Perempuan Suku Laut, Nelayan Ulung yang Tersisih Jadi Pemulung
Musim paceklik di laut dan kerusakan lingkungan memaksa para perempuan Suku Laut di Batam banting setir dari nelayan menjadi pemulung lintas pulau.
Gelap mulai merayap saat sebuah perahu fiber muncul dari kejauhan di ujung cakrawala. Perahu kecil itu terseok-seok melawan kuatnya ombak musim angin utara.
Ada enam perempuan di perahu itu. Orang-orang tersebut adalah pemulung lintas pulau. Sore itu, Kamis (16/11/2023), mereka hendak pulang ke Kampung Air Mas, Pulau Tanjung Sauh, Batam, Kepulauan Riau.
Anak-anak berlarian ke atas jembatan menunggu perahu yang perlahan mendekat. Mereka tak sabar menanti buah tangan yang akan dibagi para pemulung itu.
Satu per satu perempuan dari perahu naik ke atas jembatan kayu yang reyot. Perempuan yang paling tua, Normah, turun paling belakangan. Ia mengomel kepada anak-anak yang cerewet memanggil-manggil.
”Enggak ada buah. Enggak ada makanan. Enggak ada mainan. Cuma kain-kain sobek saja,” ucapnya dengan ketus.
Anak-anak membubarkan diri dengan kecewa. Malam sudah hampir tiba, dan mereka bergegas menuju kampung. Dari kejauhan terdengar mesin-mesin diesel mulai dihidupkan untuk menerangi kampung.
Kampung Air Mas dihuni sekitar 40 keluarga Suku Laut. Kampung itu terletak di Pulau Tanjung Sauh yang dipisahkan laut sejauh 3 kilometer dari Pulau Batam.
Suku Laut adalah penduduk asli Kepri yang dulu hidupnya berpindah-pindah mengembara dengan sampan dayung beratap daun nipah. Orang-orang nomaden itu terkenal sebagai pelaut yang ahli membaca cuaca dan arus laut.
Suku Laut juga dikenal arif dalam menjaga kelestarian laut. Hal itu ditunjukkan mereka dengan tidak menangkap ikan di sejumlah tempat larangan, yakni lokasi perairan dengan karang berwarna-warni. Selain itu, apabila mereka tak sengaja menangkap ikan yang masih kecil, ikan itu akan dikembalikan ke laut.
Warga di Kampung Air Mas mulai hidup menetap sejak awal 2000-an. Sekitar tahun 2010, mereka mendapat bantuan rumah panggung kayu dari pemerintah. Program bantuan serupa juga diberikan kepada kelompok Suku Laut lain di sejumlah pulau kecil di Kepri.
Meskipun telah hidup menetap selama lebih dari 13 tahun, Suku Laut di Kampung Air Mas masih merawat tradisi untuk berkelam (mengembara dengan sampan). Waktu musim angin selatan, saat ombak tenang pada Juni-Oktober, mereka mengembara ke Pulau Bintan.
Mengais sampah
Normah hidup sebatang kara. Suami dia meninggal ketika mereka masih hidup mengembara di atas sampan. Anak mereka ada sembilan dan seluruhnya telah berkeluarga dan meninggalkan rumah.
Dalam KTP, Normah tercatat lahir tahun 1957. Namun, dia meyakini usianya lebih tua dari itu. Ia tak pernah sekolah dan tak bisa baca tulis sehingga tak mengerti tentang sistem penanggalan.
Di kampungnya, Normah dikenal sebagai perempuan pemberani dan pelaut ulung. Waktu masih muda, ia mampu mendayung sampai ke laut perbatasan Malaysia dan Singapura. Ia juga terkenal karena pandai menemukan lokasi karang yang banyak ikannya.
”Sekarang nenek bisanya cuma mancing ikan dan cari gamat (teripang) saja. Nenek sudah tua jadi engga sanggup kerja laut yang lain,” kata Normah.
Perempuan renta itu mengalami hidup paling sulit saat musim angin utara. Ombak tinggi dan hujan deras yang kerap terjadi pada November-Januari membuat Normah tak bisa leluasa melaut.
”Nenek engga kuat dayung kalau hujan lebat. Takut juga ketemu (angin) ribut. Padahal, kalau cari ikan sekarang harus agak jauh, dekat-dekat sini sudah tak ada lagi,” ujarnya.
Di Semenanjung Melayu, orang Laut dianggap sebagai komunitas yang terpisah dari Suku Melayu yang hidup di darat. Orang Melayu melihat Suku Laut sebagai kelompok tidak berbudaya yang makan babi dan tinggal di perahu bersama anjing.
Pada musim angin utara, Normah dulu bisa mencari ikan di sekitar Pulau Tanjung Sauh. Namun, reklamasi yang masif di Batam membuat perairan itu tercemar dan tak lagi bisa menghidupi seperti dulu.
Selain itu, ikan selar yang menjadi incaran nelayan pancing seperti Normah kini juga makin sulit didapat. Ikan selar berkurang drastis karena dikeruk habis oleh kapal-kapal yang menggunakan pukat teri.
”Dari pada nenek minta-minta atau mencuri, lebih baik nenek pergi ke tempat buangan,” ucap Normah.
Perempuan Suku Laut lain di Kampung Air Mas, Saikim, mengatakan, sudah lebih dari lima tahun memulung di TPA Punggur setiap musim angin utara. Selain mengais makanan dan pakaian, ia juga mengumpulkan sabun dan sampo kedaluwarsa.
