Harga cabai yang meroket dan sulit terkendali di Surabaya, Jawa Timur, menjadikannya komoditas mewah.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Harga cabai di Surabaya, ibu kota Jawa Timur, kian tak masuk akal. Cabai bisa menjadi komoditas mewah jika harga tidak dikendalikan.
Dari laman Sistem Informasi Ketersediaan dan Perkembangan Harga Bahan Pokok (Siskaperbapo), Rabu (6/12/2023), kenaikan tertinggi terjadi pada komoditas cabai keriting besar yang tembus Rp 225.000 per kilogram (kg) jauh lebih tinggi dari sehari sebelumnya yang Rp 77.400 per kg. Sepekan lalu, harga komoditas ini Rp 70.600 per kg.
Adapun harga cabai merah besar per kg kini Rp 81.900 dari sebelumnya Rp 77.500. Harga cabai rawit merah Rp 79.700 per kg dari sebelumnya Rp 78.200. Di awal bulan, harga cabai merah besar masih Rp 73.700 per kg, sedangkan harga cabai rawit merah masih Rp 72.700. Untuk kedua komoditas ini, kenaikan harga Rp 1.100-Rp 1.200 per kg per hari.
Adapun Siskaperbapo mencatat rerata harga di enam pasar utama, yakni Tambahrejo, Wonokromo, Keputran, Genteng Baru, Pucang Anom, dan Soponyono. Artinya harga cabai di suatu pasar bisa berbeda meski tidak signifikan dibandingkan dengan pusat belanja tradisional lainnya. Di Pasar Genteng Baru, misalnya, cabai merah keriting sedang kosong. Harga jual yang tembus Rp 225.000 per kg sama dengan kelangkaan.
”Kalau sudah ketinggian saya enggakkulakan (jualan),” kata Sumiati, pedagang cabai di Pasar Genteng Baru. Cabai merah keriting yang terlalu mahal sedang tidak dijual. Pedagang eceran sudah dua hari tidak mendapat pasokan baru cabai dari penyalur atau pedagang besar yang membawa komoditas ini dengan mobil pikap atau truk dari sentra-sentra produksi di Jatim.
Yang masih bisa dijumpai ialah cabai merah besar dan cabai rawit merah yang harganya juga merangkak naik. Menurut Sumiyati, dengan harga yang tinggi, pengecer mengurangi jumlah dagangan untuk mengantisipasi risiko tiada pembeli. Saat normal, dalam sehari, seorang pedagang cabai menjual 7-8 kg komoditas ini. Namun, saat harga melangit, cabai yang dijual maksimal 4 kg dalam sehari.
Secara langsung, dampak kenaikan harga cabai yang terlalu tinggi memaksa penjual kuliner cepat saji atau siap santap mengurangi bahkan meniadakan sambal sebagai pelengkap. Misalnya, seseorang jajan mi ayam atau bakso (pentol), penjual membolehkan pembeli untuk mengambil sambal sesuka hati. Namun, saat ini, penjual memberi hanya setengah sendok teh atau malah tidak ada sambal.
”Untungnya, harga saus (sambal) belum naik. Kalau ikut naik, bisa-bisa yang beli cuma dikasih saus tomat,” kata Muryanto, penjual mi ayam di Wonokromo.
Sepekan ini, Kompas mencoba beberapa kuliner dengan bahan cabai sebagai penyempurna, yakni penyetan dan sega (nasi) sambal. Harga makanan penyetan boga bahari (ikan, udang, cumi), unggas (bebek, ayam), belut, daging sapi, pentol atau bakso, telur, nabati (tahu, tempe, terung) rata-rata tidak atau belum naik.
Porsi sambal dimungkinkan berkurang, tetapi cita rasa pedas belum berubah. Namun, ini berlaku di tempat kuliner sekelas depot atau rumah makan.
Ketika membeli penyetan di warung tenda atau kaki lima, misalnya di Jalan Kedungdoro, cukup sulit mendapat sambal dengan porsi berlebih. Porsinya berkurang meski sulit diukur.
Selain itu, tingkat kepedasan juga berkurang karena pembeli tidak diperkenankan memesan sambal yang amat pedas. Ini lumrah karena semakin pedas sambal memerlukan cabai lebih banyak.
”Mas, sambele (sambalnya) enggak bisa pedas banget, ya, lombok larang (mahal) banget,” kata Lestari, penjual penyetan kaki lima di Gayungsari. Sebelum harga cabai naik, pembeli bisa memesan seporsi sambal pedas dengan belasan cabai. Namun, saat harga melambung, sambal maksimal lima cabai yang ditambah tomat sehingga tidak lagi pedas tetapi agak kecut dan segar.
Secara psikologis, warga Surabaya termasuk bagian dari bangsa Indonesia yang tidak bisa lepas dari konsumsi cabai. Makan tanpa sambal atau lalapan cabai mentah jelas tidak nikmat. Ini menjadi masalah berulang ketika harga cabai meroket yang membuat warga ”kesusahan” ketika harus mengurangi konsumsi cabai apalagi berpantang meski sementara.
”Kalau harga sedang naik gila-gilaan begini, cabai menjadi barang mewah. Cuma niat seperti orang puasa yang bikin saya menahan diri sementara tidak makan sambal, hahaha,” ujar Mukhid, warga Karah.
Secara terpisah, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, tidak dapat terlalu mengintervensi untuk menurunkan harga cabai yang sedang menggila. Pemerintah telah mengambil kebijakan dengan membayari atau subsidi ongkos angkut cabai dari produsen hingga pasar. ”Ternyata, di petani, harga sudah tinggi sehingga tidak bisa lagi ditekan,” katanya.
Eri melanjutkan, intervensi juga diberikan untuk komoditas lain, terutama beras, gula, dan minyak goreng, agar harga tidak melonjak. Intervensi diberikan lewat pembukaan warung tim pengendali inflasi daerah, operasi pasar, dan bazar bahan pangan.
Ternyata, di petani, harga sudah tinggi sehingga tidak bisa lagi ditekan.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Surabaya Antiek Sugiharti mengatakan, kenaikan harga cabai terpengaruh penurunan pasokan akibat produksi turun terdampak perubahan iklim dan cuaca di daerah penghasil. Selain itu, belum terjadi masa panen cabai yang diharapkan pasokannya segera mengalir sehingga secara bertahap akan menurunkan harga di pasar ke tingkat normal.
”Berulang kali kami sosialisasi terutama agar warga turut memaksimalkan halaman untuk menanam cabai sehingga ketika harga sedang naik tidak terpengaruh,” ujar Antiek.