Kuliner berbahan cabai di Surabaya terkena dampak lonjakan harga cabai. Rasanya tak lagi pedas, tak sepedasnya harga cabai.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
Seporsi menu nasi sambal dengan lauk tahu dan tempe goreng dan sedikit lalapan ala Surabaya, Jawa Timur, Jumat (8/12/2023). Harga cabai, bahan utama sambal, melonjak sejak Oktober 2023.
Sesendok sambal yang merona merah tua seolah penyempurna seporsi nasi hangat, sepotong tahu dan tempe goreng, seiris timun, dan sebatang kemangi sebagai makan siang, Kamis (7/12/2023), di Surabaya, ibu kota Jawa Timur. Namun, saat suapan pertama dikunyah dan dinikmati, justru memicu nafsu makan merosot. Sambal yang seharusnya pedas dan ”membakar” rongga mulut malah terasa agak asam.
Setelah diamati, dibaui, dan dicecap dengan saksama, sambal itu diduga kuat tidak berbahan terutama cabai segar. Ada nuansa saus dari olahan tomat dan sedikit cabai kering.
Muncul kekhawatiran, sambal tak segar itu membuat perut bermasalah. Kecemasan terbukti karena dua jam kemudian perut terasa mulas sehingga harus buang hajat.
Teringat, tiga hari sebelumnya menyantap seporsi penyetan belut dengan sambal ulek amat pedas di Kayoon. Sambal dari cabai segar, pedas sejati, dan membuat penikmatnya mandi keringat, bercucuran air mata, dan mulut terus bergetar sambil sesekali mengisap udara. Tiada efek terhadap pencernaan meski dalam perut terasa agak panas dan sensasi ”kebakaran” di mulut baru hilang 2-3 jam kemudian.
Di waktu berbeda, masih dalam pekan pertama bulan ini, saat jajan kudapan, yakni tahu isi dan tempe goreng tepung, di Wonokromo, penjual tak memberikan cabai rawit mentah dan segar. Lalapan penyempurna itu digantikan dengan daun bawang atau saus saset.
”Lombok isih larang, Cak (cabai masih mahal, Mas),” kata Sugiyanto, penjual kudapan goreng, dalam bahasa Suroboyoan.
Suasana agak lain dirasakan saat jajan mi ayam Wonogirian dari penjual yang mendorong gerobaknya di Karah Agung. Biasanya, pembeli dapat meminta sambal sesuka hati. Namun, karena cabai sedang mahal, si penjual hanya memberi sambal satu sendok teh. Menyantap mi ayam tanpa nuansa pedas menjadi kurang bikin lidah bergoyang.
”Sambal harus segar biar enak, tapi kalau cabai sedang mahal, bikin sambal, ya, sedikit. Maaf, ya, Mas, sambalnya dikasih sedikit,” kata Herman, penjual mi ayam.
Namun, di sejumlah warung, kedai, depot, atau restoran yang menjual menu sambal, pengelola belum sampai menempuh tindakan ekstrem seperti meniadakan atau mengganti cabai, misalnya, dengan merica atau cabai kering. Sambal cabai rawit dengan rasa pedas yang mantap hanya bisa didapat dari bahan segar. Rica rawit dikurangi dan diganti merica atau cabai kering akan mengubah rasa sambal sehingga kehilangan cita rasa pedas sejati.
Jika sulit menahan diri untuk berpantang sambal sementara, terpaksa keluar uang untuk membeli cabai di pasar. Senilai Rp 5.000 mendapat 7-8 cabai rawit di pasar. Dengan cabai sedikit itu, tetapi ditambah sesiung bawang putih dan garam, jadilah sambal sederhana yang cukup untuk menemani dan penyempurna sekali makan.
Cara lainnya, membeli sambal jadi dalam kemasan botol atau saset. Uang Rp 5.000 bisa mendapat dua saset sambal terasi yang cukup untuk sekali makan. Cita rasa sambal dalam kemasan tidak akan senikmat sambal berbahan segar dan baru dibuat.
Di Surabaya, harga cabai menanjak sejak awal Oktober 2023. Kenaikan harga ini menjadikan cabai sebagai komoditas penyumbang inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa 0,26 persen pada November 2023. Angka inflasi bulanan itu turun 0,01 persen daripada Oktober yang sebesar 0,25 persen. Inflasi year on year per November 3,31 persen atau turun dibandingkan dengan Oktober yang sebesar 3,35 persen.
Pada awal Oktober, menurut Sistem Informasi Ketersediaan dan Perkembangan Harga Bahan Pokok (Siskaperbapo), harga per kilogram (kg) cabai rawit merah Rp 24.000, cabai merah keriting Rp 25.200, dan cabai merah besar Rp 27.400. Sebulan kemudian, harga per kg cabai rawit merah menjadi Rp 62.400, cabai merah keriting menjadi Rp 39.000, dan cabai merah besar menjadi Rp 32.200. Pada awal Desember, harga terus meroket, yakni per kg cabai rawit merah menjadi Rp 76.400, cabai merah keriting Rp 70.600, dan cabai merah besar Rp 73.700.
Kami meminta kepala daerah untuk mengintervensi agar terjadi kestabilan harga pangan, termasuk penurunan harga cabai. (Zulkifli Hasan)
Memasuki pekan kedua atau Jumat ini, harga per kg cabai rawit merah Rp 77.900, cabai merah keriting Rp 79.800, dan cabai merah besar Rp 79.700. Harga itu ialah rerata dari enam pasar terkemuka di Surabaya, yakni Tambahrejo, Wonokromo, Genteng Baru, Pucang Anom, Keputran, dan Soponyono. Harga di masing-masing pasar bisa berbeda dengan disparitas yang lebar.
Dalam kunjungan kerja ke Surabaya, Senin (4/12/2023), Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, lonjakan harga cabai menjadi catatan penting karena sulit turun sampai panen raya terjadi. Kenaikan harga cabai bisa mengganggu kestabilan harga pangan jelang Natal dan Tahun Baru.
”Kami meminta kepala daerah untuk mengintervensi agar terjadi kestabilan harga pangan, termasuk penurunan harga cabai,” kata Zulkifli.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengeluarkan kebijakan intervensi, yakni membayari ongkos angkut komoditas, terutama cabai, dari daerah penghasil hingga ke pasar. Harga cabai masih tinggi karena harga di tingkat petani juga sudah tinggi.
”Tidak bisa menurunkan harga dengan signifikan,” katanya.
Eri melanjutkan, intervensi juga diberikan untuk komoditas lain, terutama beras, gula, dan minyak goreng, agar harga tidak melonjak. Intervensi diberikan lewat pembukaan warung tim pengendali inflasi daerah, operasi pasar, dan bazar bahan pangan.
Menurut Eri, bisa dimaklumi kondisi psikologis warga yang termasuk bagian dari bangsa Indonesia yang tidak bisa lepas dari konsumsi cabai. Makan tanpa sambal atau lalapan cabai mentah jelas tidak nikmat. Ini menjadi masalah berulang ketika harga cabai meroket yang membuat warga ”kesusahan” ketika harus mengurangi konsumsi cabai, apalagi berpantang, meski sementara.
Cara lainnya, budidaya cabai mandiri di pekarangan rumah. Dengan demikian, warga tidak terlalu terpengaruh lonjakan harga cabai saat memerlukan konsumsi komoditas tersebut. Namun, untuk memanen cabai sejak awal tanam memerlukan waktu setidaknya 2-3 bulan di dataran rendah atau 4-5 bulan di dataran tinggi. Mungkinkah selama waktu menunggu itu mampu pantang cabai dan sambal?