”Kalau sabun yang masih bagus biasa saya jual Rp 15.000 satu tumpuk. Harganya enggak pasti, tergantung yang beli saja,” kata perempuan berusia sekitar 40 tahun itu.
Menurut ibu dua anak itu, penghasilan suaminya menangkap ikan dengan pancing rawai hanya sekitar Rp 100.000 per hari. Padahal, untuk membeli bahan bakar paling tidak butuh Rp 90.000 untuk sekali melaut.
Sejak beberapa tahun lalu, saat musim angin utara, mayoritas perempuan Suku Laut di Kampung Air Mas harus bertahan hidup dengan mengais sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Punggur, Batam. Tiga kali dalam satu minggu mereka menyeberang ke Batam untuk mencari barang bekas yang bisa dikonsumsi dan dijual kembali.
Di TPA Punggur, biasanya Normah mencari buah-buahan yang dibuang dari pasar atau jajanan kemasan yang sudah kedaluwarsa. Selain itu, ia juga mencari pakaian yang masih layak pakai.
”Buah dan makanan dari TPA buat nenek makan sendiri. Kalau pakaian bisa dijual Rp 2.000 per lembar,” katanya.
Stigma
Peneliti sea nomads Asia Tenggara di Universitas Chulalongkorn, Thailand, Wengki Ariando, Selasa (5/12/2023), mengatakan, adaptasi Suku Laut dari pola hidup berpindah-pindah menjadi menetap tidak bisa dibangun dalam 10 atau 20 tahun. Selain harus menghadapi tantangan untuk menyesuaikan pola hidup di dunia modern, mereka juga menghadapi berbagai stigma di masyarakat.
”Suku Laut sering dianggap warga kelas dua. Mereka belum memiliki kepercayaan diri untuk melawan hal itu,” kata Wengki saat dihubungi dari Batam.
Hal serupa dicatat sejarawan maritim Universitas Indonesia, Adrian Lapian, dalam buku Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Ia menyebut, tidak jarang penyebutan orang Laut mengandung arti yang cenderung merendahkan, seperti orang kota melihat orang kampung.
Di Semenanjung Melayu, orang Laut dianggap sebagai komunitas yang terpisah dari Suku Melayu yang hidup di darat. Orang Melayu melihat Suku Laut sebagai kelompok tidak berbudaya yang makan babi dan tinggal di perahu bersama anjing.
Di Kepri, diperkirakan setidaknya ada 44 kelompok suku laut yang jumlahnya sekitar 12.800 jiwa. Mereka tersebar di pulau-pulau kecil sekitar Batam, Bintan, dan Lingga.
Menurut Wengki, sebagian besar warga Suku Laut tergilas kemiskinan karena mereka tidak memiliki akses untuk berkembang. Akses pendidikan dan kesehatan amat terbatas karena mereka bermukim di pulau terpencil.
Selain itu, akses Suku Laut terhadap sumber daya alam juga amat terbatas. Mereka tidak memiliki wilayah adat di darat. Ini membuat mereka jadi tak punya sumber penghasilan lain ketika sedang masa paceklik di laut, seperti saat musim angin utara.
Hal ini diperparah dengan tidak adanya lembaga atau organisasi yang bergerak memperjuangkan Suku Laut. Akibatnya, aspirasi dan kehendak Suku Laut tidak tersampaikan ke pemerintah dan masyarakat luas.
Baca juga: Suku Laut, Anak Tiri di Tanah Air Sendiri
Bantuan
Persoalan kemiskinan Suku Laut di Kepri sebenarnya telah mendapat perhatian pemerintah. Tahun ini, pemerintah pusat mengucurkan anggaran Rp 7 miliar untuk membangun 200 rumah Suku Laut.
Pada 20 November lalu, Gubernur Kepri Ansar Ahmad menyatakan, selain memberi bantuan rumah, pemerintah juga akan memberdayakan Suku Laut. Corak hidup mereka sebagai nelayan dan masyarakat pesisir yang amat bergantung dengan sumber daya laut akan diperhatikan pemerintah.
Pendidikan amat penting dalam penguatan rasa percaya diri generasi muda Suku Laut untuk melawan stigma. Sejarah mereka sebagai pelaut ulung juga perlu digali kembali. Selain itu, kearifan lokal untuk hidup berdampingan dengan alam perlu dipelajari lagi.
Meski demikian, program bantuan infrastruktur seperti itu juga membawa dampak negatif. Wengki menilai, pembangunan yang bercorak top down membuat Suku Laut terus-terusan mengharapkan bantuan dari orang lain.
Ketergantungan itu tecermin saat ada orang luar datang ke kampung-kampung Suku Laut. Mereka biasanya akan langsung meminta uang atau sembako kepada jurnalis atau peneliti yang datang.
”Sebenarnya, kalau kita ingin membantu masyarakat Suku Laut, hal yang paling mereka butuhkan adalah pendidikan, terutama pendidikan dasar,” ujar Wengki.
Pendidikan amat penting dalam penguatan rasa percaya diri generasi muda Suku Laut untuk melawan stigma. Sejarah mereka sebagai pelaut ulung juga perlu digali kembali. Selain itu, juga kearifan lokal untuk hidup berdampingan dengan alam perlu dipelajari lagi.
Baca juga: Nurani Bebas Suku Pengembara Laut di Kepulauan Riau
”Mempertahankan identitas kultural Suku Laut bukan berarti memaksa mereka untuk tetap tinggal di sampan. Biarkan mereka menentukan arah pembangunannya sendiri tanpa melupakan identitas dan sejarahnya,” ucap Wengki.