Asa Petani Gorontalo Karam oleh Jagung Hibrida
Petani di Gorontalo begitu bergantung pada jagung hibrida hingga berpikir komoditas itu adalah jalan satu-satunya untuk bertahan hidup.
Abdullah Isa (60) lega melihat langit siang yang mendung pada Kamis (30/11/2023). Beberapa minggu belakangan, hujan sudah semakin sering turun membasahi tanah Desa Pongongaila di Kecamatan Pulubala, Kabupaten Gorontalo. Artinya, bibit-bibit jagung hibrida yang ia tanam pasti akan tumbuh dan berbuah.
”Kalau tidak ada hujan, milu (jagung) bakal kecil-kecil. Kalau cuma pupuk tapi tidak ada hujan, tidak akan bisa. Hasilnya sedikit,” kata Abdullah yang sudah rutin bertani jagung hibrida bersama istrinya, Aminah Manoe (60), sejak mereka menikah pada 1982.
Sekarang Abdullah punya lahan jagung hibrida seluas 2 hektar di balik sebuah bukit tak jauh dari rumahnya. Ia terdaftar dalam kelompok tani sehingga bisa mendapatkan pupuk bersubsidi. Salah satu dari empat anaknya juga tergabung di kelompok tani dengan lahan jagung 1,5 hektar.
Tanaman tersebut menjadi sumber penghasilan utama keluarga Abdullah meski ia mengakui hasilnya tak seberapa. Di masa panen antara Oktober dan awal November 2023, hasil dari kebunnya hanya 4 ton. Saat itu, enam gudang yang tersebar di Kecamatan Pulubala hanya menghargai jagung hibrida hasil jerih payah petani seperti dirinya Rp 3.800 per kilogram.
Itu pun masih dipotong kadar air tinggi dalam pipilan jagung, di atas 17 persen. Sebagai contoh, jika kadar air menurut penghitungan mesin di gudang mencapai 22 persen, setiap 100 kg harus dikurangi 22 kg sehingga gudang hanya membayar 78 kg.
”Keuntungan bersih cuma Rp 5 juta, tipis. Padahal kalau mau hitung dari tanam, pupuk, semprot obat (pembasmi) rumput, sampai panen dan bawa ke gudang, bisa habis Rp 10 juta. Banyak sekali dia punya biaya,” kata Abdullah.
Biaya itu, antara lain, untuk membeli pupuk kimia dan obat-obatan, mengingat jagung adalah tanaman yang rakus unsur hara. Setiap 5 kg bibit perlu 100 kg pupuk. ”Tapi sekarang pupuk sulit dicari. Biasanya dapat 500 kg Phonska (NPK) dan 500 kg urea, tapi sekarang ureanya cuma dapat 300 kg,” kata Aminah.
Jumlah tersebut tak cukup untuk tiga kali pemupukan dalam satu masa tanam selama 3-4 bulan. Akibatnya, produktivitas di lahan Abdullah hanya sekitar 2 ton per hektar, jauh dari angka ideal yang ditetapkan Pemerintah Provinsi Gorontalo, yaitu 6-7 ton per hektar.
Sudah begitupun, mereka tak menjemur jagung mereka terlebih dahulu agar potongan kadar air di gudang tak terlalu besar. Rupanya, itu sesuatu yang normal di Provinsi Gorontalo yang sepertiga dari 1,2 juta hektar wilayah daratannya ditanami jagung hibrida. Sebab, petani di perdesaan butuh uang cepat untuk membiayai kehidupan yang sulit.
Dijerat kemiskinan
Per Maret 2023, kemiskinan di Provinsi Gorontalo mencapai 15,15 persen, kelima terbesar di Indonesia. Kemiskinan tersebut terpusat di perdesaan dengan tingkat mencapai 23,73 persen, yaitu sekitar 159,600 orang dari total penduduk 1,2 juta orang di ”Bumi Serambi Madinah”.
Baca juga: Meraba Masa Depan ”Si Jingga” dari Gorontalo
Ironisnya, perekonomian provinsi ke-32 Indonesia itu bergantung sekali pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Kontribusinya terhadap produk domestik regional bruto mencapai 38,12 persen pada triwulan III-2023.
Jagung hibrida menjadi komoditas unggulan Gorontalo sejak pemerintahan gubernur pertama Fadel Muhammad sampai hari ini. Akhir tahun ini, BPS memperkirakan panen jagung pipilan kering berkadar air (JPK KA) 14 persen dari Gorontalo akan mencapai 531.780 ton, terbesar kedelapan di Indonesia.
