”Teror” Buaya Berlanjut di Sultra, Lingkungan Dinilai Kian Rusak
Serangan buaya di Sultra diduga dipicu semakin rusaknya alam yang menghilangkan ruang hidup alamiah buaya.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Serangan buaya terhadap manusia di Sulawesi Tenggara berulang dengan jumlah korban yang terus bertambah. Konflik buaya dan manusia yang rutin ”meneror” dinilai turut dipicu oleh masifnya pemanfaatan ruang, terganggunya habitat buaya, dan semakin rusaknya alam.
Pada Minggu (17/12/2023) sore, Marni (30), warga Desa Ambesea, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, membersihkan diri di sungai. Ia baru saja menyiangi ladang untuk menanam di lahan milik keluarganya.
Saat itu, ia hanya seorang diri. Kerabatnya masih berada di lahan masing-masing. Setelah beberapa waktu, ia tidak jua kembali. Pakaiannya tergeletak di tanah. Warga yang melihat lalu melaporkan kejadian ini kepada pemerintah desa.
”Kami segera cari, tapi tidak kunjung ketemu. Meski tidak ada yang lihat, kami yakin dia diterkam buaya karena di sini memang banyak buayanya,” kata Kepala Desa Ambesea Edi Ulele, saat dihubungi dari Kendari, Senin (18/12/2023).
Hingga Senin pagi, petugas masih mencarinya. Tim dari Kantor Pencarian dan Pertolongan (SAR) Kendari telah datang sejak Minggu petang untuk membantu pencarian.
Menurut Edi, Sungai Laeya memang menjadi habitat buaya. Namun, selama puluhan hingga ratusan tahun, warga jarang diganggu buaya. Mereka yang mencari ikan atau kerang pokea rutin bertemu buaya dan beraktivitas normal tanpa gangguan.
Akan tetapi, situasi berubah satu dekade terakhir. Serangan buaya mulai rutin terjadi. Padahal, sungai ini menjadi sumber penghidupan bagi banyak warga, baik untuk mencari ikan maupun sekadar mandi seperti yang dilakukan Marni.
”Dua tahun ini saja sudah ada tiga serangan buaya, termasuk kali ini. Dua orang meninggal dunia, dan ada yang selamat juga. Ini terjadi setelah tempat tinggal buaya itu hilang dan lingkungan rusak,” kata Edi.
Lahan di bukit hingga sempadan sungai, misalnya, dibuka untuk kelapa sawit dan pertambangan nikel.
Di sekitar Desa Ambesea, dan wilayah lainnya, memang terus diokupasi untuk berbagai bentuk kegiatan skala besar. Lahan di bukit hingga sempadan sungai, misalnya, dibuka untuk kelapa sawit dan pertambangan nikel. Air menjadi keruh, terutama saat musim hujan tiba. Habitat buaya pun terganggu.
”Ini repot, kondisinya tidak seperti dulu lagi. Kalau dulu masih rimbun, tempat hidup buaya banyak, sekarang sudah terbuka semua. Akhirnya, mereka menyerang manusia. Padahal, kami di sini itu, kalau bisa dibilang sangat akrab dengan buaya,” terangnya.
Hingga Senin siang, pencarian terhadap Marni masih terus berlangsung. Tim gabungan terus bekerja dan memperluas pencarian untuk mencari keberadaan korban.
Kepala KPP (SAR) Kendari Muhammad Arafah menyampaikan, sejak pukul 07.00 Wita Tim SAR gabungan melanjutkan kembali operasi dengan membagi dua. Tim pertama menyisir lokasi kejadian menuju hulu sepanjang 2,44 kilometer, sementara tim kedua menyisir lokasi menuju muara sepanjang 16,3 km.
”Pencarian korban terus kami lakukan hari ini. Tim gabungan dari berbagai instansi, termasuk masyarakat, bekerja sama untuk menyisir lokasi,” ujarnya.
Serangan buaya terus terjadi dan angkanya meningkat hampir setiap tahun di wilayah ini.
Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra, selama 2022, telah ada tiga serangan buaya terhadap manusia di wilayah Sultra. Jumlah ini sama dengan serangan buaya yang terjadi pada 2021. Serangan buaya terus terjadi dan angkanya meningkat hampir setiap tahun di wilayah ini.
Pengajar Fakultas Matematika dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo La Ode Ngkoimani menjelaskan, serangan buaya yang terus terjadi perlu dilihat dalam konteks kerusakan lingkungan dan konflik ruang yang terjadi. Sebab, hal ini diduga kuat merupakan efek turunan dari kompleksitas permasalahan ruang di sekitar sungai.
Ngkoimani menjabarkan, habitat buaya di sungai kemungkinan besar terganggu dengan banyaknya aktivitas manusia, pembukaan ruang, hingga kerusakan sungai. Rantai makanan di sungai menjadi terganggu dengan kerusakan ekosistem di sungai.
Oleh karena itu, Ngkoimani berharap pemerintah dan otoritas terkait melihat hal ini sebagai peringatan untuk semua. Pengaturan zonasi pemanfaatan ruang di sungai menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Daerah aliran sungai harus direhabilitasi untuk menjaga ruang hidup buaya.
”Ini korbannya semakin banyak, bahkan jauh lebih banyak dari bencana alam yang terjadi di Sultra. Sudah sepatutnya pemerintah mengambil langkah untuk penanganan, baik secara konsep hingga aksi kecil di lapangan,” ujarnya.