logo Kompas.id
NusantaraBerkat Maluku Utara dan...
Iklan

Berkat Maluku Utara dan Ikhtiar Persempit Ketimpangan

Perekonomian Maluku Utara tumbuh impresif. Namun, pengelolaan anggaran belum optimal membuat ketimpangan masih ada.

Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE, ADITYA PUTRA PERDANA, RINI KUSTIASIH
· 10 menit baca
Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan siap didistribusikan di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023). Potensi ikan yang tinggi di perairan Pulau Obi menjadi salah satu sumber mata pencarian utama warga, termasuk nelayan di Desa Kawasi.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan siap didistribusikan di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023). Potensi ikan yang tinggi di perairan Pulau Obi menjadi salah satu sumber mata pencarian utama warga, termasuk nelayan di Desa Kawasi.

Maluku Utara terberkati dengan tanah dan pulau yang kaya akan sumber daya alam. Nikel yang dikandung di kawasan ini menjadi salah satu sumber pendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah dalam satu dekade terakhir. Namun, ketimpangan masih menjadi persoalan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara mencatat, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara triwulan III-2023 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2022 menunjukkan tren positif. Sebagaimana lima tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi provinsi ini masih dua digit. Pada triwulan III-2023, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara (Malut) sebesar 25,13 persen, dengan produk domestik regional bruto (PDRB) senilai Rp 21,6 triliun. Pada triwulan III-2022, pertumbuhan ekonomi Malut sebesar 24,85 persen dengan PDRB senilai Rp 17,6 triliun.

Struktur PDRB Malut menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku pada triwulan III-2023 masih didominasi oleh industri pengolahan 32,85 persen; diikuti oleh pertambangan dan penggalian 20,17 persen; pertanian, kehutanan dan perikanan 12,65 persen; perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor 10,05 persen; serta administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib 8,08 persen. Peranan kelima lapangan usaha tersebut dalam perekonomian Malut mencapai 83,80 persen.

Baca juga: Hilirisasi Nikel dan Kisah SDA Kita

Aktivitas pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel Grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Aktivitas pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel Grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Pertumbuhan ekonomi yang impresif itu tidak terlepas dari sumbangan besar pertambangan nikel di Malut. Tiga kabupaten penyumbang terbesar pertambangan nikel di Malut adalah Halmahera Selatan, Halmahera Tengah, dan Halmahera Timur. Ketiganya sama-sama menghasilkan nikel, tetapi dua daerah terakhir masih berjibaku menghadapi kemiskinan dan ketimpangan.

Melesatnya sektor pertambangan dan pengolahan mineral di Maluku Utara membuat sektor tradisional, seperti pertanian dan perikanan, merosot. Ketimpangan dan kemiskinan pun menjadi dampak ikutan yang tidak terelakkan. Dalam Musyawarah Besar Fagogoru, akhir Oktober 2023 di Ternate, Gubernur Malut Abdul Ghani Kasuba menjelaskan, kantong-kantong kemiskinan banyak ditemukan di daerah sekitar pertambangan, seperti Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.

”Daerah-daerah dengan pertumbuhan tinggi malah termiskin, saya tidak tahu juga ini salah siapa,” ucapnya.

Kaya, tetapi miskin

Warga membeli ikan segar hasil tangkapan nelayan di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023). Beragam jenis tangkapan ikan para nelayan, antara lain ikan tuna, cakalang, kakap merah, kerapu, dan bubara.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Warga membeli ikan segar hasil tangkapan nelayan di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023). Beragam jenis tangkapan ikan para nelayan, antara lain ikan tuna, cakalang, kakap merah, kerapu, dan bubara.

Menurut data BPS 2023, Halmahera Timur menempati peringkat pertama daerah dengan 13,14 persen penduduk miskin, disusul Halmahera Tengah sebanyak 12 persen. Padahal, daerah seperti Halmahera Tengah memiliki tingkat pertumbuhan jumbo, dari 31,93 persen pertumbuhan ekonomi tahun 2020 menjadi 102,31 persen tahun 2022.

Bahkan, pada tahun 2021, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Halmahera Timur, yang dipimpin Bupati Ikram Sangadji, ini tumbuh 161,8 persen. Di daerah ini berdiri dua perusahaan tambang nikel besar, sebut saja PT Weda Bay Nickel dan perusahaan tambang pelat merah, PT Aneka Tambang Tbk.