Akan tetapi, petani jagung seperti Abdullah dan Aminah nyatanya tak bisa benar-benar sejahtera. Menanam jagung pun menjadi siklus berbiaya besar yang menguras kocek petani demi penghasilan Rp 5 juta per 3-4 bulan untuk membiayai seluruh kebutuhan keluarga. Mereka harus bertahan hidup dengan pengeluaran kurang dari Rp 442.194 per bulan.
Ketika tegakan jagung rebah, mereka akan tetap setia membeli bibit jagung hibrida lagi dari toko tani dengan harga lebih dari Rp 2 juta per 20 kg. Tak lupa juga mereka membeli pupuk kimia, obat, dan perangsang tumbuh. Setelah panen, mereka akan kembali ke nol. ”Cuma itu (jagung) jalan satu-satunya,” kata Aminah.
Sementara petani jagung hibrida berjibaku mengumpulkan uang untuk mengulang fase tanam berikutnya, para pedagang dan gudang-gudang pengumpul memanen untung. Dengan harga beli dari petani yang sudah ditekan, mereka akan menjual jagung pipil ke pabrik-pabrik pengolahan di Jawa.
Hal ini pula yang dirasakan Niko Ibrahim (55), petani di Desa Ombulo, Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo. Dengan lahan seluas 5 hektar, ia tak pernah beralih dari jagung hibrida dan hanya jagung hibrida saja. Alasannya, ”Cuma itu satu-satunya mata pencarian. Kalau mau pindah tanaman lain, mesti punya keahlian di situ,” kata Niko.
Sementara petani jagung hibrida berjibaku mengumpulkan uang untuk mengulang fase tanam berikutnya, para pedagang dan gudang-gudang pengumpul memanen untung. Dengan harga beli dari petani yang sudah ditekan, mereka akan menjual jagung pipil ke pabrik-pabrik pengolahan di Jawa.
Jasin Mohammad, pemilik CV Diantama Agroindo yang bertindak sebagai fumigator produk-produk pertanian di gudang-gudang Gorontalo, menyebut, sekitar 528.000 ton dari panen JPK KA 14 persen, sebanyak 692.439 ton pada 2022 dikirim ke luar daerah, sedangkan 82.950 ton sisanya diekspor ke Vietnam dan Filipina. Nilainya setiap tahun bisa mencapai lebih dari Rp 2 triliun.
”Tahun 2023 ini, Gorontalo telah mengekspor jagung 56.900 ton. Memang menurun dari tahun 2022 karena empat bulan kemarau panjang. Alhamdulillah, awal November sudah mulai turun hujan,” kata Jasin yang menyuplai data ke Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo.
Petani di Gorontalo memang tak punya banyak pilihan. Dengan kontribusi industri pengolahan yang hanya 4,54 persen, tidak ada pabrik pengolahan jagung di Gorontalo sehingga tak banyak tenaga kerja yang dapat terserap ke sektor formal. Perputaran uang pun menjadi sangat lambat dan pemda pun tak memperoleh pendapatan asli daerah.
Merusak
Guru Besar Bidang Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Ramil Utina menilai, petani terus tertindas dalam siklus tanam jagung yang eksploitatif. Pemerintah bahkan turut melanggengkannya dengan program-program bibit gratis.
Pada 2022, misalnya, pemerintah pusat dan daerah memberikan bantuan benih jagung untuk ditanam di lahan seluas 15.063 hektar di Gorontalo. Sedikit demi sedikit, tidak hanya petani yang jadi korban, tetapi juga alam. Tanaman-tanaman keras ditebangi, seperti di daerah penyangga hutan lindung dan di lahan-lahan dengan kemiringan lebih dari 15 persen.
”Itu buruknya monokultur. Selain mengancam tutupan lahan, dia (jagung hibrida) juga mengancam biodiversity. Harusnya hutan yang memiliki berbagai jenis tanaman ditebang dan dibakar, digantikan satu tumbuhan, yaitu jagung,” ujarnya.
Penggundulan yang diiringi penggunaan pupuk kimia berulang-ulang akhirnya merusak lapisan teratas (top soil) lahan di Gorontalo. Akibatnya, yang sudah terasa saat ini adalah banjir setiap tahun. Selama Maret-April 2023 saja, sudah terjadi banjir di Kabupaten Gorontalo, Gorontalo Utara, Pohuwato, dan Bone Bolango dengan korban lebih dari 7.000 keluarga.
Untuk itu, Ramli, yang mengepalai Pusat Kajian Ekologi Pesisir Berbasis Kearifan Lokal (PKEPKL) UNG, turut melaksanakan berbagai program pendampingan petani di sejumlah daerah dimulai dari Kabupaten Gorontalo. Petani didorong untuk menanam tanaman lain, seperti pala, aren, coklat, jambu kristal, avokad, dan sebagainya.
