Tanggul Raksasa Dinilai Tak Cukup Atasi Rob di Pantura Jateng
Rencana pembangunan tanggul raksasa ditanggapi beragam oleh sejumlah pihak di Jawa Tengah. Efektivitasnya dipertanyakan.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·6 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Rencana pemerintah pusat membangun tanggul laut raksasa di sepanjang jalur pantai utara Jawa untuk mengatasi banjir rob mendapatkan respons yang beragam di Jawa Tengah. Sejumlah pihak menilai megaproyek itu kurang efektif dan dikhawatirkan menimbulkan lebih banyak persoalan baru, salah satunya membuat amblesan tanah makin parah.
Dalam seminar nasional Strategi Perlindungan Kawasan Pulau Jawa melalui Pembangunan Tanggul Pantai dan Tanggul Laut yang digelar di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu (10/1/2024), Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, dalam waktu dekat pemerintah akan membentuk satuan tugas untuk mengkaji konsep, anggaran, dan skema pembiayaannya tanggul raksasa tersebut. Menurut dia, pemerintah ingin agar pembangunan tanggul laut yang kini masih berlangsung secara terpisah bisa terintegrasi supaya lebih komprehensif dan bermanfaat.
Sekretaris Daerah Demak Akhmad Sugiharto mengapresiasi upaya pengentasan banjir rob yang selama beberapa tahun terakhir membelenggu berbagai wilayah, termasuk wilayahnya. Kendati demikian, Sugiharto menilai, pembangunan tanggul raksasa saja tidaklah cukup.
”Membuat tanggul boleh, tapi tidak hanya tanggul saja. Harus dibarengi normalisasi sungai-sungai juga, dari hulu sampai ke hilirnya," kata Sugiharto saat dihubungi, Kamis (11/1/2024).
Normalisasi sungai, khususnya di hilir, dinilai Sugiharto, penting karena banyak sungai di Demak yang dangkal akibat sedimentasi. Selain membuat daya tampung sungai berkurang, sedimentasi di hilir juga membuat air rob yang masuk ke daratan tidak bisa keluar dan kembali ke laut dengan lancar.
Menurut dia, tanggul laut sebaiknya dibangun di tempat-tempat yang tergerus abrasi dan membutuhkan tanggul saja, tidak di semua tempat. ”Seperti di Rembang itukan tidak abrasi sehingga belum terlalu membutuhkan (tanggul laut). Sebaiknya (di wilayah yang belum abrasi) ditanami mangrove sehingga ada tanggul alami dari mangrove itu,” tuturnya.
Sugiharto menuturkan, di Demak belum ada tanggul laut. Dalam beberapa tahun terakhir, permohonan bantuan untuk pembangunan tanggul laut sudah berulang kali dilakukan Pemerintah Kabupaten Demak. Yang terakhir, usulan disampaikan Pemkab Demak ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada tahun 2023.
”Kami usul agar dibuatkan tanggul laut dari Kecamatan Sayung, Karangtengah, dan Bonang yang panjangnya kira-kira 5 kilometer. Waktu itu dijanjikan tahun 2024 mulai proses detail engineering design (DED). Semoga, konstruksinya juga bisa segera dimulai setelah DED selesai,” ujar Sugiharto.
Sementara itu, Koalisi Maleh Dadi Segoro, yang terdiri dari gabungan berbagai lembaga di Jateng dan sekitarnya, menolak rencana pembangunan tanggul raksasa tersebut. Koordinator Koalisi Maleh Dadi Segoro, Martha Kumala Dewi, menyebut, ada berbagai dampak negatif yang berpotensi timbul dari adanya proyek tersebut.
”Tanggul laut akan mengonsentrasikan pembangunan dan aktivitas ekonomi di pantura Jawa. Ini kontraproduktif dengan kondisi ekologi pantura Jawa yang mengalami amblesan tanah. Pembangunan infrastruktur dan aktivitas ekonomi yang semakin padat pasti mendatangkan beban. Selain itu, pembangunan proyek juga membutuhkan air yang banyak. Padahal, kebutuhan air untuk rumah tangga dan industri di Pantura Jawa banyak dipenuhi melalui ekstraksi air tanah dalam,” ujar Martha.
Jika tanah terus ambles, air laut akan lebih mudah dan lebih banyak masuk ke daratan.
Ekstraksi air tanah dalam membuat amblesan tanah kian parah. Jika tanah terus ambles, air laut akan lebih mudah dan lebih banyak masuk ke daratan. Akibatnya, masyarakat pesisir semakin menderita dibelenggu rob.
