Jalan Berliku Warga Way Pisang Menagih Janji
Warga yang bermukim di Register 1 Way Pisang, Lampung Selatan, menanti janji pemerintah terkait reforma agraria.
Ketenangan warga yang bermukim di kawasan Register 1 Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, berganti dengan kecemasan beberapa bulan terakhir. Perjuangan warga menagih janji reforma agraria dari pemerintah lagi-lagi menemui jalan buntu.
Sebulan terakhir, Mursidi (72), warga Desa Sumber Sari, Kecamatan Sragi, Lampung Selatan, tidak tenang. Dia gelisah lantaran terus memikirkan bagaimana nasib anak cucunya jika kelak konflik agraria kembali terjadi di kawasan register itu.
Puluhan tahun hidup di sana, Mursidi sudah mengalami empat kali konflik agraria dengan perusahaan. Kala itu, banyak warga mendapat intimidasi. Hingga kini, pengalaman pahit itu masih terekam jelas dalam ingatannya.
”Warga menolak dengan cara menebangi pohon yang sudah ditanam, demo besar-besaran, sampai membakar pabrik,” kata Mursidi mengenang perjuangan warga bertahan hidup di Register 1 Way Pisang.
Saking emosinya, urat-urat di wajah keriput Mursidi mengencang saat menceritakan sejarah panjang konflik lahan di Register 1 Way Pisang. Pria paruh baya itu juga beberapa kali memukul meja dengan tangannya. ”Kasihan anak cucu kami kalau terus begini,” ujarnya lagi.
Mursidi menceritakan, warga sudah puluhan tahun bermukim di lokasi itu. Dahulu, kawasan itu memang merupakan hutan belantara. Warga yang ingin bertani membuka lahan di kawasan itu sejak tahun 1960-an. Belasan tahun kemudian, warga baru mengetahui bahwa kawasan itu disebut sebagai hutan negara.
Baca juga : Sembilan Tahun Berjalan, Capaian Reforma Agraria Masih Timpang
Rentetan konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan terjadi selama rentang 1992-2014. Ada empat investor yang pernah masuk dan berupaya mengelola kawasan Register 1 Way Pisang, yakni PT Inhutani (1992), PT Darmala (1998), Program Agrobisnis (2012), dan PT Penyelamat Alam Nusantara (2014).
Akan tetapi, investasi di kawasan Register 1 Way Pisang selalu gagal karena besarnya penolakan warga. Proyek-proyek penanaman pohon sengon dan jati hingga pengembangan ternak sapi tidak dilanjutkan dan akhirnya berhenti.
Saat ditemui pada Selasa (9/1/2024), Mursidi sedang berada di Balai Desa Sumber Sari. Siang itu, ia bersama kepala desa dan beberapa warga lain yang tergabung dalam Forum Masyarakat Register 1 Way Pisang berkumpul untuk membicarakan langkah selanjutnya dalam memperjuangkan hak kepemilikan tanah di Register 1 Way Pisang.
Warsino (49), warga lain, menuturkan, konflik terkait perebutan lahan yang berulang terjadi membuat warga trauma. Saat konflik terjadi, beberapa petani juga sempat ditahan di kantor polisi.
Selama puluhan tahun, mereka hidup dalam kecemasan. Mereka khawatir jika suatu saat lahan di desa tersebut akan kembali diambil alih oleh perusahaan pemegang hak guna usaha.
Padat penduduk
Desa-desa definitif di kawasan hutan produksi Register 1 Way Pisang sudah padat penduduk. Tak hanya rumah-rumah permanen, berbagai fasilitas, seperti sekolah, tempat ibadah, puskesmas, dan pasar, sudah dibangun di sana. Jalan-jalan sudah diaspal mulus, beberapa bahkan telah dibeton.
Di desa-desa itu tak ada lagi pohon-pohon besar. Yang tampak hanya sawah serta kebun jagung, kelapa, pisang, dan tanaman buah lain. Kawasan yang disebut sebagai hutan register itu lebih terlihat sebagai desa-desa yang telah berkembang.
Kawasan yang disebut sebagai hutan register itu lebih terlihat sebagai desa-desa yang telah berkembang.
Kepala Desa Sri Pendowo, Artaji, menuturkan, beberapa warga, termasuk dirinya, terkejut saat mengetahui tanahnya ternyata kawasan hutan. Padahal, sekitar tahun 2000, ia membeli tanah seluas 600 meter persegi dari salah satu warga dan menerima sertifikat hak milik.
Beberapa tahun kemudian, saat ia hendak memecah sertifikat tanah, sertifikat tersebut ditolak oleh Badan Pertanahan Nasional Lampung Selatan. Tanahnya disebut masuk dalam peta kawasan hutan produksi Register 1 Way Pisang.
Desa Sri Pendowo sudah menjadi desa definitif sejak tahun 1981. Saat ini, jumlah penduduknya sekitar 3.800 jiwa. Dari total luas 525 hektar, sekitar 30 persen masuk dalam kawasan register. Selain balai desa, fasilitas lain yang masuk dalam kawasan register adalah pasar, masjid, dan kantor badan usaha milik desa (BUMDes).
