Warga Susun Dokumen Lingkungan Hidup untuk Tambang Gunung Botak
Kawasan tambang emas ilegal Gunung Botak mulai ditata. Pengelola lahan berkomitmen untuk tidak lagi menggunakan bahan berbahaya seperti merkuri. Terobosan penting mengingat dampak merkuri yang semakin membahayakan warga.
NAMLEA, KOMPAS – Warga Pulau Buru sedang berjuang mendapatkan izin pengelolaan pertambangan emas di Gunung Botak. Sejumlah warga dan koperasi sedang menyusun dokumen lingkungan hidup agar izin pertambangan rakyat atau IPR dapat diterbitkan pada 2024.
Penerbitan IPR itu diharapkan dapat menjamin legalisasi pengelolaan pertambangan emas itu oleh warga. Di sisi lain, pengurusan IPR yang harus didahului dengan penyusunan dokumen upaya pengelolaan lingkungan-upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL) di kawasan tersebut akan memastikan pertambangan dikelola dengan tanpa mencemari lingkungan.
Ketua Koperasi Lestari Mandiri Hasan Wael, yang ditemui di Pulau Buru, Kamis (28/12/2023), mengatakan, dirinya dan beberapa koperasi yang mengelola lahan di Gunung Botak sedang menyusun UKL-UPL sebagai syarat terbitnya IPR dari Pemerintah Provinsi Maluku. Sebanyak 10 koperasi yang mayoritas berasal dari masyarakat adat Kaiely siap memenuhi persyaratan lingkungan ini. Lahan yang berada di kawasan ini merupakan hak ulayat masyarakat adat Kaiely.
Penambangan emas tanpa izin (PETI) di kawasan ini dinilai semakin mengkhawatirkan. Daerah yang awalnya merupakan perkebunan kayu putih ini sudah habis setelah gelombang penambang ilegal ramai mendatangi kawasan ini sejak akhir 2011. Para penambang menggunakan merkuri untuk mendapatkan emas dari material tanah yang dikeruk. Limbah tersebut lalu dibuang ke aliran sungai yang ada di sekitar kawasan.
Tidak hanya merkuri, penggunaan sianida yang tidak profesional menambah kerusakan di sana. Kepemilikan IPR juga dapat menarik investor masuk, dengan harapan para penambang memiliki fasilitas pertambangan sesuai aturan yang berlaku. Sebanyak 10 koperasi yang mayoritas berasal dari masyarakat adat Kaiely siap memenuhi persyaratan lingkungan ini. Adapun lahan yang berada di kawasan ini merupakan hak ulayat masyarakat adat Kaiely.
”Sekarang semakin parah, untuk itu, UKL-UPL kami lengkapi segera agar di awal tahun 2024, IPR bisa diterbitkan. Sudah cukup lelah hampir 12 tahun, tidak ada solusi. Berkali-kali buka-tutup oleh aparat. Syarat IPR seperti tidak adanya pengunaan merkuri dan pengolahan berkelanjutan harus kami lengkapi,” ucap Hasan yang tokoh adat Kaiely ini di Buru.
Baca Juga: Bahaya Mengintai dari Penambangan Emas Ilegal di Pulau Buru
Adapun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menata kawasan ini dengan melelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) di Pulau Buru pada 6-8 Desember 2023. Proses dilakukan dengan metode lelang tertutup. Luas area yang dilelang sebesar 24.764 hektar dengan komoditas emas. Total Kompensasi Data Informasi untuk Blok Gunung Botak ini adalah sebesar Rp 37.262.940.000.
Hamparan areal tambang emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, pada Selasa (20/6/2023). Petambang yang beroperasi di areal itu mencapai 13.000 orang.
Dari 24.764 hektar tersebut, sebanyak 778 hektar merupakan wilayah yang ditambang secara tradisional oleh masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, IPR hanya diberikan sebesar 10 hektar bagi koperasi, dan 5 hektar bagi perseorangan.
Ketua Tim Penyusun UKL UPL Gunung Botak Erwin Pattikayhatu menjelaskan, prinsip berkelanjutan dan ramah lingkungan menjadi syarat mutlak agar IPR bisa terbit. Penggunaan merkuri tidak lagi diperbolehkan. Menurut dia, metode penambangan tradisional tanpa merkuri sudah banyak dilakukan. Namun, modal yang besar sering kali menghambat penambang menempuh cara tersebut.
Adanya IPR, bisa membantu koperasi untuk menggaet investor yang memiliki teknologi penambangan berkelanjutan untuk mengelola wilayah Gunung Botak. Berdasarkan temuan tim, Gunung Botak memiliki usia tambang hingga 10 tahun. Total emas yang bisa diproduksi pada jangka waktu tersebut hingga 12.000 gram emas.