Tanggul laut, seperti halnya Tol Tanggul Laut Semarang-Demak, disebut Martha hanya akan menguntungkan wilayah yang diutamakan pengembangannya seperti kawasan industri. Di saat yang sama, pembangunan itu mengubah arus laut yang merugikan wilayah yang lemah seperti perkampungan nelayan. Wilayah itu menjadi lebih rentan abrasi.
Menurut Martha, tanggul laut berpotensi merusak ekosistem di wilayah pesisir. Dengan adanya tanggul raksasa itu, ruang tangkap nelayan akan menjadi lebih sempit atau bahkan tertutup. Mangrove-mangrove yang sudah tumbuh juga berpotensi dibabat dengan adanya proyek tersebut.
”Tanggul laut bisa saja memperparah banjir karena air dari darat terkepung di belakang tanggul. Kasus seperti ini ada di Kampung Tambaklorok, Semarang Utara, Kota Semarang,” katanya.
Martha menuturkan, solusi tanggul laut raksasa cenderung hanya mau mengatur agar air laut tidak membanjiri daratan. Koalisi Maleh Dadi Segoro mendorong pemerintah melakukan analisis dan pendekatan dari berbagai macam segi untuk mengatasi kompleksitas penanganan permasalahan air, seperti ekstraksi air tanah, amblesan tanah, rob, abrasi pantai, dan ekosistem pesisir. Ia mencontohkan, pendekatan lain yang bisa dilakukan adalah menekan penggunaan air tanah sehingga laju amblasan tanah bisa dikurangi.
Tak hanya itu, Koalisi Maleh Dadi Segoro juga mendorong pemerintah menghidupkan kembali hutan mangrove di pesisir. Hutan mangrove disebut Martha bisa memberi berbagai macam manfaat, seperti menahan rob, memulihkan atau memunculkan daratan baru, dan menciptakan ekosistem baru sehingga nelayan mudah mendapat ikan.
Mempercepat kepunahan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jateng juga turut merespons rencana pemerintah dalam membangun tanggul raksasa tersebut. Menurut mereka, pembangunan itu bisa mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati yang ada di perairan utara Jawa.
Direktur Eksekutif Walhi Jateng Fahmi Bastian mengatakan, International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam perhelatan COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, 11 Desember 2023, menyatakan spesies ikan pari jawa (Urolophus javanicus) punah. Spesies ini diketahui memiliki habitat di perairan utara Jawa, khususnya di Teluk Jakarta.
”Sebagaimana dinyatakan oleh para ahli, kepunahan ini disebabkan oleh dua hal, yaitu penangkapan ikan yang over exploited serta kehancuran ekosistem pesisir dan laut akibat aktivitas industri. Dalam jangka panjang, ambisi pembangunan tanggul laut raksasa akan mempercepat kepunahan spesies flora dan fauna lainnya di perairan Jawa,” katanya.
Fahmi menambahkan, secara umum, sumber daya perikanan di perairan Jawa telah berada pada situasi yang mengkhawatirkan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi Sumber daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, sumber daya ikan telah mengalami fully exploited sebesar 67 persen dan over exploited sebesar 22 persen.
”Dengan kata lain, secara umum perairan utara Jawa perlu dipulihkan karena selama ini telah dieksploitasi tanpa henti. Namun, pembangunan tanggul laut raksasa justru akan semakin mengancam stok sumber daya ikan sebagai sumber protein masyarakat,” ujar Fahmi.
Bukan pertama
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung, Mila Karmilah, mengatakan, rencana pembangunan tanggul laut raksasa di sepanjang pantura Jawa yang diungkapkan Airlangga, Rabu, bukanlah yang pertama. Rencana serupa disebut Mila pernah diwacanakan pemerintah pada tahun 1990-an.
”Apakah itu efektif atau tidak, belum bisa diukur. Namun, ada tanggul saja tidak efektif, nyatanya banjir atau rob tetap ada. Sebenarnya belum pasti, apakah (tanggul laut raksasa) bisa benar-benar menanggulangi banjir dan rob. Jangan-jangan itu hanya solusi jangka pendek,” ujar Mila.
Mila mengaku, dirinya juga kurang setuju dengan pembangunan tanggul laut raksasa dari ujung barat sampai ujung timur Jawa. Menurut Mila, cara itu tidak bisa dilakukan karena potensi masalah setiap wilayah berbeda-beda sehingga pendekatan dan solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut seharusnya juga berbeda.
Mila menyarankan, pemerintah segera memikirkan cara untuk menghentikan laju penurunan muka tanah, salah satunya dengan membatasi ekstraksi air tanah. Di sisi lain, penyediaan air dari sumber selain air tanah juga didorong. Hal itu bisa dilakukan dengan memanen air hujan dan memanfaatkan teknologi reverse osmosis atau osmosis terbalik.