Namun, program ini sering kali putus di tengah jalan. Sebab, tak seperti jagung, hasil dari tanaman-tanaman keras itu tak menemui pasar yang jelas. ”Petani kadang patah arang. Pohon itu 2-3 tahun belum tentu berbuah. Setelah panen, kita harus cari pedagang pengumpulnya,” kata Ramli.
Baca juga: Hamka Hendra Noer: Ekspor dan Hilirisasi Industri untuk Atasi Kemiskinan Gorontalo
Nilai tambah
Di sisi lain, Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi UNG Sri Indriyani Dai menyebut petani perlu dibantu untuk menciptakan nilai tambah sendiri. Kala pemerintah tidak ada, pihaknya memulai sendiri dengan program-program pengabdian dalam bentuk pelatihan, misalnya pembuatan keripik dari jagung.
Akan tetapi, ia mengakui, sulit untuk menumbuhkan kemauan masyarakat. ”Ketika kami turun ke lapangan, mereka hanya bertanya, kami bawa apa. Kalau bawa uang duduk, mereka datang. Padahal, yang masyarakat butuhkan itu pendampingan. Kalau sekadar kita serahkan uang bantuannya, bisa disalahgunakan,” kata Indriyani.
Guru Besar Ilmu Ekonomi UNG Syarwani Canon sepakat dengan Indriyani. Menurut dia, salah satu alasan kemiskinan masyarakat di perdesaan, antara lain, adalah minimnya etos kerja. ”Itu membuat mereka sulit berubah dan pemerintah tampaknya tak memperhatikan sampai di situ. Hanya output (hasil) yang dikejar, bukan outcome (dampak),” ujarnya.
Pendapat Indriyani dan Syarwani akan bertolak belakang dengan argumen Daron Acemoglu dan James A Robinson, dua ahli ekonomi Amerika Serikat. Alih-alih kultur dan kemalasan, dalam buku Why Nations Fail (2012), mereka berargumen bahwa kemiskinan disebabkan oleh absennya institusi politik yang kuat, dalam hal ini pemerintah.
Pemerintah seharusnya menjadi institusi yang kuat demi menyediakan kebijakan ekonomi yang betul-betul dibutuhkan publik, seperti akses pasar. Inilah yang mereka sebut politik kemiskinan dan kesejahteraan.
Meski begitu, Indriyani dan Syarwani tak sepenuhnya menyalahkan masyarakat. Mereka mengakui, peningkatan nilai tambah dengan pola UMKM (usaha mikro, kecil, menengah) akan sangat lambat. Akan tetapi, mereka juga belum bisa menjawab mengapa Pemprov Gorontalo membiarkan petani bergantung pada gudang-gudang pengumpul ketimbang menghadirkan pabrik-pabrik pengolahan.
Untuk sementara, kata Syarwani, pemerintah perlu menyediakan informasi pasar yang jelas. Ia sepakat dengan Ramli bahwa diversifikasi dengan tanaman-tanaman kayu keras perlu segera dilakukan demi menjaga potensi pertanian dalam jangka panjang, tetapi akses pasar harus dibuka dan petani harus bisa mengaksesnya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo Budiyanto Sidiki mengatakan, pihaknya akan membantu mengurangi beban produksi petani dengan memberikan bantuan berupa bibit, pupuk, dan alat-alat pertanian yang termekanisasi. Diharapkan produktivitas jagung hibrida bisa mencapai 6-7 ton per hektar.
Pada saat yang sama, pemerintah tidak akan memberikan bibit gratis kepada petani yang menanam di lahan berkemiringan lebih dari 15 persen. Ini untuk mencegah terjadinya banjir dan longsor.
Diversifikasi dengan tanaman-tanaman kayu keras perlu segera dilakukan demi menjaga potensi pertanian dalam jangka panjang, tetapi akses pasar harus dibuka, dan petani harus bisa mengaksesnya.
”Kami juga akan menginisiasi model tumpang sari (jagung dengan tanaman keras) di beberapa area bersama BPDASHL (Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung). Mereka punya bibit seperti jambu mete. Memang, secara pembiayaan APBD kami belum mampu menyediakan sendiri karena luasan lahan kritis sangat besar,” tuturnya.
Untuk sementara, petani-petani jagung di Gorontalo masih akan menggantungkan nasibnya pada jagung hibrida. Sayangnya, jagung itu belum dapat menjanjikan kesejahteraan bagi petani.