Warga Mataram, ”Dong Ayok Lari!”
Virus lari menyebar di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Para pelari semakin mencintai dan membutuhkan lari. Ayo dong lari!
Virus lari turut merebak di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Warga di kota berpenduduk 441.147 jiwa ini tak hanya ingin, tetapi butuh ”berlari”. Mereka menyerbu ruang terbuka hijau atau jalan raya, baik sendiri maupun bersama komunitas, untuk memenuhi hasrat dan hobi.
Usia Pramono Sidik sudah 72 tahun lebih. Namun, hal itu tidak menghalanginya berlari. Hampir tiap sore ia datang ke Taman Udayana, lalu selama satu jam menyelesaikan tiga putaran sekitar 3,5 kilometer di jalur lari salah satu ruang terbuka hijau Kota Mataram itu.
Rabu (10/1/2024) sore pun demikian. Sejak pukul 16.00 Wita, pensiunan aparatur sipil negara itu sudah berada di Udayana. Sore itu ia bergerak pelan di jalur lari dengan baju dan celana olahraga warna gelap, serta sepatu lari kuning. Di atas topi hitam yang ia kenakan, terpasang penyuara jemala (headphone) yang menutup kedua telinganya.
”(Tempo larinya) suka-suka. Tergantung lagunya. Kalau cepat, saya agak cepat. Kalau pelan, saya agak pelan. Ha-ha-ha,” kata Pramono yang berlari sambil mendengar berbagai jenis lagu, termasuk dangdut.
Baca juga: Ratusan Peserta Meriahkan Lari untuk Kesetaraan di Mataram
Warga Selaparang itu tidak mau memaksakan diri untuk menyelesaikan tiap putaran secepat mungkin. Bahkan, sore itu, ia duduk santai di bangku panjang setelah selesai satu putaran. ”Tidak harus cepat. Dibawa senang saja. Yang penting gerak,” kata Pramono yang tinggal di Mataram sejak 1984.
Supriyanto (71) pun demikian. Setiap sore, pensiunan staf dinas pendidikan itu rutin ke Udayana. Ia biasa berkeliling 2-3 putaran di jalur lari Udayana. Ia mengharuskan diri tetap berolahraga. Namun, mengingat usia, ia memilih tak memaksakan kecepatan dan durasi larinya.
Menurut Supriyanto, selain menjaga pola makan, berlari adalah cara terbaik menjaga kondisi fisiknya. ”Di usia saya, alhamdulillah badan tidak bungkuk. Selain itu, saya tidak pernah sakit. Gula aman, kolesterol juga normal. Memang asam urat sedikit tinggi, tetapi bisa diturunkan dengan mengatur pola makan,” ujarnya.
Supriyanto yang kini sibuk sebagai advokat menambahkan, ruang terbuka hijau (RTH) dengan jalur lari makin banyak tersedia di Mataram. Itu membuat warga seusianya bisa berolahraga dengan nyaman.
Komunitas
Hobi lari memang sudah ”menginvasi” warga Mataram. Munculnya komunitas-komunitas juga memberi andil penyebaran virus berlari di Kota Mataram. Hal ini didukung pula oleh fasilitas-fasilitas RTH dan juga gegap gempitanya acara olahraga lari.
Baca juga: Zohri Rebut Medali Emas 200 Meter Putra
Komunitas Runjani, misalnya, rutin menggelar Wednesday Night Run (WNR) atau lari di Rabu malam. Seperti pada Rabu (3/1/2024) lalu, yang merupakan WNR pertama mereka di 2024.
Kebersamaan tergambar dalam WNR. Seperti Rabu lalu, setelah semua siap, Yung Intan Mheutia atau Tia (38), salah seorang pengurus Runjani, memanggil semua pelari untuk berkumpul. Tia menyampaikan beberapa hal, termasuk ucapan selamat Tahun Baru 2024. Ia lalu mengajak para pelari pemanasan dengan tujuan meningkatkan performa lari dan mengurangi risiko cedera.
”Tetap hati-hati. Ikut marshall ya,” kata Tia saat para pelari satu per satu meninggalkan Sangkareang.
Seperti biasanya, jarak lari Runjani sekitar 5 kilometer dengan rute Taman Sangkareang-Taman Udayana-Taman Sangkareang. Ada yang berlari dengan tempo cepat, ada juga yang lebih santai. Bahkan, ada yang mengombinasikannya dengan berjalan kaki.
Akan tetapi, tidak ada istilah ditinggal. Semua pelari ditunggu agar bisa ikut berkumpul dan berfoto bersama di dua titik pengecekan (check point). Marshall bahkan bolak-balik untuk memastikan semua pelari telah sampai. Begitu finis di Taman Sangkareang, mereka bersama-sama melakukan pendinginan badan.
”Sebelum pandemi (Covid-19), orang melihat lari malam itu sesuatu yang aneh. Tetapi, setelah pandemi, justru semakin banyak yang bergabung dan ikut lari,” kata Tia.
Sebelum pandemi, orang melihat lari malam itu sesuatu yang aneh. Tetapi, setelah pandemi, justru semakin banyak yang bergabung dan ikut lari.
Hal itu membuat hampir setiap Rabu malam selalu ada peserta baru yang ikut WNR. Baik yang sudah terbiasa lari sendiri sebelumnya maupun pelari baru. ”Kami terima semua. Siapa saja boleh ikut bergabung. Jika sebelum pandemi, peserta antara 30-40 orang. Sekarang 50-70 orang,” katanya.
Lari malam di komunitas yang menggaungkan ungkapan ”dong ayok lari” itu untuk mengakomodasi pelari yang tidak bisa berolahraga di pagi atau sore karena bekerja. Oleh karena itu, para pelari yang bergabung berasal dari berbagai latar belakang, seperti pelajar, mahasiswa, karyawan swasta, pegawai negeri sipil, termasuk tenaga kesehatan.