Halmahera Selatan juga menjadi salah satu daerah pertambangan yang tengah menggeliat. Sejak Presiden Joko Widodo melarang ekspor bijih nikel sebelum diolah lebih lanjut di dalam negeri, perekonomian daerah ini tumbuh dari 12 persen tahun 2019 menembus 21,34 persen tahun 2022.

Kehadiran pabrik pengolahan nikel teknologi pelindian asam tekanan tinggi (HPAL) di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, diprediksi turut mendorong angka pertumbuhan ekonomi setempat melesat. Berbeda dengan Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, tingkat kemiskinan di Halmahera Selatan relatif lebih rendah dari beberapa kabupaten dan kota lain di Malut. Pada tahun 2022, persentase penduduk miskin di Halmahera Selatan tercatat 4,99 persen, turun 0,2 persen dari tahun 2021 yang mencapai 5,19 persen.

Bahkan, tahun 2021, Kabupaten Halmahera Selatan, yang dipimpin Bupati Ikram Sangadji ini, tumbuh 161,8 persen. Di daerah ini berdiri dua perusahaan tambang nikel besar, sebut saja PT Weda Bay Nickel dan perusahaan tambang pelat merah, PT Aneka Tambang Tbk.

Sekalipun pertumbuhan ekonomi sangat besar, sejauh mana hal itu berdampak dan dirasakan langsung oleh masyarakat menjadi persoalan yang berbeda. Oleh karena itu, pengelolaan anggaran menjadi penting.

Anggaran belum tepat

Nelayan membawa ikan tuna sirip kuning hasil tangkapan di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023). Selain mencari ikan di perairan Obi Barat, para nelayan Desa Kawasi juga melaut hingga ke Mano perairan Obi Selatan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Nelayan membawa ikan tuna sirip kuning hasil tangkapan di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023). Selain mencari ikan di perairan Obi Barat, para nelayan Desa Kawasi juga melaut hingga ke Mano perairan Obi Selatan.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan Maluku Utara Tunas Agung Jiwa Brata menjelaskan, pertumbuhan sektor pertambangan dan pengolahan membuat ekonomi Malut tetap tumbuh optimal tahun 2023. Penerimaan pajak dari dua sektor tersebut pun tumbuh, dimana penerimaan sektor pertambangan tumbuh 126,27 persen, dan sektor pengolahan 86,61 persen. Pada saat yang sama, penerimaan dari sektor tradisional, yakni perikanan, kelautan, dan kehutanan, turun 21,65 persen.

Bahkan, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara tahun 2024 diprediksi tetap moncer pada kisaran 18 persen-22 persen.

”Pertambangan dan pengolahan tetap tumbuh di tengah fluktuasi permintaan harga komoditas global. Sementara sektor pertanian, kelautan, turun akibat adanya penurunan produksi, dan semakin jauhnya wilayah tangkap nelayan. Indeks ketimpangan pengeluaran masyarakat juga naik menjadi 0,300 di tahun 2023,” ujarnya.

Baca juga: Eksploitasi Nikel Perlu Dibarengi Pemberdayaan Masyarakat Lingkar Tambang

Anggota kelompok tani memanen semangka di Desa Buton, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023). Kelompok tani Desa Buton memperoleh pendampingan budidaya dan dukungan sarana pertanian serta penyerapan pasar oleh Harita Nickel dalam pengelolaan lahan pertanian padi dan semangka.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Anggota kelompok tani memanen semangka di Desa Buton, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023). Kelompok tani Desa Buton memperoleh pendampingan budidaya dan dukungan sarana pertanian serta penyerapan pasar oleh Harita Nickel dalam pengelolaan lahan pertanian padi dan semangka.

Pertumbuhan ekonomi jumbo tersebut membuat kemampuan anggaran daerah dalam membiayai program pembangunan juga ikut naik. Pada tahun 2021, contohnya, total transfer ke daerah (TKD) pemerintah pusat ke Malut sebesar Rp 11,08 triliun, lalu naik menjadi Rp 12,05 triliun (2022), dan Rp 11,85 triliun (2023). Pada tahun 2024, TKD kembali mencapai Rp 12,5 triliun.

Porsi TKD sebagai komponen pembentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Malut masih yang terbesar, hingga 90 persen. Akan tetapi, sebagian besar anggaran digunakan untuk belanja rutin pegawai. Padahal, anggaran seharusnya dioptimalkan untuk belanja infrastruktur demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Belanja untuk fungsi ekonomi kian tahun juga menurun tajam, serta alokasi anggaran untuk perlindungan sosial yang masih sangat kecil.