Baca juga : Perempuan Desa Mangkit Berdikari dengan Sertifikat Tanah
Status lahan yang masuk dalam kawasan hutan itu membuat pemerintah desa mengalami banyak hambatan dalam pembangunan. Artaji menyebut, pemerintah pernah berencana membangun polsek, kantor urusan agama, hingga markas TNI di desa tersebut. Namun, usulan itu akhirnya dibatalkan.
Hal serupa diungkapkan oleh Sumardi, Kepala Desa Kemukus, dan Mastur, Kepala Desa Sumber Sari. Seluruh wilayah kedua desa tersebut masuk dalam kawasan hutan produksi Register 1 Way Pisang.
Menurut Mastur, berbagai program bantuan, seperti bedah rumah dan pembuatan toilet komunal dari pemerintah, terkendala karena status lahan yang masih kawasan hutan. Selain itu, warga yang ingin mengembangkan usaha juga terkendala saat ingin meminjam uang di perbankan karena tak memiliki sertifikat yang dapat menjadi agunan.
Sejak lama
Ketua Forum Masyarakat Register 1 Way Pisang Suyatno menuturkan, para petani telah menanti penyelesaian konflik lahan di Register 1 Way Pisang selama puluhan tahun. Mereka amat berharap negara menepati janji program reforma agraria dengan memberikan hak atas tanah kepada petani.
Keinginan itu bukan tanpa alasan. Pengajuan permohonan hak atas tanah oleh warga didasari lahirnya Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-II/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan pada 17 Oktober 2014.
Baca juga : Mengurai Regulasi, Menanti Janji Redistribusi
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria kian memberi harapan bagi warga. Total ada 16 desa yang berada dalam kawasan Register 1 Way Pisang. Dari jumlah itu, tujuh desa masuk dalam lokasi prioritas reforma agraria sejak tahun 2019.
Tujuh desa itu adalah Desa Sumber Sari, Margajasa, Karang Sari, Sri Pendowo, Nebung Nala, Kemukus, dan Gandri. Desa-desa itu tersebar di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Ketapang, Sragi, dan Penengahan. Sementara usulan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan berupa permukiman, fasilitas umum, dan fasilitas sosial di Register 1 Way Pisang seluas 948,3 hektar.
Demi memperjuangkan usulan tersebut, warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Register 1 Way Pisang telah mendata penduduk beserta lama penguasaan lahan dan luas kepemilikan tanah di Register 1 Way Pisang.
Dengan pendataan itu, warga ingin membuktikan bahwa kawasan itu benar-benar sudah ditempati warga sejak lama. Selain itu, tidak ada masalah tumpang tindih kepemilikan lahan antarwarga.
”Desa berinisiatif membuat peta desa, melakukan pengukuran langsung, dan melibatkan tokoh masyarakat sehingga kami yakin data yang kami susun itu sangat valid. Data inilah yang telah disampaikan ke pemerintah pusat,” katanya.
Suyatno menambahkan, warga sudah bolak-balik ke sejumlah kementerian untuk memperjuangkan pelepasan kawasan hutan. Tak hanya itu, mereka juga pernah berunjuk rasa, mulai di tingkat kabupaten, provinsi, hingga pusat, demi menagih janji reforma agraria.
Akan tetapi, usulan pelepasan kawasan hutan yang dinantikan warga tak kunjung diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perjuangan itu masih buntu karena pemerintah hanya memberikan izin pengelolaan kawasan hutan.
”Kami berharap, presiden ke depan (adalah) dia yang peduli dengan persoalan agraria dan memiliki komitmen untuk melaksanakan reforma agraria sejati sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960,” kata Suyatno.
Belum sesuai harapan
Capaian program reforma agraria dinilai masih jauh dari harapan meski pemerintah berupaya menjalankannya. Program reforma agraria masih bertumpu pada legalisasi aset tanah sehingga belum benar-benar mengurai ketimpangan untuk mencapai keadilan agraria.
Reforma agraria merupakan agenda Nawacita ke-5 Presiden Joko Widodo. Program ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015-2019, yang kemudian dilanjutkan dalam RPJMN 2020-2024.
Terkait itu, pemerintah merencanakan reforma agraria seluas 9 juta hektar (ha). Target ini meliputi legalisasi aset dengan target 4,5 juta ha dan redistribusi tanah 4,5 juta ha. Hingga akhir 2023, realisasi legalisasi aset mencapai 110,5 juta bidang tanah dari total target 126 juta bidang.
Adapun redistribusi tanah di kawasan hutan baru terealisasi 379.621,85 ha atau 9,26 persen dari target 4,1 juta ha. Capaian ini berbeda dengan redistribusi tanah eks HGU, tanah telantar, dan tanah negara yang terealisasi 1,43 juta ha atau 358,23 persen dari target 0,4 juta ha.
Baca juga : Semringah Petani Gunung Anten dengan Sertifikat Tanah