Baca juga: Menantang Diri Menaklukkan Elevasi Kala Pandemi
Runjani bukan satu-satunya komunitas lari di ibu kota NTB itu. Ada juga Gecko Runners dan Riot Lombok. Berbeda dengan Runjani, kedua komunitas ini tidak menggelar lari malam, tetapi akhir pekan. Gecko Lombok Runners biasanya lari pada Sabtu pagi, sementara Riot Lombok di Minggu.
”Awalnya hanya di Taman Selagalas, kemudian membentuk komunitas. Lalu, anggota bertambah sejak Covid-19 hingga pascapandemi karena semua merasa olahraga itu penting,” kata Ketua Gecko Lombok Runners Adi Wiryo Atmojo (48).
Menurut Adi, anggota mereka rata-rata berusia di atas 40 tahun. Setiap Sabtu pagi, mereka berlari sekitar 10 kilometer. Mereka selalu mengusahakan lari bersama karena semakin banyak energi yang didapatkan semakin positif.
Motivasi khusus
Selain semakin tersedianya fasilitas dan munculnya komunitas, motivasi personal mendorong warga Mataram untuk terus berlari. Secara umum mereka ingin jauh lebih sehat. Namun, secara khusus, ada motivasi pertama yang menjadi jalan menuju sehat tersebut.
”Pengin (di usia) tua ini tidak merepotkan keluarga,” kata Pramono yang asli Semarang, Jawa Tengah.
Dody Wijayanto (34) dari Runjani mengatakan, dirinya memilih lari karena ingin berhenti merokok. Setelah tiga tahun berlari, ia memang belum sepenuhnya berhenti merokok, tetapi sudah berkurang hingga 50 persen.
Sementara Dewi Ekawati (46) mengaku lari jadi bagian gaya hidup sehatnya. ”Tiga tahun terakhir, saya tidak pernah sakit,” kata Dewi yang berhasil menurunkan berat badan dari 72 kilogram jadi 54 kilogram.
Baca juga: Memasyarakatkan Lari dan Promosikan Pariwisata lewat Penanggak Road Hill 10K
Awalnya, Yasti Yapang (31) memilih berlari karena ingin menurunkan berat badan. Namun, dalam perjalanannya, anggota komunitas Runjani ini menyadari kurus hanya bonus. Lari baginya kebutuhan karena membuatnya lebih merasa bahagia.
Jadi, semacam pelarian agar tidak memikirkan mantan.
Adapun Evan Ferdianti (37) semula berlari karena ingin mengobati patah hati. ”Jadi, semacam pelarian agar tidak memikirkan mantan, tetapi dalam perjalanannya, lari menjadi kebutuhan. Saking terbiasa lari, kalau berhenti, badan langsung tidak enak,” kata Evan yang bisa berlari lima kali seminggu.
Tantangan paling besar, menurut Hendy Kang Prabowo (61) dari Gecko Lombok Runners, adalah rasa malas untuk memulai. Namun, ia selalu berhasil melawannya. Apalagi jika ia ingat motivasinya untuk selalu sehat dan bugar di usianya sekarang.
Dampak
Selain dampak kesehatan, geliat lari juga membuka peluang cuan. Salah satunya terkait perlengkapan lari. Andi Eka Karya (33), misalnya, berjualan sepatu bekas dan juga rompi olahraga (running vest) berkualitas bagus.
Menurut Eka, pascapandemi, terutama di 2023, penjualan meningkat sekitar 5-10 persen. Peminatnya adalah pelari di komunitas-komunitas lari.
Jasa reparasi, pewarnaan ulang, dan cuci sepatu juga semakin banyak peminat. Maulana Satrio Pangestu (24) yang menawarkan jasa tersebut mengatakan, dalam sebulan rata-rata bisa mendapatkan hingga Rp 400.000. Peminatnya juga pelari lintas komunitas.
”Belum ada toko khusus. Promonya juga dari mulut ke mulut antarpelari di komunitas, tetapi efektif dan ada peningkatan dari Oktober ke Desember lalu,” kata Maulana.
Mahasiswa semester akhir Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan Masyarakat Universitas Pendidikan Mandalika Mataram itu juga menerima latihan penguatan atau core. Dalam seminggu, ia membuka beberapa kali latihan dan menarik biaya Rp 10.000 per orang per sekali latihan.
”Peluang dari geliat lari di Mataram semakin besar. Jadi, harus ditangkap,” kata Maulana.
Lahirnya atlet
Dampak jangka panjangnya, selain investasi bagi kesehatan dan peluang usaha baru, juga melahirkan atlet-atlet lari. Apalagi NTB terkenal sebagai salah satu kantong pelari yang berlaga di ajang nasional hingga internasional.
Sebut saja Lalu Muhammad Zohri, Sudirman Hadi, dan Sapwaturrahman yang tahun lalu mewakili Indonesia di SEA Games 2023 Kamboja.
Hal itu sejalan dengan harapan Pemerintah Kota Mataram. Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Mataram H Suhartono Toemiran mengatakan, selain kesehatan, harapannya dari sekadar hobi berlari, bisa berkembang ke prestasi, terutama di kalangan anak muda.
Oleh karena itu, kata Suhartono, Pemerintah Kota Mataram sangat mendukung pengembangan olahraga lari. Salah satunya dengan menyediakan fasilitas pendukung di RTH yang ada di kota tersebut.
Apa pun motivasinya, warga Mataram makin mencintai dan membutuhkan lari. Baik itu kalangan muda maupun yang berusia lanjut mulai bergerak. Entah dengan berlari sendiri atau bersama komunitas. Dong Ayo lari!