Hingga akhir Oktober 2023, contohnya, total belanja APBD Malut Rp 7,9 triliun. Dari angka tersebut, sebesar Rp 1,9 triliun atau 26,25 persen untuk belanja gaji dan tunjangan aparatur sipil negara, sementara untuk belanja modal pembangunan jalan, jaringan irigasi, dan infrastruktur lain hanya Rp 915 miliar atau 12 persen dari total belanja. Penyerapan Dana Alokasi Fisik yang digunakan untuk infrastruktur juga masih rendah, yakni 63,73 persen.

Baca juga: Nikel dan Kemajuan Ekonomi Daerah

Ibu-ibu menyiapkan makan siang saat waktu istirahat di tengah panen padi di Desa Buton, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023). Kelompok tani Desa Buton memperoleh pendampingan budidaya dan dukungan sarana pertanian serta penyerapan pasar oleh Harita Nickel dalam pengelolaan lahan pertanian padi dan semangka.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Ibu-ibu menyiapkan makan siang saat waktu istirahat di tengah panen padi di Desa Buton, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023). Kelompok tani Desa Buton memperoleh pendampingan budidaya dan dukungan sarana pertanian serta penyerapan pasar oleh Harita Nickel dalam pengelolaan lahan pertanian padi dan semangka.

Penyerapan dana yang lamban ini membuat masyarakat terlambat menikmati manfaat dari program pembangunan. Lambannya serapan anggaran terlihat dari realisasi belanja daerah berdasarkan fungsi. Pada triwulan II-2023, realisasi belanja daerah untuk pendidikan hanya Rp 99 miliar dari total anggaran Rp 3 triliun, atau hanya sekitar 3 persen saja. Padahal, dalam periode yang sama tahun 2022, realisasi belanja untuk pendidikan bisa mencapai 27 persen.

Pengelolaan anggaran yang belum optimal juga terlihat dari penurunan jumlah Dana Insentif Daerah (DID) yang ditransfer pemerintah pusat ke Malut, dari Rp 189 miliar tahun 2021 menjadi Rp 154 miliar (2022), Rp 93 miliar (2023), dan Rp 68,18 miliar (2024). Dana Alokasi Khusus untuk pembangunan fisik juga turun menjadi Rp 1,25 triliun.

Baca juga: Nikel, Pedang Bermata Dua di Maluku Utara

Foto aerial pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Foto aerial pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Penurunan transfer pusat setiap tahunnya ini bisa dimaknai sebagai”kritik” dari pusat ke Pemerintah Provinsi Maluku Utara, khususnya terkait rekam jejak pengelolaan anggaran daerah.

Sebenarnya, pola penganggaran pemerintah daerah yang belum efektif ini ditemukan hampir di seluruh Indonesia, seperti diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam beberapa kesempatan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Kementerian Keuangan mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Harapannya, mekanisme alokasi postur anggaran akan banyak diarahkan pada pembangunan fisik dan pemberdayaan masyarakat, bukan belanja rutin.

Iklan

Penurunan transfer pusat setiap tahunnya ini bisa dimaknai sebagai’kritik’ dari pusat ke Pemerintah Provinsi Maluku Utara, khususnya terkait rekam jejak pengelolaan anggaran daerah.

”Perlu perbaikan rencana alokasi anggaran agar postur APBD terus mengurangi porsi belanja pegawai, dan mengalihkannya untuk peningkatan belanja modal untuk pelayanan publik. UU HKPD menjadi upaya untuk memastikan hal tersebut. Meski pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara baik, indeks kesejahteraan umumnya masih stagnan,” ucap Tunas Agung.

Secara rinci, total Dana Bagi Hasil (DBH) sektor Mineral Batubara dari pusat ke Malut meningkat cukup tajam, khususnya sejak pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel tahun 2019. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu, total Dana Bagi Hasil sektor Mineral Batubara ke Malut sebesar Rp 61 miliar tahun, lalu naik menjadi Rp 115 miliar tahun 2020, dan melesat menjadi Rp 379 miliar tahun 2023.

Tumbuh dengan timpang

Salah satu pembangkit listrik yang sedang dibangun di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jumat (24/11/2023). Indonesia saat ini menyumbang 40 persen produksi nikel dunia.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Salah satu pembangkit listrik yang sedang dibangun di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jumat (24/11/2023). Indonesia saat ini menyumbang 40 persen produksi nikel dunia.