Selain melarang merkuri, koperasi juga diwajibkan untuk mengubah manajemen operasional salah satunya harus memiliki Kepala Teknik Pertambangan. Jabatan ini memerlukan lisensi dan kualifikasi yang diatur oleh pemerintah. Jam kerja penambang juga harus diatur dengan baik.
Erwin menambahkan, adanya IPR membuat para penambang nantinya terikat dengan hukum. Untuk itu, bila terjadi pencemaran ataupun aktivitas perusakan lingkungan, pemerintah dan masyarakat bisa meminta pertanggungjawaban pemilik izin.
”Kalau ada terjadi sesuatu yang merugikan, bisa ditunjuk hidung pelakunya siapa. Kepastian hukum ini membuat proses penambangan jadi diawasi ketat,” ujarnya.
Bahaya mengintai
Penggunaan merkuri dalam praktik penambangan ilegal harus dihentikan segera. Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Buru Abdulrahman Andjarang akan terus membantu proses UKL UPL di Gunung Botak agar permasalahan yang tidak kunjung selesai ini bisa segera menemukan titik terang. Pemerintah berharap para koperasi pengelola lahan di Gunung Botak memegang komitmen pengelolaan lingkungan yang baik.
Dampak penggunaan merkuri baru dirasakan dalam beberapa tahun ke depan. Untuk itu, harus dihentikan segera.
”UKL UPL tentu kita dorong, pemerintah daerah dan pemerintah provinsi setuju agar masalah ini bisa segera diselesaikan,” ujarnya.
Dalam sejarahnya, aparat penegak hukum berkali-kali menutup Gunung Botak dari aktivitas PETI. Tahun 2018-2020, Kepala Kepolisian Daerah Maluku kala itu, Inspektur Jendral Purnawirawan Royke Lumowa menutup aktivitas di Gunung Botak. Namun, selang beberapa tahun kemudian, penambang ilegal kembali masuk. Dalam penelitian doktoralnya di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia 2022, Royke tegas menyebut, bila aktivitas tambang ilegal yang terus-menerus terjadi meski ada penindakan, terindikasi ada aparat penegak hukum yang menjaga aktivitas itu.
Bahkan, jauh sebelumnya, Panglima Daerah Militer XVI Pattimura saat itu Almarhum Doni Monardo juga pernah menutup tambang tersebut pada tahun 2015-2016. Pada Oktober 2023 ini, Polda Maluku kembali melakukan penertiban. Namun, selang beberapa minggu kemudian, penambang pun kembali masuk.
Raja Masyarakat Adat Kaiely Fandi Wael berharap proses perizinan UKL UPL, hingga terbitnya IPR, bisa berjalan lancar. Pria yang juga menjabat sebagai Camat Teluk Kaiely ini akan terus memantau pengurusan dokumen ini, khususnya kesiapan koperasi untuk menyanggupi setiap persyaratan teknis yang diwajibkan. ”Kami akan kawal agar koperasi mematuhi setiap persyaratan yang diwajibkan, agar tidak ada lagi PETI yang merusak lingkungan,” ujarnya.
Guru Besar Kimia Anorganik Universitas Pattimura Yusthinus Male menjelaskan, penggunaan merkuri di Gunung Botak berada dalam tahap yang sangat mengkhawatirkan. Pria yang selama 12 tahun terakhir mengadvokasi pelarangan merkuri ini menyebut, tingkat kandungan merkuri di sedimen Sungai Patipulu sudah sebanyak 16 miligram/kilogram (mg/kg), atau 16 kali lipat dari standar normal kandungan merkuri dalam sedimen sebesar 1 mg/kg.Kandungan metilmerkuri di rambut warga di Desa Kaiely di Kecamatan Teluk Kayeli, Buru, pun sudah berada di batas yang tidak wajar.
Baca Juga: Masa Depan Lumbung Ikan Terancam
Tingkat merkuri yang melebihi batas normal juga ditemukan di sungai lain seperti Sungai Anahoni dan Sungai Waelata yang berdekatan dengan wilayah Gunung Botak. Dampak paling berbahaya dari penggunaan merkuri adalah penyakit yang bisa muncul di masa depan.
Ia mencontohkan kejadian munculnya penyakit misterius di Teluk Minamata, Jepang, pada tahun 1950-an. Ternyata, penyakit yang menyerang sistem syaraf warga Minamata berasal dari akumulasi metilmerkuri yang dibuang sebuah perusahaan kimia, Chisso, pada tahun 1930-an, atau dua puluh tahun sebelum penyakit muncul.
”Merkuri tidak pernah bisa hilang di lingkungan, dia akan terus berakumulasi seiring berjalannya rantai makanan. Dampaknya di masa depan. Bahaya ini yang harus dipikirkan mulai sekarang. Mendorong IPR ini salah satu cara memutus penggunaan merkuri,” ujarnya.