuk mendapatkan warna coklat.
Ada dua jenis kain tenun di Lamalera, yakni untuk perempuan dan untuk laki-laki. Kain untuk laki-laki dibuat lebih sederhana seperti sarung dengan motif kotak-kotak, Sedangkan untuk perempuan lebih rumit karena memiliki pola khusus, bahkan lengkap dengan gambar ikan paus dan peledang atau kapal tradisionalnya.
Tenun juga menjadi salah satu barang yang dibarter. Satu kain tenun bisa berharga mahal sekali.
Jika dibarter, bisa ditukar dengan satu ekor babi, satu karung beras, dan satu karung jagung. Saat diuangkan, rata-rata ibu-ibu di Lamalera menjualnya dengan harga Rp 1,5 juta. Bernandina mengungkapkan, kain tenun menjadi penghasilan yang menjanjikan.
Semuanya disatukan oleh laut. Jadi, jika pelaut tidak ada, mungkin tradisi menenun, barter, dan berladang juga tidak ada. Tetapi jika tidak ada tradisi-tradisi itu, melaut saja tidak cukup. Jadi saling melengkapi.
Selain kain tenun, ada juga kerajinan tangan membuat miniatur kapal tradisional atau peledang, seperti yang dilakukan Fransiskus Teges Tapiona (39). Putu, sapaan akrabnya di kampung, mendapatkan keahlian merangkai kayu dari sang kakek.
Kakeknya, yang merupakan lamafa atau juru tikam paus, memberikannya pahat. Pahat itu diturunkan dari generasi ke generasi. Karena Putu pernah lama merantau, ia tak piawai melaut. Jadi ia memilih belajar membuat miniatur.
Sejak pulang dari merantau 20 tahun lalu, Putu mulai mengumpulkan bahan untuk membuat miniatur peledang atau perahu khas Lamalera. Miniatur dibuatnya sungguh-sungguh.
Ia bahkan menggunakan jenis kayu yang sama dengan kayu untuk membuat peledang, bahkan layarnya pun ia anyam dari daun lontar. Persis seperti layar yang asli.
Putu mengungkapkan, dirinya membutuhkan waktu sedikitnya dua minggu sampai tiga minggu untuk membuat satu miniatur. Akan tetapi, jika banyak gangguan kerja, ia bisa menghabiskan waktu sebulan dan menjualnya dengan harga Rp 1 juta.
”Gangguannya banyak, kalau anak datang main, ah, itu lama,” ujarnya.
Orang Lamalera
Munculnya banyak keahlian itu membuktikan keberagaman Lamalera. Dalam buku Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi Penangkapan Ikan Paus yang ditulis Ambrosius Oleona dan Pieter Tedu Bataona, orang Lamalera disebut dari tanah Luwuk, Sulawesi Tengah. Mereka keluar dari wilayah itu karena perang atau konflik.
Mereka berpindah dari sana atas titah Gajah Mada dan menetap lama di Pulau Seram dan Gorom. Selanjutnya, mereka berpindah ke Pulau Lapang Batang sebelum lantas menetap di Lamalera.
Berdasarkan penuturan dari generasi ke generasi di Lamalera, nenek moyang mereka semuanya berasal dari luar. Penduduk yang datang dari arah timur disebut suku Serang Gorang, dari barat disebut suku Sina Jawa, dan penduduk dari Pegunungan Lembata disebut Ata Ile Jadi. Belum diketahui jelas suku mana yang paling pertama mendarat dan menetap di sana. (Kompas, 15 Mei 1994).
Kisah serupa disebutkan Jeffry Bataona (48), satu dari tiga pemimpin Lembaga Adat Lamalera. Dia menjelaskan, nenek moyang orang Lamalera berasal dari beberapa daerah, terutama Sulawesi.
Mereka adalah pelaut-pelaut andal. Walakin, seiring berjalannya waktu, tidak semua orang Lamalera melaut, terutama masyarakat di Lamamanu yang sudah mengenal berladang sejak ratusan tahun lalu.
”Semuanya disatukan oleh laut. Jadi, jika pelaut tidak ada, mungkin tradisi menenun, barter, dan berladang juga tidak ada tetapi jika tidak ada tradisi-tradisi itu, melaut saja tidak cukup. Jadi saling melengkapi,” ungkap Jeffry.
Jeffry menjelaskan, dalam tutur Olla Nua dan lie (syair yang dilantunkan), asal-usul Lamalera diceritakan dari generasi ke generasi. Dalam syair itu dikenal Mul Sipa, budaya menanam dan menabur. Menanam tak hanya digambarkan sebagai ladang, tetapi juga melaut.
Semua kegiatan itu, lanjut Jeffry, dilakukan untuk menghormati Ama lera Wulan dan Ina Tana Ekan. Ama lera Wulan digambarkan sebagai bapak matahari dan bulan di mana saat itu pelaut hanya ditemani matahari dan bulan. Adapun Ina Tana Ekan merupakan ibu bumi yang memberikan hasil pertanian.
”Mereka (ibu) paham betul ikan di laut saja tidak cukup sehingga mereka berjalan kaki untuk menukar bahan pertanian atau menenun untuk memenuhi lumbung dapur rumah-rumah,” kata Jeffry.
Nenek moyang orang Lamalera memang pelaut ulung. Namun, keberadaan para peladang tidak bisa dilupakan. Peran mereka besar menjaga legenda Lamalera tetap terjaga.