Kenaikan ini seharusnya bisa menjadi jalan menyelesaikan permasalahan ketimpangan di Malut. Ketimpangan di wilayah ini mengkhawatirkan.

Berdasarkan hasil analisis DJPb Malut, nilai Indeks Entrophy Theil kabupaten dan kotadi Malut masih tinggi dengan nilai rata-rata 4,09 tahun 2022. Indeks ini menjelaskan ketimpangan antardaerah yang terjadi karena pertumbuhan bertumpu di satu sektor, tanpa diiringi peningkatan di sektor lain.

Nilai Entrophy Theil tahun 2022 terbesar berada di Halmahera Tengah dengan nilai 28,48. Angka ini mengkhawatirkan mengingat lonjakannya yang cukup tinggi dari tahun 2018, yaitu 4,37.Sementara itu, nilai indeks Entrophy Theil lain di Halmahera Selatan sebesar 1,67 dan terendah di Halmahera Barat 0,49. Nilai indeks yang menjauhi 0 menggambarkan ketimpangan regional yang tinggi.

Selain itu, angka Indeks Williamson di Malut juga sangat tinggi. Nilai indeks terus naik sejak tahun 2018 dari angka 0,26, naik ke angka 0,27 tahun 2019, lalu ke 0,36 tahun 2020. Dua tahun terakhir, indeks ketimpangan melonjak menjadi 0,63 tahun 2021, dan naik lagi 1,08 di tahun 2022. Nilai indeks yang terus menjauhi nol juga menjadi tanda ketimpangan yang melebar. Pertumbuhan sektor tambang diiringi kemerosotan sektor pertanian dan perkebunan menjadi salah satu penyebabnya.

Baca juga: Nikel, Harta Karun Masa Kini dari Pulau Obi

Rambu penanda di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jumat (24/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Rambu penanda di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jumat (24/11/2023).

Dengan situasi penggunaan anggaran daerah dan DBH itu, pertumbuhan ekonomi yang impresif ternyata belum menggambarkan sepenuhnya kesejahteraan masyarakat. Bahkan, untuk keperluan dasar, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, belum terpenuhi dengan baik. Apalagi, DBH di tahun 2024 akan naik 24,69 persen menjadi Rp 2,77 triliun, dari angka Rp 2,2 triliun di tahun 2023.

Angka-angka tersebut diharapkan bisa direalisasikan dengan tepat mengingat penyerapan anggaran di Maluku Utara masih lamban dan belum tepat sasaran.

Mengenai pertumbuhan ekonomi daerah, pihak industri juga memberikan perhatian karena merupakan bagian dari upaya keberlanjutan usaha hilirisasi dan industrialisasi nikel.

Head of Community Affairs Harita Nickel Latif Supriadi mengatakan, Grup Harita yang beroperasi di Pulau Obi melakukan sejumlah upaya untuk memberdayakan masyarakat setempat. Nilai transaksi program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) Harita yang melibatkan warga lokal sekitar Rp 12 miliar per bulan. Dana segar itu beredar di masyarakat sehingga turut menggerakkan sektor riil di sekitar Pulau Obi.

Upaya pemberdayaan masyarakat itu meliputi berbagai pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat di Pulau Obi. ”Kami, antara lain, mendampingi mereka di bidang pertanian. Di Desa Buton, misalnya, mereka bisa rutin menyuplai semangka untuk kebutuhan perusahaan. Selain itu, warga juga dilatih membuat tempe dan tahu untuk bisa diserap oleh perusahaan,” katanya.

Anggota kelompok tani memeriksa semangka di Desa Buton, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Anggota kelompok tani memeriksa semangka di Desa Buton, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023).

Pelatihan dan pendampingan itu, kata Latif, dibutuhkan agar warga semakin berdaya dan dapat mengambil manfaat dari kehadiran industri pengolahan nikel di wilayahnya. Namun, upaya itu tidak mudah karena memerlukan waktu dan usaha dalam merajut simpul-simpul kemasyarakatan di lapangan.

Baca juga: ”Boom Nikel Indonesia, Akankah Terus Berlanjut?

Belum dinikmati warga

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah, Bayu Wijayanto, yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (7/12/2023), mengatakan, hilirisasi sejatinya untuk peningkatan nilai tambah. Namun, ada fenomena daerah mengalami pertumbuhan ekonomi, seperti pada hilirisasi nikel, tetapi kemiskinan tetap, atau bahkan meningkat.

Menurut Bayu, kebijakan hilirisasi harus dibarengi berbagai kebijakan lain di tingkat daerah. ”Peluang hilirisasi tambang, termasuk nikel, dapat ditangkap (warga setempat) kemudian terjadi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Artinya, betul-betul dinikmati oleh masyarakat lokal,” ujar Bayu.

Bayu mengatakan, peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah seiring masuknya investasi tanpa disertai peningkatan kesejahteraan hingga lapisan terbawah masyarakat sebenarnya bukan masalah baru. Kondisi tersebut mencerminkan keterlibatan masyarakat lokal di sekitar satu komoditas berada belum terjadi atau tidak optimal.

Baca juga: Pengelolaan Nikel dan Ketergantungan terhadap Asing Tentukan Ekosistem Baterai

Pekerja menunjukkan hasil produksi berupa <i>mixed hidroxyde precipitate</i> (MHP) di pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pekerja menunjukkan hasil produksi berupa mixed hidroxyde precipitate (MHP) di pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Selain itu, ada faktor lemahnya koordinasi pusat dengan daerah dalam kebijakan komprehensif demi terciptanya pertumbuhan ekonomi berkualitas. Menurut Bayu, koordinasi menjadi barang mahal di Indonesia dan menjadi problem klasik. Akibatnya, sumber daya lokal kerap kali belum sesuai atau memenuhi harapan investor sehingga akhirnya mendatangkan dari luar daerah.

Pendidikan vokasi yang sesuai dengan kebutuhan juga terus didorong. ”Meski kita lihat bahwa pemerintah sudah memperhatikan tentang vokasional, tetapi seberapa efektif lulusannya dapat benar-benar digunakan oleh investor. Saya pikir, hal-hal seperti itu perlu dilihat kembali,” kata Bayu.

Peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah, seiring masuknya investasi, tanpa disertai peningkatan kesejahteraan hingga lapisan terbawah masyarakat sebenarnya bukan masalah baru.

Sebelumnya, ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman, mengatakan, dari riset yang dilakukan, diketahui respons dari struktur ekonomi setiap wilayah terhadap investasi tambang ini berbeda satu dengan lainnya. Sebab, itu menyangkut interaksi antarsektor di daerah itu, baik pertambangan, pertanian, industri pengolahan, pengolahan berbasis pertanian/tambang, maupun lainnya.

Ada yang merespons dengan cepat, tetapi ada juga yang lambat meskipun berada di pulau yang sama. Oleh karena itu, kata Rizal, dalam setiap proyek berbasis infrastruktur, kesiapan SDM harus dipikirkan lebih dulu. Lalu, harus ada koneksi antarsektor yang dapat mempercepat respons ekonomi akan satu investasi yang masuk. Hal itu akan mempercepat penerimaan, pemerataan, hingga pendapatan dari rumah tangga.

Baca juga: Babak Baru Hilirisasi Nikel di Pulau Obi

Hasil produksi berupa <i>nickel sulfate</i> di pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Hasil produksi berupa nickel sulfate di pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Hal lainnya, Malut juga harus mulai memikirkan kesejahteraan warganya pascatambang. Bergantung semata-mata pada sektor usaha ekstraktif akan berisiko bagi daerah. Ketika usaha tambang berakhir dan tidak ada lagi timbal balik antara pertambangan dan warga lokal, persoalan sosial-ekonomi rentan muncul.

Situasi itu, antara lain, juga diungkapkan Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat Desa Kawasi Bambang Bakir (40). Bambang, misalnya, saat ini menerima pesanan 700 kilogram ayam per hari dari Group Harita Nickel. Ketika perusahaan itu selesai beroperasi di Pulau Obi, ia pun tidak yakin ke mana akan memasarkan ayamnya. Peruntungannya boleh jadi akan berubah drastis ketika tambang selesai beroperasi.

Kekhawatiran Bambang agaknya dapat pula menjadi pemikiran pemerintah daerah untuk menyiapkan rencana ketika kejayaan tambang berakhir, dan warga telanjur bergantung pada usaha ekstraktif ini. Kala itu tiba, seharusnya daerah dan warga telah siap dan kian berdaya.

Baca juga: Baterai Kendaraan Listrik Ditarget Sudah Diproduksi pada 2024

Editor:
HAMZIRWAN HAMID
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000